Oleh Sunarti
MuslimahTimes– Sedap jangan ditelan, pahit jangan segera dimuntahkan. Artinya: Berpikir baik-baik sebelum bertindak agar tidak kecewa.
Tahun ajaran baru telah dimulai. Berburu sekolah baru bagi anak didik yang telah selesai menempuh pendidikan pada jenjangnya. Namun pelbagai peraoalan muncul dengan kebijakan baru dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), yaitu sistem zonasi sekolah.
Gayung bersambut, kata berbalas, kebijakan zonasi sekolah segera ditindaklanjuti di berbagai daerah. Di Jawa Timur misalnya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur akan menetapkan Pergub tentang pengaturan zonasi sekolah. Meskipun Gubernur Jatim Khofifah Indah Parawangsa tidak menjelaskan secara rinci seputar isi Pergub yang kini sedang digodok, yang jelas, Pergub akan mengatur soal zonasi pendaftaran ke SMA dan SMK (JawaPos.com).
Kebijakan yang sama juga ditetapkan di Yogyakarta. Melalui Pergub tentang sistem Zar nasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sudah ditandatangani oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan segera ditindak lanjuti dengan melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah do DIY (KRJOGJA.com).
Kebijakan zonasi sekolah ini rupanya mendapat respon dari berbagai pihak. Banyak anak didik mengeluhkan kebijakan ini. Pasalnya mereka yang memiliki nilai UN tinggi, tidak bisa menembus sekolah favorit yang diidamkan, disebabkan hanya karena domisili di luar zona sekolah tersebut. Sementara anak didik yang memiliki nilai terendah bisa masuk ke sekolah favorit disebabkan domisili yang dekat.
Banyak persoalan lain yang muncul akibat dari kebijakan zonasi sekolah ini. PPDB di tiap sekolah berkewajiban menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah, paling sedikit 90 persen dari total jumlah peserta didik yang diterima. Meskipun bertujuan baik, kebijakan ini menemui berbagai kendala. Adapun niat baik tersebut seperti penghilangan ‘kastanisasi’, mempermudah jangkauan peserta didik sehingga mengurangi beban beaya transportasi, pemerataan dan kemajuan pendidikan di berbagai daerah dan masih banyak lagi tujuan lainnya.
Disebabkan kebijakan ini belum diimbangi dengan kebijakan memadainya sekolah-sekolah yang belum terkategori memadai, maka memunculkan persoalan baru. Seperti penyediaan sarana dan prasarana yang memadai di berbagai sekolah di pelosok/daerah, tenaga pendidik yang merata dan persoalan lainnya yang membuat calon peserta didik enggan untuk memilih sekolah di tempatnya.
Persoalan yang muncul di antaranya tidak seimbang antara daya tampung sekolah dengan siswa. Akibatnya banyak siswa yang akhirnya tidak mendapat sekolah terdekat. Padahal sekolah lain di luar daerahnya sudah tutup pendaftaran. Jadilah mereka musti ke luar dari zona sekolah, bahkan musti rela versekolah di sekolah swasta.
Masalah berikutnya adalah manipulasi data peserta didik. Muncul persoalan ini karena ada pasal karet dalam Permendikbud 14/2018 yang menyebut kalau “domisili calon peserta didik yang termasuk dalam zonasi sekolah didasarkan pada alamat Karyu Keluarga yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB (pasal 16 ayat 2).”
Sekolah yang jauh dari konsentrasi pemukiman warga biasanya berada di pusat kota, akan sepi dari peminat. Yang nantinya akan berakibat kerugian bagi para guru yang terkurangi jam mengajar dan berpengaruh terhadap tunjangan sertifikasi.
Selain hal di atas pola pikir masyarakat yang masih berkutat pada sekolah favorit. Pada faktanya memanglah demikian. Lihat saja sekolah yang pernah mendapatkan label favorit, terdpat sarana dan prasarana yang memadai, seperti memiliki berbagai laboratorium, sarana ekstrakurikuler dan masih banyak fasilitas lainnya yang biasanya sekolah inibberada di kota besar. Ini semua belum tentu dimiliki oleh sekolah di daerah atau di pelosok. Sangat tampak ketimpangan dalam hal ini.
Ditambah lagi dengan anak-anak yang tingkat berpikirnya berbeda, akan bercampur menjadi satu. Ini juga menjadi keaulitan bagi para guru dalam menyampaikan materi ajarnya. Juga kesulitan tersendiri bagi siswa yang kurang cerdas dalam mengikuti teman-teman merwka yang cerdas.
Dengan demikian benarlah peribahasa “Sedap jangan ditelan, pahit jangan segera dimuntahkan.” Artinya: Berpikir baik-baik sebelum bertindak agar tidak kecewa. Kebijakan yang belum matang tetapi sudah dilaksanakan dan terkesan dipaksakan, sehingga hasilnya tumpang tindih. Ini semua menunjukkan kelemahan riayah sistem pendidikan berbasis sekuler. Tersebab, kondisi sekolah yang tidak merata dari fasilitas, sarana, prasarana, anak didik hingga pelajar. Semua akan menyebabkan kecemasan, kekacauan dan keresahan masyarakat. Padahal sudah jelas, tugas pemerintah adalah memberi rasa aman bagi para warga, memberi pelayanan kebutuhan pokok dasar pada masyarakat, termasuk penyelenggara pendidikan.
Wallalhualam bisawwab