Oleh: Khaira Ummu Hanif
#MuslimahTimes –– Dilatarbelakangi kesenjangan pendidikan di negeri ini, berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no.51 tahun 2018, pemerintah mengeluarkan kebijakan sistem zonasi PPDB sekolah. Di mana menurut kebijakan tersebut, penerimaan peserta didik adalah didasarkan pada domisili terdekat dari sekolah tertentu. Dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut, diharapkan dapat terwujud pemerataan kualitas sekolah dan mampu menghapus ‘kastanisasi’ pendidikan akibat fenomena ‘sekolah favorit/unggulan’ di tengah masyarakat yang selama ini dinilai menjadi pemicu kesenjangan.
Namun, alih-alih menjadi solusi, nyatanya sistem zonasi ini malah menuai berbagai kontroversi dan melahirkan persoalan baru. Fakta-fakta tak sedap terus-menerus disuguhkan sejak diberlakukannya kebijakan ini di berbagai daerah di Indonesia. Orangtua yang shock sebab anaknya yang memiliki nilai UN tinggi harus tersingkir dari daftar calon peserta didik di sekolah favorit di kotanya, bahkan kalah saing dengan anak yang nilai UN-nya lebih rendah hanya karena persoalan domisili. Sejumlah siswa yang dipaksa mengubur dalam-dalam impiannya untuk dapat melanjutkan pendidikannya di sekolah tertentu sebab terhalang sistem zonasi, bukan tidak mungkin berdampak frustasi. Seperti yang terjadi di Pekalongan baru-baru ini. Seorang siswi lulusan SD yang kerapkali menjadi juara, membakar piagam-piagam penghargaannya sebagai ekspresi kekecewaan sebab tidak diterima di SMP dambaanya yang dinilai berjarak terlalu jauh dari domisilinya. Akibat zonasi, prestasi seakan tiada arti. Cita-cita generasi pun dikebiri.
Di sini pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan zonasi yang telah digulirkannya dan tidak memaksakan kehendaknya atas rakyat yang merasa dirugikan dengan diberlakukannya kebijakan tersebut. Sebab idealnya sebuah solusi, ia mampu memecahkan seluruh permasalahan dan menjadi titik terang bagi semua kalangan.
Terkait fenomena ‘sekolah favorit/unggulan’ yang lekat di tengah masyarakat, yang menjadikan suatu sekolah lebih diminati daripada sekolah-sekolah lainnya sehingga dinilai menyebabkan kesenjangan dan ‘kastanisasi’ pendidikan, maka perlu dikritisi mengapa hal ini bisa terjadi? Sekolah favorit/unggulan identik dengan fasilitas sekolah yang lengkap, tenaga pengajar yang mumpuni, dan lulusan yang dinilai berkualitas baik dari sisi prestasi akademiknya maupun daya saingnya di dunia pasca sekolah (dunia kerja atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi). Ini berarti adanya masalah dalam hal pemerataan pembangunan infra dan suprastruktur di setiap sekolah. Setiap sekolah bisa saja menjadi unggulan jika benar-benar difasilitasi oleh negara sebagai periayah utama. Bukan malah menyerahkan pada kemampuan masing-masing sekolah yang tentu saja berbeda, atau bahkan membebankannya pada wali murid dengan berbagai iuran-iuran. Demikian pula dari segi tenaga pengajarnya. Gaji guru yang kurang memadai, terlebih yang masih honorer, menjadi salah satu faktor menurunnya profesionalitas pengajar. Maka jaminan kesejahteraan guru adalah tanggungjawab negara yang harus ditunaikan demi menunjang propesionalitasnya dan meningkatkan mutu pendidikan. Jika negara mampu menjamin setiap sekolah di negeri ini memiliki fasilitas yang memadai dan tenaga pengajar yang berkualitas dan profesional, bukan mustahil setiap sekolah mampu mencetak lulusan yang juga berkualitas.
Dengan meninjau hal ini, mestinya tidak perlu ada kebijakan zonasi. Melainkan pemerintah yang hakikatnya adalah periayah masyarakat hendaknya memaksimalkan upaya dalam pemerataan perbaikan kualitas infra dan suprastruktur sekolah sebagaimana yang telah diuraikan. Pemerintah sungguh telah salah riayah dengan memberlakukan sistem zonasi ini, namun berlepas tangan dari apa yang seharusnya dilakukannya.
Selain itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan sebenarnya yang perlu dilakukan adalah memperbaiki paradigma pendidikan itu sendiri berikut implementasinya. Jika dalam sistem Kapitalis-Sekuler pendidikan dipandang tak ubahnya sebagai alat untuk meraup keuntungan materi, di mana pembelajaran di sekolah sebatas untuk transfer ilmu, dengan tujuan kelak bisa menghasilkan lulusan yang mampu bersaing atas dasar materialisme. Maka tak heran jika output yang dihasilkannya pun hanya pintar di bidang akademiknya saja, namun memprihatinkan dalam hal moral dan pemahaman agamanya. Misalnya para koruptor berdasi, bukankah mereka berpendidikan tinggi? Namun ironisnya malah melakukakan perbuatan yang teramat rendah.
Berbeda dengan sistem pendidikan Islam. Dalam Islam, tujuan dari pendidikan adalah terbentuknya kepribadian Islam (pola pikir dan pola sikap yang islami) atas dasar aqidah Islam. Kurikulum dan pembelajarannya pun tentunya berbasis aqidah Islam yang tak hanya mencerdaskan, namun juga memuliakan. Outputnya adalah generasi khairu ummah (ummat terbaik) yang mampu menorehkan tinta emas peradaban di masa mendatang. Maka tengoklah ke zaman kekhilafahan, di mana sistem pendidikan Islam diterapkan. Kancah pendidikan mampu mencetak ilmuwan-ilmuwan muda berpengaruh di dunia dengan karyanya yang fenomenal, seperti Al-Khawarizmy, Ibnu Haitsam, Al,-Biruni, Ibnu Sina, dan masih banyak lagi. Mereka tak hanya cerdas secara intelektual, namun juga faqih fiddin dan ‘alim ‘ulama.
Tentu kita merindukan hal yang demikian. Sayangnya potret indah wajah pendidikan Islam takkan tercermin dalam sistem demokrasi kapitalis sekuler. Hanya akan tergambar dan dapat dirasakan kembali dengan diterapkannya Islam Kaaffah di tengah-tengah ummat dalam bingkai Khilafah. Maka penguasa negeri kaum muslimin, janganlah salah riayah. Kami tak butuh zonasi sebagai solusi atas carut-marutnya pendidikan di negeri ini. Sungguh hanya dengan Islam-lah yang akan mampu mencerdaskan generasi.