Oleh: Endang Setyowati
(Member Revowriter)
Muslimatimes- Beberapa hari terakhir kasus hukum yang menjerat seorang wanita di negeri ini menjadi perhatian dunia, banyak media internasional memberitakannya. Media internasional yang berbasis di Amerika Serikat, seperti Reuters, Washington Post hingga New York Post ramai-ramai memberitakan kasus yang menjerat wanita tersebut.
“Indonesia’s top court jails woman who reported workplace sexual harassment,” begitulah bunyi judul Reuters dan New York Post. Terjemah judul itu adalah “Pengadilan tertinggi di Indonesia penjarakan wanita yang melaporkan pelecehan seksual di tempat kerja”.
Sementara media ternama Inggris, BBC, mengangkat judul; “Indonesian woman jailed for sharing boss’s ‘harassment’ calls”. Terjemah dari judul itu adalah; “Wanita Indonesia dipenjara karena berbagi penggilan ‘pelecehan’ atasan.”
Al Jazeera, media yang berbasis di Qatar juga ikut mengulas kasus Baiq. “Indonesia: Top court rejects woman’s appeal over boss’s lewd call,” bunyi judul media Arab tersebut. (Sindonews 6/7/2019)
Semua bermula dari kasus penolakan Mahkamah Agung (MA) atas Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril Maknun (37th) mantan guru perempuan asal Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Penolakan PK itu membuat Baiq tetap menjalani hukuman penjara. Baiq adalah terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ditolaknya PK oleh MA, membuat mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram itu tetap menjalani hukuman enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan sesuai putusan Kasasi MA.
Kasusnya menjadi ironi atas penerapan hukum di Indonesia. Kasus ini bermula ketika Baiq merekam percakapan telepon dengan kepala sekolah yang jadi atasannya saat dia menjadi guru. Rekaman itu untuk membuktikan bahwa bosnya melecehkannya secara seksual. Namun, Baiq justru dilaporkan ke polisi pada 2015 atas tuduhan pelanggaran UU ITE.
Pada November lalu MA menyatakan bahwa Baiq bersalah karena melanggar kesusilaan berdasarkan hukum informasi dan transaksi elektronik. Pada hari Kamis, PK yang diajukannya ditolak dengan anggapan dia gagal menghadirkan bukti baru.
“Peninjauan yudisialnya ditolak karena kejahatannya telah terbukti secara sah dan meyakinkan,” juru bicara pengadilan Abdullah kepada berita AFP. Pengadilan juga menguatkan denda Rp500 juta.
Ini adalah sekelumit potret tentang pengadilan di negeri ini. Para pengadu yang ingin mendapatkan keadilan justru didenda bahkan di penjarakan. Walaupun dengan hati yang berat merekapun menerima keputusan itu.
Hakikatnya keadilan hukum dalam sistem demokrasi ini hanyalah mengabdi kepada para pemilik kekuasaan yang seringkali tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Menjadi alat menekan yang lemah dan melanggengkan kekuasaan.
Lain halnya di dalam Islam, sebuah perkara diputuskan menurut hukum syariah yang telah Allah SWT turunkan. Karena hanya hukum Allah sematalah yang seharusnya kita terapkan, karena hanya hukum Allah saja yang terbaik bagi manusia.
Allah SWT berfirman:
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”
(TQS. Al-Ma’idah 5:50).
Dalam memutuskan perkara itu, seorang qâdhi atau hakim hanya disyariatkan untuk memutuskan menurut yang tampak (al-hukmu bi azh-zhâhir), yakni yang terungkap dari bukti-bukti dan kesaksian.
Dalam hal itu, Islam memerintahkan agar qâdhi (hakim) tidak tergesa-gesa memutuskan, tetapi harus mendengar dari kedua pihak secara mencukupi.
Dalam hal keputusan berdasarkan yang tampak itu boleh jadi salah satu pihak lebih jago dalam memaparkan dan mengemukakan argumentasi.
Akibatnya, qâdhi atau hakim memutuskan untuk kemenangan dia. Padahal sebenarnya dia di pihak yang salah. Rasul saw. mengingatkan bahwa keputusan yang demikian jangan diambil sebab itu merupakan potongan dari neraka.
Ummu Salamah ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
“Sungguh aku hanya seorang manusia, sementara kalian mengajukan persengketaan kalian kepadaku. Boleh jadi sebagian kalian lebih fasih dengan hujjahnya dari sebagian yang lain.
Lalu aku memberikan keputusan yang memihak dia berdasarkan apa yang aku dengar dari dirinya. Karena itu siapa saja yang aku beri putusan dengan merampas hak saudaranya maka janganlah dia ambil. Sebab itu berarti aku memberi dia satu potongan dari api neraka.” (HR asy-Syafii, Muslim dan an-Nasa’i).
Keadilan dalam memutuskan perkara, apapun bentuknya dan siapapun yang terlibat, akan terwujud saat syariah Islam diterapkan. Sebab syariah Islam yang dijadikan dasar untuk memutuskan perkara berasal dari Zat Yang Mahaadil.
Jika qâdhi (hakim) memutuskan perkara dengan syariah Islam dan dia memiliki integritas atas dasar iman dan rasa takut akan azab neraka di akhirat, pasti dia akan memutuskan perkara secara adil. Maka sudah seharusnya kita bersama-sama mewujudkan dan menerapkan Islam secara kaffah di tengah-tengah kita saat ini.[nb]