Oleh Ai Suharti, S.Pd.
MuslimahTimes– Keadilan di negeri ini jika diibaratkan barang adalah barang yang mahal dan antik atau langka. Negeri yang katanya menjunjung pancasila yang salah satu silanya berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, tapi sungguh sulit untuk mencari yang namanya keadilan di negeri ini. Banyak kasus hukum yang membuktikan bahwa begitu langkanya keadilan di negeri ini.
Contoh kasus adalah sengketa pilpres di MK, meski banyak bukti yang diberikan terkait kecurangan tapi pada akhirnya MK memutuskan pihak yang dianggap curang akhirnya memenangkan sengketa itu. Kasus lainnya adalah yang terbaru terkait pelecehan seksual yang dialami Baiq Nuril.
Peninjauan Kembali yang diajukan Baiq Nuril, terpidana kasus pelanggaran UU ITE ditolak Mahkamah Agung. Alasannya, Baiq Nuril tak mampu hadirkan bukti baru atas kasus pelecehan seksual yang menimpanya. Ditolaknya PK oleh MA membuat Baiq Nuril harus tetap menjalani hukuman enam bulan penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Putusan MA kembali mencederai keadilan hukum yang ditegakkan di negeri ini. Maksud hati melaporkan pelecehan, malah berkebalikan. Ia dilaporkan balik karena dituduh telah menyebarkan rekaman dirinya dengan Kepala Sekolah tempatnya bekerja.
Lain Nuril, lain pula nasib Syafruddin. Koruptor kasus BLBI itu dinyatakan bebas pasca putusan kasasi MA. Ia dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum. Dalam putusan kasasi itu disebutkan, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu memang bersalah atas perbuatannya hanya saja majelis hakim menilai tindakan Syafruddin bukan ranah pidana. Padahal pengadilan tinggi DKI telah menyatakan bahwa Syafruddin Arsyad terbukti bersalah terkait penerbitan SKL BLBI yang merugikan negara. Ia dijerat hukuman 15 tahun penjara. Namun, putusan MA justru mementahkan semua itu.
Apalagi kasus yang menimpa umat Islam, sedikit saja umat Islam yang berujar yang berseberang dengan pemerintah langsung ditindak meskipun tak cukup bukti, tapi berbeda halnya kalau ujaran itu dilontarkan untuk menghina dan melecehkan Islam, maka saat itulah hukum diam membisu dan akhirnya pelaku tak pernah tersentuh hukum sedikit pun, adapun kalau terus didesak maka pengujar kebencian terhadap Islam itu oleh aparat hukum cukup pelaku disuruh untuk meminta maaf, sesudah itu urusan selesai. Sungguh inikah yang disebut keadilan di negeri ini?
Itulah sebagian kasus yang terjadi yang menggambarkan begitu sulit mencari keadilan di negeri ini.
Inilah gambaran keadilan di negeri demokrasi. Sangat wajar memang hal ini terjadi di sistem demokrasi karena demokrasi dengan asas sekularnya (memisahkan agama dari kehidupan) maka yang dijadikan landasan perbuatannya adalah manfaat atau kepentingan materi semata.
Begitupun dalam standar keadilan hukum, maka keadilan hukum dalam sistem demokrasi hanya mengabdi kepada kepentingan pemilik kuasa (multi tafsir, standar tak jelas, tumpul ke atas dan tajam ke bawah, jadi alat menekan yg lemah dan melanggengkan kekuasaan), intinya standarnya adalah menyelamatkan “kepentingan” pihak-pihak tertentu terutama pemilik modal. Itu sebagaimana dipertontonkan saat ini.
Jadi hal yang mustahil bagi rakyat kecil bisa mendapatkan keadilan di alam demokrasi ini.
Berbeda halnya dengan Islam, sungguh agung keadilan hukum dalam Islam. Islam menjadikan syariat sebagai standar dalam seluruh perbuatan termasuk dalam bidang hukum peradilan. Hukum dalan Islam tidak pandang bulu. Hal itu tergambar salah satunya dalam hadits Rasulullah SAW berikut:
“Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang bisa melobi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka Usamah pun berkata (melobi) rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, ‘Apakah Engkau memberi syafa’at (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).
Ketika menjelaskan hadits ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata, ”Inilah keadilan”. Inilah penegakkan hukum Allah, yaitu bukan atas dasar mengikuti hawa nafsu. Rasulullah bersumpah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri –dan Fatimah tentu lebih mulia secara nasab dibandingkan dengan wanita bani Makhzum tersebut karena Fatimah adalah pemimpin para wanita di surga- maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan memotong tangannya.”
Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah melanjutkan, ”Demikianlah, wajib atas pemimpin (pemerintah) untuk tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Mereka tidak boleh memihak seorang pun karena hubungan dekat, kekayaannya, kemuliaannya di masyarakat (kabilah/sukunya), atau sebab lainnya” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1/2119, Maktabah Asy-Syamilah).
Ada kisah lain seperti dilansir Republika.co.id, dalam kitab Subulus Salam, karya al-Shan’ani dikisahkan, suatu hari, Khalifah Ali bin Abi Thalib sedang berjalan-jalan di Kota Madinah. Ia memantau segala situasi dan kondisi masyarakat Madinah. Tak disangka, saat itu ia melihat seseorang sedang memakai baju besi.
Ali mengenali baju besi tersebut. Dirinya sangat yakin baju besi itu adalah miliknya yang telah hilang beberapa waktu sebelumnya saat Perang Shiffin.
Tanpa menunggu waktu, Khalifah Ali langsung mendatangi orang yang bersangkutan dan diketahui seorang Yahudi. Ali menyatakan baju besi itu adalah kepunyaannya.
Tentu saja kedatangan Khalifah Ali yang mendadak itu membuat si Yahudi ini kaget. “Baju besi ini kepunyaanku yang jatuh dari untaku (Awraq) saat Perang Shiffin,” kata Ali.
Si Yahudi menolak pernyataan Ali, dan ia pun mempertahankan baju besi yang dipegangnya dengan argumentasi yang meyakinkan. “Tidak, baju besi ini milikku,” kata dia.
Karena saling mengklaim, maka keduanya sepakat untuk membawa perkara itu ke mahkamah keadilan. Hakim yang menjadi pengadil adalah Syuraih bin Al-Harits Al-Kindi Rahimahullah (RA), dan merupakan sahabat dekat Khalifah Ali.
Di mahkamah keadilan, Ali duduk di sisi Syuraih. Sedangkan si Yahudi duduk di hadapan keduanya. Ali mengatakan, dirinya ingin duduk berdampingan dengan si Yahudi, namun dia merasa enggan.
Ali pun mengadukan hal yang menjadi perdebatan di antara dirinya dengan si Yahudi. “Wahai tuan hakim, aku menuntut orang Yahudi ini karena ia telah menguasai baju besi milikku, tanpa sepengetahuanku,” ujar Ali kepada Syuraih.
Syuraih menoleh ke arah si Yahudi dan bertanya, ”Betulkah tuduhan Ali, baju besi yang berada di tanganmu itu miliknya?” Orang Yahudi itu menyanggahnya. ”Tidak, tuan hakim. Baju besi ini kepunyaanku,” kata dia.
Ali tampak emosional dan menuding si Yahudi telah berbohong. “Dia bohong, baju besi itu milikku, dan aku sangat mengenali baju besi itu,” kata Khalifah Ali menegaskan.
Syuraih pun menengahi agar Ali tidak berpanjang-panjang. ”Begini, Saudara Ali bin Abi Thalib. Yang terlihat, baju besi itu kini berada dalam penguasaan Yahudi ini. Jadi, kalau engkau mengklaim baju besi itu milikmu, engkau harus mengajukan dua saksi atau bukti-bukti lainnya.”
Ali pun siap dengan permintaan Syuraih. Ia pun menunjukkan dua anaknya, Hasan dan Husein untuk menjadi saksinya. Namun demikian, kedua saksi yang ditunjuk Ali, ternyata ditolak oleh Syuraih.
”Kesaksian anak kandung, berapa pun jumlahnya, tidak sah menurut hukum yang berlaku. Jadi, kalau tidak ada bukti-bukti lain, tuduhanmu itu batal dan baju besi ini mutlak kepunyaan Yahudi ini,” kata Syuraih.
Karena tak bisa lagi menunjukkan bukti lainnya, Ali menerima vonis yang telah diputuskan oleh Syuraih yang ditunjuk oleh keduanya untuk menjadi pengadil di antara mereka.
Tuduhan Khalifah Ali yang juga kepala negara dibatalkan oleh pengadilan. Dan baju besi, tetap berada di tangan si Yahudi.
Ali pun dengan lapang dada menerimanya, walau saksi yang mau diajukannya sangat mengetahui kasus yang sebenarnya. Namun, karena itu dianggap bagian dari ‘nepotisme’, maka kesaksiannya tidak dibenarkan.
Menyaksikan sikap Ali yang legowo (lapang dada), terketuklah hati si Yahudi. Ia pun mengakui baju besi itu adalah milik Ali yang terjatuh saat Perang Shiffin. Ia kemudian bersyahadat
Begitulah sepenggal kisah tentang gambaran keadilan hukum yang dipraktekan dalam Islam yang tak pernah gegabah dalam memutuskan hukum, yang tak pandang bulu dalam menetapakan hukum, bahkan dengan keadilan hukum yang ditunjukan oleh Islam membuat orang non muslim masuk Islam seperti yahudi yang berselisih dengan kholifah Ali yang dikisahkan di atas.
Dalam Islam, hakim menjadikan rasa takutnya kepada Allah SWT dalam memutuskan suatu perkara, sehingga tidak akan pernah terbeli dengan uang ataupun hal-hal lainnya yang sifatnya duniawi. Karena dalam Islam hakim menjalankan amanahnya semata-mata untuk menjalankan syariat Islam.
Itulah perbedaan Islam dengan demokrasi, jadi tidak ada cara lain untuk mendapatkan keadilan hukum kecuali kembali kepada sistem Islam.
Dan sistem peradilan Islam ini bisa terealisasi secara sempurna hanya dengan penerapan Islam dalam naungan Khilafah. Wallahu ‘alam
[Mnh]