Oleh: Ummu Ainyssa
(Member Akademi Menulis Kreatif)
“Orang baik berjuang untuk keadilan dalam sistem demokrasi akan terbunuh”
Muslimahtimes– Kurang lebih itulah ungkapan yang pernah dikemukakan oleh Socrates dalam Encyclopedia Britannica.
Seperti inilah yang terjadi saat ini, keadilan seolah telah mati dalam sistem demokrasi di negeri ini.
Seperti hilangnya keadilan dalam kasus yang menimpa Baiq Nuril (37th) mantan seorang guru honorer di SMAN 7 Mataram yang mengalami pelecehan seksual oleh atasannya sendiri, Kepala Sekolah berinisial M.
Baiq Nuril melaporkan kasus yang menimpa dirinya, namun mirisnya justru malah dialah yang harus mendekam di penjara. Ia didakwa telah melanggar pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE dengan ancaman hukuman enam tahun penjara dan denda sebesar 500 juta rupiah.
Perkara bermula ketika Nuril dituduh telah merekam dan menyebar percakapan bermuatan asusila kepala sekolahnya saat menelponnya bulan Desember 2014 lalu.
Rekaman percakapan tersebut ternyata tersebar, sehingga membuat sang kepala sekolah malu dan akhirnya melaporkan dirinya ke Polres Mataram serta memecatnya sebagai guru honorer.
Dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Mataram tertanggal 26 Juli 2017, majelis hakim yang diketuai Albertus Usada sebenarnya telah memvonis Nuril bebas.
Namun jaksa tidak terima, lantas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Dalam putusan tertanggal 26 September 2018, MA melalui Majelis Kasasi yang dipimpin oleh Hakim Agung Sri Murwahyuni justru menganulir putusan PN Mataram.Dalam putusannya, MA membatalkan putusan PN Mataram Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr tanggal 26 Juli 2017.
Selanjutnya Baiq Nuril mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan pasal kekhilafan hakim. Namun PK ditolak karena Baiq Nuril dianggap gagal menghadirkan bukti-bukti baru dan hanya mengulang-ulang fakta yang telah dipertimbangkan dalam putusan sebelumnya.
“PK Baiq Nuril ditolak, artinya putusan pengadilan tingkat pertama sampai tingkat kasasi sudah benar. Perbuatan pidananya terbukti secara sah dan meyakinkan.” Ujar Ketua Bidang Hukum dan Humas MA, Abdullah, saat di konfirmasi melalui pesan singkat, Jumat 5/7 (Republika.co.id, 07 Juli 2019)
Ditolaknya PK ini memperkuat vonisnya enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan penjara.
Bahkan penolakan MA atas PK yang diajukan Baiq Nuril ini menjadi sorotan media-media internasional. Kasusnya menjadi ironi hukum di Indonesia. Seperti media internasional yang berbasis di Amerika Serikat, seperti Reuters, Washington Post hingga New York Post ramai-ramai memberitakan kasus ini.
“Indonesia’s top court jails woman who reported workplace sexual harassment” bunyi judul Reuters dan New York Post.(SindoNews.com, Sabtu 6 Juli 2019)
Sesungguhnya ini hanyalah secuil contoh dari ketidakadilan di negeri ini. Sebelumnya telah banyak ketidakadilan yang diterima oleh masyarakat.
Kasus yang menimpa nenek Asyani (67th) misalnya yang didakwa mencuri 7 batang pohon jati milik perhutani di Desa Jatibanteng, Jawa Timur, harus menerima vonis satu tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda 500 juta rupiah subsider 1 hari hukuman percobaan. Seperti yang ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, Kamis (23/4/2015)
Kasus lain dialami nenek Minah yang dihukum 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan lantaran memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) di Dusun Sidoarjo, Banyumas, Jawa Tengah.
Hakekatnya keadilan hukum dalam sistem demokrasi hanyalah mengabdi kepada kepentingan pemilik kuasa, multitafsir, standar tidak jelas, tumpul ke atas dan tajam ke bawah, menjadi alat menekan yang lemah dan melanggengkan kekuasaan.
Berbeda dengan keadilan dalam sistem Islam. Di dalam Islam hukum bersifat tegas dan tetap, tidak terpengaruh oleh massa atau waktu. Sejak Alquran diturunkan hingga hari kiamat nanti pun hukum Islam tetap sama, tidak akan mengubah beratnya sanksi atau timbangan. Contoh, hukum bagi para pezina dari dulu tetap sama seperti yang tertulis dalam QS An Nur ayat 2:
“Pezina perempuan dan laki-laki maka cambuklah masing-masing 100 kali cambukan“
Selain itu, Islam juga memiliki mekanisme kontrol yang kuat. Karena dorongannya adalah akidah, sehingga masyarakat juga ikut mengingatkan. Karena ada perintah dari Allah untuk melakukan nahi munkar. Jika penguasa salah, harus diingatkan. Beda halnya dengan sekarang, sifat individualis yang lebih menonjol, tak peduli dengan lingkungan sekitarnya sehingga kontrol tidak ada.
Hukum Islam juga tidak diskriminatif. Berbeda dengan hukum sekarang, tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Rasulullah S.A.W bersabda; “Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian itu karena mereka menegakkan hukum pada orang-orang yang lemah.” (HR Bukhari no.6788 dan Muslim no.1688)
Jika kepada orang lemah tegas, sementara kepada orang atas atau yang berkuasa bersikap lemah. Bahkan Rasululullah pun berkata kepada para sahabat, “Andai saja Fatimah binti Muhamad mencuri, pasti akan kupotong tangannya”.(al Bukhari dan Muslim)
Begitu juga pada masa para sahabat , seperti penegakan hukum pada masa Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. Ketika Umar ra menanyakan kondisi pencuri, ia mendapati fakta ternyata si pencuri tadi setelah bekerja berbulan-bulan tidak dibayar oleh majikannya sehingga tidak bisa menafkahi anak isterinya. Dalam kondisi seperti itu, Umar bin Khattab tidak menjatuhkan hukuman kepada si pencuri, namun sebaliknya majikannya yang dipanggil, dan diberi sangsi. Karena majikannya telah menzalimi pekerjanya, padahal dalam hadis Nabi S.A.W seorang majikan harus membayarkan gaji pekerjanya sesegera mungkin sebelum keringatnya kering.
Di sinilah terlihat betapa hukum Islam mampu memberikan efek jera dan betul-betul adil terhadap manusia. Berbeda dengan hukum dalam sistem demokrasi.
Maka dari itu sudah saatnya kita kembali kepada aturan Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan yang akan menerapkan keadilan dengan seadil-adilnya. [nb]