Oleh: Supiani
(Member Forum Muslimah Peduli Umat Serdang Bedagai)
#MuslimahTimes — Membahas tentang utang, kita akan teringat dengan lirik lagu H. Rhoma Irama “Gali Lobang Tutup Lobang”. Lagu ini mengingatkan kita bahaya dari menumpuk utang. Bahkan utang akan mengancam ketenangan ketika demi melunasinya kita justru membuka lubang utang yang baru.
Ironinya, negeri tercinta kita, Indonesia, tak mampu mengambil pelajaran dari lagu populer si Raja Dangdut ini. Utang pun menjadi tameng bagi tiap proyek yang hendak diwujudkan.
Seperti belum lama ini, laman CNN Indonesia merilis artikel berjudul Bank Dunia Kucurkan Pinjaman Rp. 3,5 T untuk Madrasah RI (28/06/19). Pinjaman akan digunakan untuk program realizing education’s promise. Melalui proyek tersebut pemerintah akan membangun sistem perencanaan dan penganggaran elektronik berskala nasional untuk mendorong belanja yang lebih efisien oleh sumberdaya di bawah naungan kemenag.
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin menyatakan pengembangan madrasah tidak akan optimal jika hanya mengandalkan anggaran negara. Pasalnya, keterbatasan dana mengakibatkan pengembangan madrasah lebih terpusat pada pengembangan bangunan fisik, belum ke arah kualitas pendidikan.
Ghirah Islam sedang membara. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya SD Negeri berbasis Islam bermunculan di tiap daerah. Namun sangat disayangkan, ghirah Islam ini justru dijadikan bidikan para liberal. Islam kaffah justru mendapat label radikal dan ekstrem.
Peningkatan Mutu Pendidikan Haruskah Utang?
Sungguh mengherankan. Sebagai negeri kaya akan sumber daya alamnya, nyatanya Indonesia tak mampu menjadi negeri independen. Ketergantungan akan asing begitu menjerat Indonesia. Bahkan demi meningkatkan mutu pendidikan saja, Indonesia masih harus berutang ke luar negeri.
Masalahnya, sebagai negeri yang berada di bawah kekuasaan asing, membuat Indonesia belum mampu melunasi utang yang sudah ada. Bahkan yang ada, utang negara kian bertambah. Namun kini, Indonesia seolah dengan begitu rela hati menceburkan urusan negerinya dalam kubangan intervensi asing atas arah pendidikan Islam.
Melihat kenyataan ini, semakin menunjukkan bahwa pemerintahan Indonesia hari ini jelas tak benar-benar serius dalam menangani permasalahan yang ada. Terutama masalah pendidikan yang merupakan pilar bagi terbangunnya masa depan yang gemilang. Utang luar negeri berkemungkinan hanya akan menjadi peluang terjadinya tindakan korupsi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Maksum, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), “pengalaman selama ini urusan kualitas sosial seperti ini tidak jelas hasilnya. Banyak manipulasi dan tidak efektif. Ini menjadi tantangan.” (Republika.co.id, 20/06/19).
Waspada Jebakan Utang
No free lunch, atau tidak ada makan siang gratis. Di tengah gelora kapitalisme yang menyelimuti hampir seluruh penjuru dunia, maka sudah menjadi wajar jika tiap uang yang digelontorkan bagi negara lain memiliki maksud dan tujuan tertentu. Terlebih lagi, kini Bank Dunia justru menggelontorkan dana bagi proyek peningkatan mutu pendidikan Islam.
Agaknya sudah dapat diprediksi, jika kemudian dana yang digelontorkan bank dunia, baik hibah ataupun utang, jelas akan membawa dampak tertentu bagi pendidikan Islam di Indonesia. Apalagi di tengah gejolak perang pemikiran antara Islam kaffah dan Islam moderat, menjadikan Indonesia sasaran empuk bagi masuknya ide-ide barat. Maka, sistem pendidikan adalah jalan tol bagi terus masuknya ide-ide barat tersebut demi melawan ide-ide Islam kaffah.
Apalagi Indonesia sebagai negara yang belakangan begitu anti terhadap ide khilafah sebagai ajaran Islam, mencoba menghalau berkembangnya ide tersebut dengan menciptakan layanan pendidikan Islam berbasis moderasi. Dimana madrasah (yang seharusnya berbasis Islam) justru kelak hanya akan menjadi sekolah-sekolah yang mengedepankan nilai ujian nasional semata. Minim dari akhlak yang baik dan sikap yang Islami.
Hal ini jelas berbahaya. Indonesia mestinya mampu mengambil pelajaran dari situasi yang sudah ada. Sebagaimana dikatakan ole Al- Khatabi, “ ( لايلدغالمؤمنمنحجرمرتين) seorang mukmin tidak akan jatuh pada lubang yang sama dua kali , secara lafadz ungkapan diatas adalah sebuah kabar tetapi maknanya adalah perintah. Yaitu agar setiap mukmin senantiasa waspada dan tidak lalai hingga tertipu berkali-kali.” Dan Abu Ubaid berkata: “Makna dari hadits tersebut adalah tidak layak seorang mukmin apabila dilukai dari satu sisi kemudian ia kembali padanya.”
Namun hal ini jelas mustahil. Sebagai negara kapitalis demokrasi hanya akan menjadikan madrasah sebagai lahan bisnis. Madrasah hanya akan menjadi akses bagi penjajahan gaya baru yang dilakukan para kaum liberal. Dunia hari ini jelas anti terhadap Islam, sebab mereka telah terbuai oleh kehidupan alam kapitalisme.
Pendidikan sejatinya adalah pilar bagi peradaban yang penuh cahaya di hari kelak. Maka untuk membangunnya haruslah dengan niat dan cara yang benar. Pendidikan dibangun untuk menciptakan generasi yang mampu berpikir cemerlang demi membangun negeri yang dirahmati Allah, bukan malah memciptakan generasi liberal yang justru akan menjadi penghancur negeri.
Oleh karenanya, kembali kepada kehidupan Islami adalah cara terbaik bagi terwujudnya pendidikan yang berkualitas, baik untuk kepentingan duniawi juga ukhrowi. Sejatinya, Indonesia sedang berada dalam kedaruratan intervensi asing terutama dalam bidang pendidikan. Sistem Islamlah yang mampu mengembalikan hakikat pendidikan.
Wallau a’alam.