Oleh. Hana Annisa Afriliani,S.S
(Penulis Buku “Menikah Rasa Jannah”)
Muslimahtimes– Muncul lagi pernyataan kontroversial, kali ini datang dari Komnas perempuan yang menyatakan bahwa seorang suami yang memaksa istrinya berhubungan intim berarti telah melakukan tindak perkosaan alias marital rape.
Menurut Oxford Dictionaries, marital rape diartikan sebagai “Rape commited by the person to whom the victim is married” yaitu perkosaan yang dilakukan seseorang kepada korban yang sudah dinikahinya.
Pernyataan tersebut muncul karena banyaknya kasus penyiksaan suami terhadap istrinya disebabkan karena masalah ‘ranjang’. Sebagaimana dilansir oleh Kompas.com (08-07-2019) bahwa seorang pria bernama Anton Nuryanto membacok istrinya, FZ karena menolak ketika diajak berhubungan badan di Jalan Ancol Selatan II, Sunter Agung, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (5/7/2019) lalu.
Akibat dibacok suaminya, FZ sempat mengalami luka serius dan harus dirawat di RSUD Koja. Sementara pelaku, suaminya dibawa ko Polsek Tanjung Priok.
Anton dikenakan Pasal 44 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam rumah Tangga dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.
Oleh karena itu, Komnas perempuan menyatakan bahwa pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga termasuk dalam tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Pelakunya dapat dikenai sanksi pidana.
Sungguh miris. Memang berul bahwa kekerasan dalam rumah tangga tak dapat dianggap biasa. Betapa tidak, institusi rumah tangga sejatinya adalah institusi agung tempat bersatunya dua insan untuk merangkai ibadah bersama.
Namun narasi “pemerkosaan dalam rumah tangga” yang dilontarkan oleh Komnas Perempuan tersebut justru dapat menjurus kepada opini pembangkangan seorang istri kepada suaminya. Sebagainya kita pahami, bahwa Islam memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya. Termasuk apabila suami mengajaknya berhubungan intim, haram bagi seorang istri untuk menolaknya kecuali jika ada alasan syari yang dibenarkan syariat. Misalnya istri sedang haid atau nifas.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ (فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا) لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur (untuk jima’/bersetubuh) dan si isteri menolaknya [sehingga (membuat) suaminya murka], maka si isteri akan dilaknat oleh Malaikat hingga (waktu) Shubuh.” (HR.Bukhari)
“Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang wanita tidak akan bisa menunaikan hak Allah sebelum ia menunaikan hak suaminya. Andaikan suami meminta dirinya padahal ia sedang berada di atas punggung unta, maka ia (isteri) tetap tidak boleh menolak.” (HR.Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Ahmad)
Jadi jelaslah Islam memerintahkan istri untuk melayani suaminya seoptimal mungkin. Tidak mencari-cari alasan untuk menolaknya. Karena hal tersebut merupakan hak suami.
Namun di sisi yang lain, Islam memerintahkan kepada para suami agar bersikap ma’ruf terhadap istrinya. Tidak memaksakan kehendak dengan sewenang-wenang. Dalam berhubungan intim, sebaik-baiknya suami adalah mereka yang memperhatikan kondisi istrinya. Misalnya jika istri sakit atau dalam kondisi yang sangat kelelahan, maka tentu para suami tidak akan memaksakan kehendaknya. Apalagi jika sampai menyakiti fisik istri. Tentu hal tersebut bukanlah perbuatan yang dibenarkan dalam pandangan syariah.
Banyaknya kasus KDRT yang terjadi saat ini seharusnya semakin menyadarkan kita bahwa penerapan sistem sekular-liberal hari ini telah membuka lebar-lebar terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Mengapa? Sebab agama tidak menjadi landasan dalam hubungan antara suami dan istri. Sehingga kedua pihak berbuat tanpa sandaran hukum syara.
Ketika Islam menjadi asas dalam sebuah bangunan rumah tangga, tentu hubungan yang terjalin di antara suami dan istri adalah hubungan persahabatan. Istri berkhidmat kepada suaminya dengan segenap kemampuannya, sementara suami bersikap ma’ruf terhadap istrinya. Dengan demikian terciptalah harmonisasi di antara keduanya. Sakinah.
Oleh karena itu, dalam Islam seharusnya tidak ada istilah pemerkosaan dalam rumah tangga. Jika hari ini, narasi tersebut dilontarkan, maka sangat nyata adanya bahwa rumah tangga muslim dalam bidikan liberalisme. Di balik narasi tersebut ada upaya untuk menjadikan para istri “bebas berkeputusan”. Ada upaya untuk mencerabut nilai-nilai Islam yang seharusnya digenggam dalam hubungan di antara suami dan istri.
Jelas ini sangat berbahaya. Karena bagaimanapun seorang istri harus taat kepada suaminya, selama suaminya tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Karena dialah pemimpin di dalam rumah tangga. Dan ketaatan istri kepada suaminya itu merupakan jalan bagi istri untuk meraih ridha Allah.
“Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya.” (HR.Tirmidzi)
Sungguh jelas, bahwa hanya dengan kembali kepada aturan Islam, segala permasalahan dalam diselesaikan. Sebaliknya, berpijak pada akal dan hawa nafsu semata, hanya akan menjerumuskan kita ke dalam permasalahan baru yang mungkin kian pelik. Maka jalan satu-satunya adalah menerapkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Karena sejatinya Islam merupakan rahmat bagi semesta alam. Wallahu’alam. [nb]