Oleh. Hana Annisa Afriliani,S.S
(Penulis dan Aktivis Dakwah)
Muslimahtimes– Jelang Pilpres kemarin, opini perubahan kencang berhembus. Seiring dengan terungkapnya berbagai kezaliman rezim yang membuat rakyat jengah. Belum lagi, ketidakcakapan penguasa dalam menjalankan roda pemerintahan. Maka, rakyat menginginkan perubahan. Pergantian rezim.
Akhirnya kepada paslon non petahana, rakyat menyandarkan asa. Karena dianggap, kubu 02 mampu mewujudkan harapan rakyat. Ijtima ulama pun ditorehkan atas pencalonan kubu 02. Hingga ada pihak yang mengatakan bahwa kubu 02 ditunggangi oleh kelompok radikal (baca:Islam). Terlepas dari semua itu, suesungguhnya rakyat menginginkan kondisi baru atas negeri yang selama ini dirasa sangat menyesakkan dada.
Namun, sayang harapan tersebut kembali pupus. Petahana kembali memenangkan pemilu. Meski banyak pihak menuding di balik kemenangan tersebut ada kecurangan yang dimainkan. Namun, demokrasi tak menganulir, petahana tetap menang. Gugatan kubu 02 ke Mahkamah Konstitusi (MK) di tolak mentah-mentah. Alasannya, bukti-bukti yang diajukan tidak kuat.
Rakyatpun terpaksa menelan kecewa. Harapannya kandas tak berbekas. Belum usai mengeringkan luka, tiba-tiba sang aktor yang dijagokan bertemu lawan politiknya dalam nuansa penuh persahabatan. Ya, Lebak Bulus menjadi saksi bisu pertemuan keduanya.
Pertemuan tersebut disebut-sebut oleh pemerintah sebagai rekonsiliasi. Namun sebagaimana yang dilansir oleh Tempo.co (13-07-2019) bahwa
sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia menilai pertemuan bahwa Joko Widodo (Jokowi) dengan rival politiknya Prabowo Subianto di Stasiun Moda Raya Transportasi Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu, 13/7, bukan rekonsiliasi, melainkan negosiasi.
Bahkan pendiri Kantor Hukum Lokataru, Hariz Azhar, menilai bahwa ujung dari negosiasi ini hanyalah bagi-bagi kekuasaan, proyek, jabatan dan sumber daya alam. Tidak ada pembicaraan mengenai pemulihan kondisi masyarakat yang terbelah. “Ujung-ujungnya negosiasi, bukan rekonsiliasi,” katanya. (Tempo.co/13-07-2019)
Beginilah wajah demokrasi. Tak ada kawan sejati, tak pula ada lawan sejati. Yang ada hanyalah kepentingan sejati. Jika ada kepentingan, yang tadinya lawan tiba-tiba menjadi kawan. Maka, dalam demokrasi idealisme sebagai negarawan hampir dipastikan tak ada. Yang ada hanyalah ambisi berkuasa demi kepentingan diri dan kelompoknya.
Sungguh, jelaslah bahwa demokrasi bukan jalan perubahan. Mengharap perubahan dalam kerangka sistem demokrasi ibarat punguk merindukan bulan. Mustahil. Karena demokrasi sejatinya akan mengeliminasi segala sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai barat. Termasuk jika kita menginginkan perubahan ke arah Islam. Tentu demokrasi tak akan memberi ruang.
Lantas, slogan demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanyalah pemanis yang memikat. Padahal sejatinya demokrasi adalah dari, untuk, dan oleh pemilik modal. Bukan rakyat. Rakyat hanyalah instrumen pelengkap yang hanya dibutuhkan suaranya dalam pemilihan lima tahunan. Usai itu, rakyat dilupakan.
Sejak ratusan tahun silam, nyatanya kritik terhadap demokrasi sudah ada. Di antaranya dari Aristoteles (348-322 SM), ia menyebut demokrasi sebagai mobocracy atau pemerintahan segerombolan orang. Dia menyebutkan demokrasi sebagai sebuah sistem bobrok karena pemerintahan dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkisme.
Tak hanya itu, dalam Encyclopedia Britannica, Socrates menyebut dalam demokrasi banyak orang tidak senang jika pendapat mereka disanggah sehingga mereka membalas dengan kekerasan. “Orang baik berjuang untuk keadilan dalam sistem demokrasi akan terbunuh,” katanya.
Jadi sungguh tidak pernah ada ruang bagi syariat Islam untuk diterapkan dalam sistem demokrasi. Padahal penerapan syariat Islam secara kaffah adalah satu-satunya yang mampu mewujudkan perubahan hakiki bagi umat. Wallahu’alam. [nb]