Oleh: Indriani SE, Ak
(Penulis dan Pemerhati Ekonomi-Politik)
Muslimahtimes– Dunia pendidikan kembali dibuat ramai dengan mencuatnya berita terkait proyek peningkatan kualitas pendidikan Islam melalui skema pinjaman dan hibah dari Bank Dunia. Sebagaimana dilansir dari Republika.co.id, bahwasanya Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) telah mengusulkan program peningkatan kualitas madrasah melalui skema pembiayaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) Bank Dunia. Bank Dunia sepakat untuk memberikan pinjaman senilai Rp 3,7 triliun. Dirjen Pendidikan Islam, Kamaruddin Amin, mengatakan anggaran yang besar tersebut akan memberi dampak manfaat yang besar.
Berdasarkan catatan Bank Dunia, sekitar 8 juta anak atau 15 persen dari total siswa sekolah dasar dan menengah di Indonesia mengenyam pendidikan di sekolah agama di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Dalam praktiknya, sekolah-sekolah tersebut mengikuti kurikulum nasional, dan banyak diikuti anak-anak dari keluarga termiskin di daerah pedesaan.
//Jerat Utang dalam Balutan Pinjaman//
Menjadi sesuatu yang menggelitik kiranya, mengapa Bank Dunia begitu mudah memberikan pinjaman dengan nilai yang besar untuk peningkatan kualitas pendidikan Islam di Indonesia? Padahal sebagaimana yang dipahami, memberikan pinjaman di sektor pendidikan tentu tidak akan memberikan keuntungan sama sekali. Patut dipertanyakan, ada apa gerangan di balik pinjaman yang digelontorkan tersebut?
Sebagaimana istilah tidak ada makan siang gratis atau no free lunch. Tentu ada tujuan tertentu di balik pinjaman yang diberikan Bank Dunia pada proyek tersebut. Mengingat pinjaman yang diberikan tentu akan menyisakan pembayaran yang harus dilunasi pada waktu jatuh tempo. Dan sektor pendidikan bukan lahan bisnis yang akan memberikan keuntungan dalam jumlah besar pada kurun waktu tertentu.
Di sinilah terlihat bagaimana instannya Negara dalam mengambil solusi bagi sektor pendidikan. Ditambah minimnya tanggung jawab Negara dalam memprioritaskan pembangunan sektor pendidikan sebagai salah satu pilar peradaban dengan menyerahkannya pada asing. Dan ini justru membuka celah intervensi asing atas arah pendidikan Islam di Indonesia. Maka, disadari atau tidak, melalui jalan inilah jerat utang dalam balutan pinjaman dimulai.
//Utang, Penjajahan Gaya Baru//
Sejatinya bagi negara yang menjadikan Kapitalisme sebagai Ideloginya baik secara penuh maupun sebagian, maka akan ada konsekuensi untuk mengemban atau menyebarluaskannya. Karena sejatinya demikianlah Kapitalisme telah menjadikan Imperialisme sebagai Thoriqoh (metode) dalam mengemban Ideologinya.
Maka, apabila sebelumnya penjajahan itu nyata karena bersifat fisik. Berbeda halnya dengan imperialisme gaya baru. Dimana penjajahan yang digunakan adalah melalui soft style, baik melalui pemikan (ide-ide yang disebarluaskan) maupun melalui utang.
Mirisnya, penjajahan melalui pinjaman ini telah masuk sektor pendidikan yang harusnya menjadi tanggung jawab Negara dalam pengelolaannya. Dimana Negara mestinya memberikan prioritas yang besar akan masa depan generasi melalui sektor pendidikan ini, Bukan dengan menyerahkannya kepada swasta ataupun asing. Sehingga melalui utang berbalut pinjaman inilah, Barat sebagai negara imperialis, berupaya untuk menjajah dan mencengkeram negeri-negeri Islam agar senantiasa bergantung dan kehilangan independensinya sebagai sebuah negara. Baik itu di negeri-negeri Islam yang mayoritas muslimnya maupun yang minoritas.
Ditambah lagi, apabila memahami bagaimana konstalasi politik Barat dalam sistem kapitalisme. Di mana utang merupakan alat yang diluncurkan untuk mengikat agar kebijakan Dalam dan Luar Negeri negara berkembang, khususnya negeri-negeri Islam sesuai dengan keinginkan Barat.
//Utang Luar Negeri Mengandung Riba//
Sedikit mengutip definisi riba menurut Wikipedia. Dijelaskan bahwa riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, tetapi secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Melihat akan fakta terkait utang Indonesia, sungguh sangat miris. Bagaimana bisa negara dengan Sumber Daya Alam yang berlimpah, namun harus meminta pinjaman pada Bank Dunia? Padahal yang harus dipahami bersama, bahwa skema utang yang ditawarkan oleh para kapitalis baik asing maupun aseng dengan berlindung di balik topeng pinjaman ataupun hibah tersebut disertai bunga atau riba yang dalam pandangan Islam hukumnya haram. Dan ini akan mengundang murka dari Allah SWT, Sang Pencipta manusia, kehidupan dan alam semesta.
Inilah konsekuensi yang harus diterima oleh negeri-negeri Islam saat menerapkan sistem yang tidak bersumber dari Syariat-Nya.
Bahkan para penguasa Muslim saat ini tidak mempunyai pemikiran produktif, sehingga tidak mempunyai alternatif pendapatan negara maupun peningkatan kualitas pendidikan, kecuali dengan mengemis dari luar negeri lagi.
//Islam Mengharamkan Penguasaan Kafir atas Umat Islam//
Sejatinya Islam telah memiliki sistem ekonomi yang unggul melalui sistem ekonomi Islam, yang menjadikan Syariat-Nya sebagai pedoman. Ditambah terdapat sebuah instrumen berupa Baitul Mal yang mengelola keuangan dengan tepat dan sesuai sasaran.
Ditambah, dalam Islam, utang akan menjadi alternatif terakhir, di saat kondisi daulah benar-benar dalam keadaan darurat. Dimana Baitul Mal dalam keadaan defisit atau kosong kasnya. Namun, itupun diprioritaskan berutang pada kaum muslim yang memiliki kelebihan harta. Bukan kepada kaum kafir, terlebih kaum kafir Harbi Fi’lan yang memusuhi dan memerangi Islam secara nyata.
Sehingga, sudah saatnya negeri-negeri Islam bersatu, berlepas dari sekat-sekat nasionalisme dan mengembalikan kemuliaan umat Islam dengan diterapkannya Syariah Islam. Sebab ketiadaan syariat-Nya telah menjadikan negeri-negeri Islam berada di jurang kehancuran yang sedemikian parah. Maka keberadaan Khilafah sebagai institusi yang menerapkan Syariat-Nya adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim.
Sejatinya, kaum kafir berkeinginan untuk menguasai negeri-negeri Islam, karena keserakahan, kebencian dan kesombongannya. Namun, Allah tidak akan memberikan barang secuil kekuasaan pun kepada kaum kafir atas kaum muslim.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. “(QS. Ali Imran: 118)
“…dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai (memusnahkan) orang-orang yang beriman. “ (QS. An Nisaa: 141)