Oleh: Susi Firdausa
MuslimahTimes– Masih ingat kasus pedofilia yang menyeret mantan guru Jakarta Internasional School (JIS) asal Kanada, Neil Bantleman, ke hotel prodeo Cipinang? Bantleman divonis Mahkamah Agung (MA) dengan hukuman 11 tahun penjara atas pelecehan seksual yang dilakukannya pada tiga anak sekitar empat tahun silam. Seharusnya hukuman itu akan selesai pada pertengahan tahun 2026. Namun yang mengejutkan, sejak tanggal 21 Juni 2019 lalu, pedofil itu bisa menghirup nafas kebebasan karena mendapat grasi dari orang nomor satu negeri ini yang mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 13/G tahun 2019 tertanggal 19 Juni 2019, berisi pengurangan hukuman pidana penjara dari 11 tahun menjadi 5 tahun 1 bulan dan denda pidana Rp 100 juta.
Satu fakta yang sangat memprihatinkan dan menyesakkan dada siapa saja yang masih peduli dengan nasib generasi di negeri zamrud khatulistiwa ini. Negara yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi nasib generasi penerus estafet perjuangannya, justru membebaskan pelaku kejahatan yang merusak fisik dan jiwa anak-anak tidak berdosa.
Di negara yang menerapkan liberalisme dan kapitalisme, produk hukum yang dilahirkan sedikit banyak juga akan beraroma kebebasan dan melindungi kepentingan pemilik modal dan negara besar. Pemberian grasi pada pedofil adalah bukti nyata lemahnya negara terhadap pelaku kriminal dan ketundukan negara terhadap negara asing.
Perlindungan anak sebagai generasi penerus perjuangan bangsa ini hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan sistem hukum Islam dalam setiap aspek kehidupan. Kita tentu tak bisa berharap pada hukum negara saat ini. Karena selama ini, hukum negara yang diterapkan pada berbagai lini kehidupan bersumber pada hukum buatan penjajah Belanda yang jauh dari nilai Alquran dan ASsunnah.
Sistem Islam akan mampu mewujudkan perlindungan anak secara total dengan tiga pilar, sebagai berikut:
Pertama, ketakwaan individu. Ketakwaan inilah yang akan mendorong seseorang untuk selalu mengaitkan perbuatannya dengan aturan-aturan Allah SWT, jauh dari pelanggaran dan penyimpangan, dan mendorongnya untuk berbuat baik dalam bingkai ketaatan terhadap tuhannya. Individu yang bertakwa akan selalu merasa diawasi Allah SWT. Ia juga menyadari sepenuhnya bahwa seluruh perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Maka ia akan sangat berhati-hati dalam berbuat. Kalau pun ada pelanggaran yang tidak sengaja dilakukannya, maka ia akan segera bertobat dan tidak akan mengulanginya lagi.
Dalam hal ini negara memiliki kewajiban untuk membina ketakwaan individu ini melalui seluruh perangkat yang dimiliki dan sistem pendidikan, baik formal maupun informal. Negara berkewajiban menjaga suasana ketakwaan di tengah-tengah masyarakat dengan seperangkat aturan.
Kedua, kontrol masyarakat. Kontrol di tengah-tengah masyarakat akan terwujud ketika ketakwaan terbangun secara kolektif di dalamnya. Pada masyarakat seperti ini, akan ada kepedulian tinggi terhadap penerapan syariat Islam, sekaligus kepedulian pada setiap bentuk pelanggarannya. Aktifitas amar ma’ruf nahyi munkar berjalan dengan baik. Misalnya ada seseorang yang menunjukkan gejala sebagai seorang pedofil, maka orang-orang di sekitarnya akan mencegah dan mengingatkannya agar ia menghentikan kemaksiyatan tersebut. Bisa dibayangkan, apabila semua orang memiliki kepedulian terhadap yang lain dan melakukan kontrol kolektif semacam ini, maka bisa dipastikan tidak akan ada yang berani melakukan pelanggaran sekecil apapun di muka umum. Sehingga masyarakat akan merasakan aman dan tidak perlu khawatir adanya predator yang mengintai anak-anaknya, ataupun dalam hal lainnya. Masyarakat juga akan mengontrol negara atas berbagai kebijakannya serta pelaksanaan hukum-hukum Islam pada rakyatnya.
Ketiga, negara yang menerapkan syariat Islam secara sempurna kepada rakyatnya. Negaralah yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan hukum-hukum dan memberikan sanksi bagi yang melanggarnya. Negaralah yang bisa menghukum pencuri dengan memotong tangannya, melaksanakan hukum cambuk bagi pezina, menghukum mati pelaku liwath, memberikan ta’zir bagi pelaku pelecehan seksual dan sebagainya.
Dalam Islam, pelaku pedofilia akan dihukum sesuai dengan fakta perbuatannya. Jika yang dilakukan adalah perbuatan zina, maka hukumannya adalah dirajam sampai mati bagi yang sudah menikah, atau dicambuk 100 kali kemudian diasingkan bagi yang belum pernah menikah. Dan jika yang dilakukan adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati dengan dijatuhkan dari gedung tertinggi di wilayah tempat tinggalnya. Sedangkan jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual yang tidak sampai pada perbuatan zina atau liwath, maka hukumannya adalah ta’zir sesuai kebijakan negara.
Jenis-jenis hukuman ini bagi sebagian masyarakat mungkin terkesan keras dan kurang manusiawi. Namun begitulah adanya, karena sanksi dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegah} dan jawabir (penebus). Sebagai zawajir, sanksi berfungsi untuk memberikan efek jera dan mencegah tindak kejahatan bagi masyarakat. Sementara sebagai jawabir, sanksi diyakini sebagai penebus dosa bagi pelakunya sehingga kelak di hari kiamat ia tidak akan diberi hukuman atas perbuatannya tersebut.
Maka wajar saja apabila sanksi dalam sistem peradilan Islam bersifat sangat tegas. Ditambah lagi, pelaksanaan sanksi-sanksi tersebut dilakukan secara terbuka, bisa disaksikan masyarakat, dan tanpa penundaan. Bukan malah memberi grasi. Dengan demikian, pelaku kejahatan tidak akan memiliki kesempatan untuk mengulangi perbuatannya.
Oleh karena itu, saatnya kembali kepada sistem Islam kaffah. Karena hanya Islamlah yang memiliki visi menyelamatkan generasi. Hanya dengan Islam perlindungan anak secara paripurna akan bisa diwujudkan. Wallahu ‘Alam bi Ashowab.