Oleh: Ummu Naira
Aktivis Forum Muslimah Indonesia (ForMind)
Muslimahtimes– Kasus yang menimpa perempuan selalu menjadi isu seksi yang diperbincangkan. Masalah demi masalah menimpa kaum perempuan bermunculan, tapi kenapa tidak juga ada solusi mendasar untuk menyelesaikannya. Seperti soal isu pengantin pesanan yang mulai mencuat ke permukaan. Kasus perdagangan manusia ini membutuhkan solusi mendasar dari negara untuk melindungi perempuan agar tidak lagi dijadikan komoditas dagang.
Dua perempuan asal Kalimantan Barat menjadi korban kasus perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan ke Beijing, China. (www.cnnindonesia.com, 17/07/2019).
Sebelumnya, Polda Kalimantan Barat (Kalbar) menangkap seorang perempuan warga negara Indonesia (WNI) dan 8 laki-laki warga negara asing (WNA) asal China yang diduga terlibat dalam bisnis pengantin pesanan. Perempuan tersebut berinisial AS (24), yang diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dari bisnis tersebut. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) sebelumnya menggelar konferensi pers terkait adanya praktek TPPO 29 perempuan WNI yang dijadikan pengantin pesanan di China. Data tersebut diperoleh berdasarkan pengaduan korban sepanjang 2016-2019. Sebanyak 13 perempuan asal Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, dan 16 orang perempuan asal Jawa Barat (news.detik.com, 24/06/2019).
//Perdagangan Manusia, Nafsu Kapitalisme//
Pengantin perempuan menjadi modus baru penipuan dan perdagangan manusia. Desakan ekonomi menjadi salah satu faktor penyebab maraknya kasus ini. Dengan iming-iming akan diberikan cashback sekian puluh juta dan janji palsu akan diberikan tunjangan bulanan kepada keluarga di Indonesia, banyak perempuan yang tergiur untuk mau menjadi perempuan yang akan dinikahkan dengan warga negara asing. Alih-alih mendapatkan uang sebagaimana yang dijanjikan, sebagian perempuan justru mendapat penganiayaan di negeri asing. Sebagaimana yang terjadi pada MN, perempuan asal Sompak Kalimantan Barat yang terbujuk untuk menjadi pengantin pesanan di China kemudian dianiaya oleh mertuanya yang berinisial HBC dan LAM (tirto.id, 24/06/2019).
Data yang dihimpun Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) memperlihatkan, bahwa saat tinggal di negara asal suami atau pemesan, para perempuan yang dipesan diharuskan bekerja di pabrik dengan jam kerja panjang. Sepulang kerja, mereka tetap diwajibkan mengerjakan pekerjaan rumah dan membuat kerajinan tangan untuk dijual. Seluruh gaji dan hasil penjualan dikuasai oleh suami. Para korban dilarang berhubungan dengan keluarga di Indonesia. Mereka diancam harus mengganti kerugian yang sudah dikeluarkan oleh keluarga suami bila ingin kembali ke Indonesia.
Eksploitasi juga dilakukan oleh sindikat perekrut yang terorganisasi dengan mengambil keuntungan ratusan juta rupiah dari perkawinan pesanan ini. Pemesan setidaknya harus menyiapkan uang sebesar 400 juta rupiah, sedangkan yang diberikan kepada perempuan yang dipesan hanya 20 juta.
Betapa banyak keuntungan materiil yang didapatkan oleh makelar pengantin pesanan ini. mereka memanfaatkan kondisi para calon korban yang seluruhnya berasal dari keluarga miskin, pengangguran, tulang punggung keluarga, beberapa di antaranya merupakan janda dan korban KDRT dari perkawinan sebelumnya, menyebabkan korban dan keluarga menyetujui perkawinan (www.liputan6.com, 23/06/2019).
//Memutus Rantai Perdagangan Perempuan///
Sistem kapitalisme sudah dengan terang-benderang memosisikan perempuan sebagai barang komoditas yang bisa diperjual-belikan dengan sangat murah. Dengan sistem kapitalisme-demokrasi ini perempuan tak dimuliakan dan diposisikan dengan tidak manusiawi. Perempuan menjadi korban tak henti-hentinya. Maka solusi mendasar adalah dengan mengganti sistem dan pandangan hidup materialistis yang melandasi terjadinya perdagangan manusia (baca: perempuan) ini.
Dalam persoalan pelik ini, kita butuh hadirnya negara. Adanya sindikat perdagangan manusia internasional tak mungkin dihadapi oleh sebuah kelompok, organisasi bahkan oleh individu. Kita butuh negara. Kita butuh power sebuah negara yang berani menanggung risiko besar melawan penjahat kemanusiaan ini. Tentu bukan negara yang masih membebek kepada negara asing (baca: China).
Kita butuh negara yang memiliki ideologi independen yang mampu berdiri sendiri melawan kapitalisme. Bukan negara sosialis. Namun negara yang memuliakan perempuan dan memanusiakan manusia. Negara yang mampu memberikan keamanan dan jaminan kepada rakyatnya. Negara yang mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya dengan sistem ekonomi Islam yang berkeadilan. Negara yang bisa memberikan sanksi tegas kepada pelaku kejahatan perdagangan manusia dan memberikan efek jera bagi pelakunya. Wallahu alam bisshawab. [nb]