Oleh : Mukhy Ummu Ibrahim (Member Akademi Menulis Kreatif)
Muslimahtimes– Kisruh Pileg 2019 masih menyisakan segudang problema. Kasus kecurangan yang dilakukan oleh kubu petahana pun masih meninggalkan sejuta tanya. Meski gelaran kasusnya telah usai dan putusan Mahkamah Konstitusi pun telah ditetapkan, kecurangan yang begitu kentara pun membuat rakyat menolak untuk lupa. Entah bagaimana nasib negeri ini yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang bahkan tidak diakui oleh rakyatnya.
Jalur hukum untuk menuntut keadilan memang telah buntu. Terlebih ketika begitu gamblang kemana hukum negeri ini berpihak. Kini yang bisa dilakukan oleh rakyat adalah mengambil sikap sebagai oposisi demi kebaikan negeri. Mengawal pemerintahan curang dan memastikan mereka tidak kian sewenang-wenang.
Namun, sungguh mengejutkan. Saat tokoh yang digadang-gadang sebagai pemimpin oposisi, rival sang presiden terpilih yang telah berjuang menuntut keadilan hingga Mahkamah Konstitusi, kini memutuskan untuk melunak dan melakukan rekonsiliasi. Merapat kepada pihak yang telah mencurangi negeri dan meninggalkan rakyat yang telah berjuang bersamanya dalam sakit hati.
Capres Kubu 02, Prabowo Subianto, yang sebelumnya begitu lantang akan mengungkap kecurangan capres petahana dan memperjuangkan kemenangannya, kini telah mengubah haluan politiknya. Pasca kekalahan pihaknya di MK, Prabowo lebih memilih untuk bermain aman dan menyambut ajakan rivalnya untuk bergandeng tangan.
Hal tersebut ditunjukkan dengan pertemuan antara keduanya, Capres terpilih Joko Widodo dan Prabowo Subianto, pada sabtu, 17 Juli yang lalu. Pertemuan ini dilakukan di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta. Keduanya pun kemudian menaiki kereta MRT hingga stasiun Senayan dan perbincangan pun berlanjut dalam acara makan siang yang terkesan cukup akrab. (republika.co.id, 13/7/2019)
Ini adalah pemandangan yang begitu miris bagi mereka yang berpikir kritis. Sementara bagi para pemuja demokrasi, hal itu justru dianggap bukti demokrasi yang sejati. Meski telah berseberang dalam kontes politik memilih pemimpin negeri, kini tetap dapat ber-rekonsiliasi. Demikian para pemain curang demokrasi hendak meraih simpati.
Padahal jika kita melihat lebih cermat yang terjadi sebenarnya adalah negosiasi. Tawar menawar jabatan dan bagi-bagi kursi. Sebuah upaya menggembosi oposisi. Demi mulusnya jalan para tiran menguasai negeri.
Sejumlah aktivis hak asasi manusia pun memberikan penilaian serupa. Pendiri Kantor Hukum Lokataru, Hariz Azhar bahkan menyatakan pertemuan tersebut hanya upaya mencari posisi sama-sama untung. Yang berujung pada aksi bagi-bagi kekuasaan, proyek, jabatan dan sumber daya alam.
Pernyataan senada pun disampaikan Direktur Jurnal Perempuan, Atnike N. Sigiro. Ia tak sepakat jika pertemuan antara kedua kubu tersebut disebut sebagai rekonsiliasi. Menurutnya, kedua pihak tidak menjabarkan ide-ide rekonsiliasi yang akan mereka wujudkan. Namun, pertemuan itu hanya berujung pada kesepakatan-kesepakatan di bawah meja. (Pilpres.tempo.co, 13/7/2019)
Jelas ini adalah manuver simbiosis mutualisme yang khas dilakukan oleh para politisi yang bersemboyankan “tak ada kawan atau musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi”. Selama kepentingan-kepentingannya dapat terakomodasi segala cara pun dilakoni.
Fenomena seperti ini sebenarnya adalah hal yang lumrah dalam demokrasi. Kita dapat melihat bagaimana begitu mudahnya seorang politisi berpindah haluan, berpindah partai, berbalik dari oposisi menjadi koalisi, demi kepentingan-kepentingan yang tetap terakomodasi. Di mana dirasa mereka akan beroleh manfaat, maka disitulah mereka akan melekat. Hingga kemudian muncul istilah ‘kutu loncat’. Untuk menjuluki para politisi oportunis yang hanya mengejar manfaat tanpa memikirkan kepentingan rakyat.
Memang demikianlah tabiat demokrasi yang tak pernah mewujud dalam bentuknya yang sejati. Tak ada lagi kepentingan rakyat. Yang ada hanyalah kepentingan para birokrat. Lantas apakah akan terus kepada mereka rakyat dan umat berharap?
Telah nyata bagaimana politisi kita begitu sering berkhianat pada umat. Bahkan kini tokoh yang begitu diharap-harap sebagai pemimpin yang berpihak pada rakyat terlebih umat Islam, telah berbalik dan memilih mendekat pada rivalnya, rezim yang telah nyata-nyata berbuat curang dan berkhianat pada rakyatnya. Sehingga tak ada lagi yg tersisa dari demokrasi untuk rakyat. Sebab ia hanya alat berkuasa para birokrat.
Namun, bukan berarti rakyat telah kalah dan berpasrah dan kehilangan arah. Justru saat ini adalah saat rakyat, terlebih umat Islam sebagai mayoritasnya, terbuka mata dan pikirannya. Bahwa perjuangan ini kian menemukan wujud sejatinya. Bukan dalam demokrasi, bukan dengan demokrasi. Akan tetapi, perjuangan untuk menjayakan negara ini dalam bingkai Islam.
Berharap pada demokrasi memang hanya akan berujung kecewa yang tak terperi. Sebab ia hanya sekumpulan aturan manusia yang terkompromi dari waktu ke waktu sesuai keinginan para politisi. Maka sudah saatnya kita menjadikan Indonesia, bumi Allah, dalam aturan Sang Pencipta Yang Maha Sempurna. Sebab hanya aturan-Nya sajalah yang pantas mengatur manusia. Yang dengannya akan terwujud keadilan, kesejahteraan dan terselesaikannya segala problematika manusia.
Islam sebagai sebuah agama juga merupakan sebuah mabda, ideologi, yang mengandung seperangkat aturan yang komprehensif yang menjadi pedoman hidup manusia. Islam tidaklah sebanding dengan agama-agama yang lain di dunia yang hanya mengatur manusia dari sisi ritual belaka tetapi minus solusi problematika kehidupan manusia.
Maka, penerapan aturan Islam inilah yang seharusnya menjadi fokus perjuangan umat. Dan perjuangan ini tidak akan pernah menemui hasil jika mengambil jalan demokrasi. Kita tentu melihat bagaimana rakyat Mesir yang memperjuangkan Islam dengan jalan demokrasi dan telah berhasil meraih kemenangan dalam Pemilunya justru telah dikhianati. Mereka dijegal dan pemimpin sahnya pun diturunkan melalui kudeta yang keji oleh Militer yang pro demokrasi.
Dan di negeri ini kita pun melihat bagaimana umat Islam yang mengambil jalan demokrasi pun tak pernah diberi jalan untuk meraih kemenangan. Bahkan rezim menghalalkan segala cara dan menempuh jalan curang dalam menghalangi perjuangan umat meraih tampuk kekuasaan.
Kini umat pun kian tersadar. Tak akan lagi membuang energi menempuh jalan dimana rezim mendominasi, menguasai dengan manipulasi. Dan jalan yang Allah tidak ridai. Umat hanya akan meneladani Rasulullah sang pemimpin sejati. Manhaj beliau sajalah yang umat ikuti. Bersabar meski jalan panjang menanti. Namun, tak pernah ragu sedikit pun pada Allah yang telah berjanji.
“… Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR. Ahmad)
Khilafah adalah negara Islam yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh. Ia adalah rekonstruksi dari negara, daulah Islam, yang pernah didirikan oleh Rasulullah di Madinah dan diteruskan oleh para sahabatnya dan generasi setelahnya. Yang dengannya umat Islam senantiasa dilingkupi keadilan, kesejahteraan dan keberkahan. Dan daulah Islam inilah yang seharusnya menjadi satu-satunya tujuan perjuangan umat Islam. Sehingga tegak institusi pelindung umat dan terterapkannya aturan Islam secara kaffah di segala sendi kehidupan. Wallahu a’lam bishshawab. [nb]