Oleh. Lailin Nadhifah
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
#MuslimahTimes — Headline salah satu media online di Jember bahwa “ Duda dan Janda Menjamur “ cukup menghentak batin. Menilik isi berita, sebab menjamurnya duda dan janda adalah perceraian. Dengan data yang mencengangkan, terhitung sejak Januari sampai Juni kemarin, angka perceraian umumya berada di atas angka 500-an. Jika ditotal, sejak awal tahun 2019 lalu, data Pengadilan Agama (PA) Jember berjumlah 4.056 kasus. Dari jumlah tersebut, angka yang paling tinggi terdapat di Januari, yakni 820 kasus. Sementara di bulan-bulan berikutnya hanya berkisar antara 400 sampai 700 kasus perceraian.
Dilihat dari tingginya angka perceraian di Januari, jika dihitung perhari jumlahnya mencapai sekitar 51 kasus perceraian. Sementara angka kasus perceraian yang tertinggi terjadi pasca Lebaran Idul Fitri kemarin, yakni 72 kasus dalam sehari. “Yang paling banyak itu kemarin. Satu hari habis Lebaran, gugatan cerai yang dibawa ke PA sebanyak 72 kasus” tutur Anwar, Humas PA Jember, kemarin (16/7). “Rata-rata orang bercerai di Jember berkisar antara usia 20 sampe 30 tahun. Notabenenya mereka adalah pasangan muda yang belum mapan secara ekonomi,” pungkas Anwar.
Dari data tersebut bisa dikatakan, jember darurat perceraian dan sudah seharusnya pemerintah daerah memberikan perhatian khusus terkait persoalan ini. Terlebih, keluarga adalah benteng pertama dan utama generasi. Ketahanan keluarga sangat berhubungan erat dengan kualitas generasi. Generasi sendiri merupakan asset bangsa yang akan menentukan arah ‘kapal’ bangsa ini. Luar biasa keterkaitannya, sehingga darurat perceraian ini harus segera tertuntaskan setidaknya menurunkan angkanya.
Melesatnya angka perceraian ini berpengaruh kepada ketahanan keluarga. Jika mengacu kepada makna ketahanan keluarga yaitu kemampuan keluarga untuk mengelola sumber daya dan masalah yang dihadapi keluarga dan agar keluarga sejahtera yaitu terpenuhinya kebutuhan seluruh anggota. Hanya negara yang bisa mewujudkan dengan menerapkan kebijakan politik bagi keluarga. Apa kaitan antara politik dengan ketahanan keluarga?
Politik adalah mengatur urusan rakyat dalam dan luar negeri dan dilakukan oleh negara bersama rakyat. Negara melaksanakan pengaturan secara praktis, sedangkan rakyat mengoreksi dalam pelaksanaannya.
Ketika ketahanan keluarga yang menjadi harapan rakyat merupakan urusan politik, maka negara berkewajiban mewujudkannya baik dengan kebijakan langsung maupun tidak langsung.
Kebijakan secara langsung, berupa pemenuhan kebutuhan pokok kolektif, diantaranya kesehatan, pendidikan dan keamanan yang terjangkau bahkan gratis. Negara membiayai nya dengan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam.
Dan kebijakan secara tidak langsung, dengan memberikan lapangan pekerjaan yang memadai kepada para tulang punggung keluarga sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan primer yang menjadi tanggung jawab terhadap keluarganya yaitu sandang, pangan, papan.
Tidak bisa di pungkiri bahwa sejumlah solusi ditetapkankan oleh pemerintah untuk mengatasi fenomena perceraian yang mengeroposkan ketahanan keluarga. Namun, Sangat disayangkan, solusi tersebut merujuk kepada hasil konferensi internasional, baik itu dari Cedaw, MGDs, juga SDGs.
Konferensi internasional di bawah arahan negara negara yang berpijak pada ideology sekuler solusi yang diberikan ibarat peribahasa seperti menggantang asap mengukir langit, solusi yang mustahil terjadi. Sumber kemustahilannya ada pada ideologi sekuler, ideologi yang memisahkan kehidupan dari aturan-aturan Ilahiyyah.
Hal ini bisa dibuktikan dengan tingkat perceraian keluarga di Indonesia tetap tinggi dari tahun ke tahun sebagaimana catatan akhir tahun 2013, dengan mengutip pernyataan pejabat BKKBN, bahwa Indonesia menjadi negara dengan tingkat perceraian tertinggi se Asia Pasifik. Sedangkan catatan akhir tahun 2015, menyatakan bahwa angka perceraian di Indonesia terus meningkat. Diakhir tahun 2018, tidak menunjukkan kondisi ketahanan keluarga Indonesia yang semakin membaik, terutama jika dilihat dari masih terus meningkatnya angka perceraian.
Fenomena ini, semakin memperpelik terwujudnya ketahanan keluarga,bahkan berbàlik menikam pranata sosial masyarakat lebih parah lagi. Dampaknya, keluarga yang seharusnya menjadi institusi pengokoh negara, bahkan terpuruk menjadi sumber masalah.
Selayaknya, sebagai negara yang berdaulat, Indonesia harus membebaskan dirinya dari ketundukan pada “presure” lembaga lembaga internasional dalam membentuk ketahanan keluarga.
Sebagaiman yang disampaikan oleh Abu Hurairah, dari Rasulullah Shalallahu Alaihi was Salam Rasul bersabda: “Sesungguhnya pemimpin itu adalah perisai. (rakyat) akan berperang di belakangnya serta berlindung dengannya. Apabila ia memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah serta bertindak adil, maka ia akan mendapat pahala. Tetapi jika ia memerintahkan dengan selain itu, maka ia akan mendapat akibat buruk hasil perbuatannya.”
Sesungguhnya gambaran negara ideal –yang inheren di dalamnya konstitusi luhur yang berpihak penuh pada ideologi Islam sehingga kesejahteraan, kehormatan dan kemuliaan meliputi keluarga Muslim– pernah terwujud. Selama 13 abad lamanya, saat dunia dan kehidupan manusia dinaungi negara yang menjadikan ketahanan keluarga dalam ranah kebijakan politik.
Setiap individu masyarakat mendapat jaminan kebutuhan hidupnya dengan adil dan merata. Keluarga dapat menjalankan fungsinya sebagai benteng pertahanan keluarga yang kokoh. Keluarga yang mampu mencukupi kebutuhan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan anggotanya, memberi perlindungan pada anak-anaknya dan menjaga kehormatan perempuan yang menjadi anggota keluarganya. Dengan penerapan sistem ekonomi, pendidikan, aturan sosial, media dan yang lainnya, institusi politik berupa negara tersebut mampu memberi jaminan perlindungan bagi keluarga Muslim termasuk kaum perempuan dan anak.
Negara mampu menampilkan sebagai institusi politik yang merefleksikan Islam secara paripurna dan sempurna dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dengan keluarga sebagai institusi terkecil di dalamnya dan bernegara hingga tercapai kehidupan rakyat yang penuh rahmat.
Tanggung jawab ini, tergambar jelas dengan kebijakan Rasulullah Shalallahu alaihi was salam pada masa negara Islam di Madinah. Salah satu upaya pemerataan kesejahteraan yang dilakukan pada masa Rasulullah adalah dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar.
Kebijakan itu menempatkan setiap satu orang Anshar bertanggung jawab atas saudaranya, Muhajirin. Dengan cara itu, terjadilah distribusi pendapatan di antara kedua golongan kaum Muslim. Kaum Muhajirin yang sampai di Madinah dalam kondisi papa dipertemukan dengan kaum Anshar yang sudah mapan secara ekonomi.
Kita ingat satu kisah, ketika Abdurrahman bin Auf tiba di Madinah, ia dipersaudarakan dengan Sa’d bin ar Rabi’. Sa’ad berkata, “Aku termasuk orang Anshar yang mempunyai banyak harta. Harta itu akan kubagi dua, setengah untuk Anda dan setengah untuk aku.” Tapi, Abdurrahman meminta kepada Sa’ad untuk ditunjukkan lokasi pasar.
Pun negara menetapkan Sumber daya alam yang strategis dikuasai negara untuk kepentingan umum. Sebagaimana di kisahkan di dalam sebuah hadis oleh Imam Muslim, pada masa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam, Kota Madinah pernah mengalami paceklik dan kesulitan air bersih. Satu-satunya sumur yang masih mengalir adalah sumur milik seorang lelaki Yahudi. Masyarakat harus antre mendapatkan air dari sumur tersebut.
Yahudi pemilik sumur melakukan monopoli dan menjual air sumur dengan harga tinggi. Kondisi ini membuat Rasulullah Shalallahu alaihi wa Salam resah. Beliau kemudian menawarkan kepada para sahabat untuk membeli sumur tersebut. Adalah Utsman bin Affan yang membeli sumur milik Yahudi senilai 20 ribu dirham, kemudian mewakafkannya. Setelah itu, semua penduduk Madinah, termasuk orang Yahudi, dapat memanfaatkan air secara cuma-cuma.
Demikianlah, selayaknnya institusi politik berupa negara berperan nyata mengokohkan ketahanan keluarga sehingga “baldatun thoyyibatun wa Rabbun ghafur” bukanlah impian. Dan hanya dengan berlandaskan pada ideology Islam hal tersebut bisa terealisasi.