Oleh: Faizah Azzahro
#MuslimahTimes — Berita menghebohkan hadir dari kota marmer, Tulungagung. Tak hanya mengejutkan masyarakat setempat, Gubernur Jatim, Khofifah bahkan ikut buka suara terkait temuan adanya ratusan pelajar Tulungagung yang memiliki perilaku seks menyimpang yakni homoseksual (www.jatim.tribunnews.com, 23/07/2019). Menurut Khofifah, seks menyimpang melanggar UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena itu, Khofifah meminta pihak terkait segera melakukan tindak lanjut.
Temuan tersebut melengkapi temuan sebelumnya dengan kasus serupa sehingga memperkuat fakta bahwa LGBT di Tulungagung sudah sangat memprihatinkan dan butuh penanganan serius. Jumlah ratusan yang telah terkuak, menimbulkan dugaan bahwa jumlah pelaku LGBT yang belum diketahui tentu lebih banyak lagi. Jika dibiarkan, LGBT bisa menular, merusak tatanan sosial, dan menyebarluaskan penyakit HIV aids yang mematikan.
Tumbuh Subur Atas Nama HAM
Seks menyimpang LGBT tidak timbul begitu saja, melainkan hadir dan tumbuh subur di dalam tatanan kehidupan yang rusak. Anggapan bahwa LGBT merupakan penyakit genetik biologis, telah dibantah oleh kalangan saintis dan medis. Sebagai pembelaan, pelakunya seringkali berdalih bahwa kecenderungan seksualnya yang demikian merupakan takdir alias born this waysehingga menuntut agar perilakunya dimaklumi dan dibiarkan.
Meski menyalahi fitrah dan terbukti menjadi penyumbang terbesar penyebaran virus HIV aids, hari ini, LGBT makin tumbuh subur di sistem demokrasi. Atas nama Hak Asasi Manusia, pelaku bersama komunitas yang mengakui eksistensinya merasa memiliki legalitas sehingga berani dengan lantang menyuarakan hak dan tuntutannya agar diberi payung hukum.
Dalam sistem demokrasi, eksistensi LGBT tidak dilarang, sebab menjadi bagian dari kebebasan berperilaku yang sudah dijamin HAM. Justru penganut demokrasi akan menganggap intoleran bagi siapapun yang menolak dan mempermasalahkan LGBT, sekalipun ditolak dengan argumen agama. Dengan asas sekulerisme yang memisahkan campur tangan agama di ranah pubik, demokrasi menolak dalil dan ayat apapun yang menerangkan haramnya LGBT.
Berbagai media sosial yang populer digunakan hari ini, juga menjadi fasilitator penyebaran LGBT di dunia maya. Konten berbau LGBT seringkali lolos sensor dan bebas terakses netizen, sebaliknya konten dakwah yang mengkritisinya langsung terhapus oleh sistem dalam hitungan jam. Hal ini tidak mengherankan karena media hari ini dikuasai oleh Barat penganut demokrasi yang juga pro LGBT.
Media sosial sangat efektif menularkan perilaku LGBT melalui berbagai konten hiburan seperti lagu, film, dan games. Sasarannya tentu tak pandang usia, apalagi anak di bawah umur hari ini sudah lincah memainkan gadget. Tanpa iman dan moralitas yang kokoh, remaja akan mudah penasaran hingga akhirnya tertarik dan mencoba. Akibatnya banyak remaja bahkan masih berstatus pelajar memiliki perilaku seks menyimpang sebagaimana temuan fakta di Tulungagung.
Hal negatif seperti LGBT, apabila dibiarkan akan dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan wajar, sehingga LGBT akan ditoleransi dan makin berkembang luas di masyarakat kita. Jika tak dihentikan, akan timbul kerusakan masyarakat dan yang lebih mengerikan akan mengundang adzab Allah sebagaimana yang telah dialami kaum Sodom dan Pompeii.
Tuntas dengan Islam
Sebagai agama yang sempurna dan paripurna, Islam memberikan perhatian serius dalam penjagaan nasab (keturunan) dan kehormatan manusia. Manusia adalah makhluk yang Allah muliakan diantara makhluk Nya yang lain, sehingga kepada manusia lah tugas mengelola bumi diberikan. Untuk tugas mulai itu, keberlangsungan jenisnya harus dilestarikan sepanjang dunia ini masih eksis. Oleh karena itu secara fitrah, manusia hanya bisa berketurunan jika terjadi pertemuan biologis antara laki laki dan perempuan. Islam yang sejalan dengan fitrah kemanusiaan, mengaturnya dalam bingkai pernikahan sekaligus bentuk penghormatan agar berbeda dengan hewan. Islam akan melawan apapun yang bertentangan fitrah dan merusak nasab serta kehormatan manusia, termasuk perilaku seks menyimpang LGBT.
Dengan tegas, perilaku seks sesama jenis, baik gay maupun lesbian, Allah laknat dan mendapat ancaman adzab di dunia (Lihat QS. Al A’raf: 80−81; Al ‘Ankabut: 30−31; Al Hijr 72−76). Bukti tegasnya Islam melarang perilaku kaum Sodom tersebut adalah berupa sanksi hukuman mati terhadap pelaku dan pasangannya . Bahkan Islam sudah menyiapkan seperangkat aturan yang komprehensif untuk mencegah dan memberangus perilaku LGBT, yang terangkum menjadi tiga lapis benteng, yakni benteng individu, masyarakat, dan negara.
Penjagaan pertama adalah membangun benteng keimanan individu yang kokoh. Islam tidak memaksa manusia untuk menjadi muslim, namun mengharuskan siapapun agar beriman dengan benar dan kokoh melalui proses berfikir sesuai potensi akal yang ada pada setiap manusia. Dengan aqidah Islam yang tertanam kuat, seorang muslim akan lahir kesadaran untuk mengikatkan dirinya pada hukum syara’ artinya segala aktivitas hidupnya harus sesuai dengan syari’at Islam. Perasaan takut akan murka Allah dan kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi, selalu dihadirkan dalam setiap tingkah lakunya.
Muslim yang kaffah tentu memahami bahwa segala aspek kehidupan diatur di dalam Islam, termasuk pemenuhan naluri nau’ (berkasih sayang) yang merupakan fitrah manusia. Jika tidak diatur maka muncullah perilaku menyimpang seperti LGBT.
Islam mencegah perzinahan dan seks menyimpang (LGBT) dengan jalan mengatur interaksi lawan jenis (larangan khalwat dan ikhtilat), mengatur batasan aurat antarlawan jenis maupun sesama jenis, memerintahkan memisahkan kamar tidur antarsaudara lawan jenis dan memisahkan ranjang atau selimut antarsaudara sesama jenis, melarang wanita berperilaku atau berpenampilan seperti laki laki dan sebaliknya.
Benteng individu terkadang rentan jebol seiring dengan gencarnya setan menggoda dan pengaruh lingkungan serta sistem kehidupan yang tidak kondusif. Untuk itu perlu didukung dengan benteng lapisan kedua.
Benteng lapisan kedua berupa masyarakat yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar (dakwah). Suasana dakwah yang hidup di tengah masyarakat mengajak individu muslim agar selalu dijalan ketaatan dan mencegah dari jalan kemaksiatan, sehingga muslim yang khilaf dapat kembali ke jalan yang lurus. Kinerja dari benteng kedua ini tidak bisa sempurna tanpa sebuah sistem holistik yang lahir dari aturan yang diterapkan suatu negara. Kebijakan negara inilah yang menjadi penyempurna dan pengokoh benteng individu dan masyarakat.
Benteng lapisan ketiga adalah negara yang menerapkan syari’at Islam secara totalitas. Negara memilki efek dan dampak yang luas karena aturannya diberlakukan kepada individu−individu di wilayah yang luas dan bersifat mengikat. Jika negara dan pemimpinnya baik, maka kebaikannya menular ke seluruh penduduk negeri. Itulah urgensi adanya institusi negara yang mengadopsi syari’at Islam secara totalitas.
Adanya negara Islam menjamin dakwah Islam terfasilitasi sehingga kebaikan Islam dapat tersebar luas dan terwujudlah individu serta masyarakat yang bertakwa. Dakwah akan dilakukan negara melalui berbagai media. Konten−konten yang mengarah pada pelanggaran syari’at seperti LGBT akan diblokir permanen. Hanya konten berisi kebaikan yang beredar di media.
Negara Islam memasifkan penanaman aqidah Islam yang kokoh melalui penerapan kurikulum pendidikan berbasis Islam. Efeknya benteng individu terbentuk pada setiap muslim dan dan terbuka akses hidayah bagi warga negara yang non muslim.
Jika terjadi pelanggaran syari’at dan tindak kriminal, negara memberlakukan sanksi tegas terhadap pelakunya. Sistem sanksi yang diadopsi dari Islam memiliki efek jawabirdan jawazir, yakni memberi efek jera bagi pelakunya dan efek pencegahan dengan memberi rasa takut bagi individu untuk melakukan pelanggaran serupa.
Pada kasus homoseksual dan lesbian yang merupakan perbuatan fakhisyah (keji) dan terlaknat, negara Islam akan memberlakukan hukuman mati. Hukuman tersebut sebanding dengan bobot kerusakan yang ditimbulkan.
Untuk mengatasi LGBT dan persoalan kehidupan lainnya, butuh sinergi antara benteng individu, masyarakat, dan negara yang berasaskan Islam. Tanpa sinergi ketiganya, solusi hanya bersifat parsial dan tidak efektif baik secara preventif maupun kuratif. Oleh karena itu, adanya benteng tiga lapis berasas Islam harus kita perjuangkan bersama.