Oleh : Sunarti PrixtiRhq
#MuslimahTimes — Kesehatan adalah salah satu nikmat dari Sang Pencipta kepada manusia. Namun seiring dengan perkembangan zaman, manusia banyak yang melalaikannya. Tidak jarang, kehidupan sehari-harinya dipenuhi dengan kesibukan mengumpulkan harta dan meraih jabatan. Popularitas dan kekuasaan seringkali melalaikan seseorang akan rasa syukurnya.
Selain hal di atas, polemik masalah kesehatan di negeri ini semakin hari semakin kompleks. Pasalnya banyak persoalan kesehatan muncul di berbagai daerah. Begitu juga solusi yang diambil justru menjadikan timbulnya persoalan baru. Tampaklah solusi tambal sulam ini membuat kondisi masyarakat semakin terpuruk, bukan hanya dalam masalah kesehatan.
Ambil satu contoh saja kasus Hepatitis-A yang ditemukan di Pacitan baru-baru ini. Hepatitis-A memang bukan tergolong penyakit mematikan. Namun, begitu menyedihkan tatkala banyak bermunculan penderita Hepatitis-A yang secara serempak, bahkan dikatakan mewabah. Angka penderita yang mencapai ribuan membuat kejadian penularan Hepatitis-A ini menjadi perhatian. Data tarbaru dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, Sabtu (6/7/2019), angka penderita Hepatitis-A mencapai 1.068 jiwa.
Penderita Hepatitis-A di Pacitan tersebar di tujuh kecamatan dan pasirn yang dirawat tersebar di sepuluh Puskesmas wilayah kabupaten. Tercatat di Puskesmas Sudimoro sebanyak 563 kasus, Puskesmas Sukorejo 115 kasus, Puskesmas Ngadirojo 157 kasus dan Puskesmas Wonokarto 54 kasus.
Selain itu di Puskesmas Bubakan terjadi 36 kasus, di Puskesmas Arjosari 34 kasus, Puskesmas Tegalombo 6 kasus, Puskesmas Kertowonojoyo 6 kasus dan Puskesmas Bandar ada 1 kasus.
Jumlah penderita Hepatitis-A terus mengalami peningkatan drastis sejak akhir bulan Mei 2019 lalu. Hingga Gubernur Jawa Timur, Khofifah soroti tentang kwalitas air beraih di Pacitan. Meskipun kasus penyebaran penyakit ini bukan disebabkan dari pencemaran air semata.
Menguarai Penyebaran Penyakit
Sebenarnya salah satu penyebab tersebarnya penyakit adalah kurangnya pengetahuan masyarakat akan personal hygiene atau kebersihan diri sendiri. Di samping minimnya pengetahuan pola hidup sehat, penularan bisa disebabkan dari perilaku buruk individu akan kebersihan. Hal ini tidak hanya terjadi pada kasus Hepatitis-A saja, melainkan hampir seluruh penyakit. Individu yang terjangkit satu penyakit tidak menyadari bahwa dirinya sebagai penyebar penyakit (resipien).
Selain kebersihan, pola makan, asupan makanan sehat dan bergizi belum begitu diketahui oleh sebagian besar masyarakat. Meskipun penyakit itu bukan tergolong penyakit infeksius (sangat mudah menular), namun bisa saja makanan menjadi pemicu penularan suatu penyakit. Misalkan saja Hepatitis-A yang salah satu penyebaran penyakitnya melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi dengan virus tersebut.
Apalagi masyarakat memandang pemenuhan makanan hanya untuk mengisi perut saja. Keseimbangan kalori, gizi dan meneral sama sekali sudah tidak menjadi perhatian. Mengutamakan makanan murah dan perut kenyang, bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah. Bagi masyarakat menengah ke atas, lebih kepada pemenuhan gaya hidup. Makanan mahal namun minim dari pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi tubuh.
Makanan yang baik atau tidak buat tubuhnya, sama sekali juga lepas dari perhatian. Misalkan saja, makanan atau minuman yang merugikan tubuhnya ketika dokonsumsi. Seperti penderita hypertensi yang lebih baik menghindari makanan pemicu kerja jantung yaitu durian, kopi, daging kambing dan lain sebagainya. Atau masyarakat yang memang sama sekali tidak mengerti akan bahaya makanan itu untuk dirinya, karena minimnya pengetahuan mereka akan diet (makanan) dan kesehatan.
Sisi lain adalah sikap acuh tak acuh masyarakat pada lingkungan. Kebersihan diri dan lingkungan seolah hanya teori semata. Masyarakat menganggap kesehatan itu keperluan nomor sekian. Selama diri dirasa sehat dan bisa bekerja, cukuplah baginya. Tanpa merasa perlu untuk menjaganya, baik dengan pola hidup bersih dan pola makan yang sehat lagi bergizi.
Banyak hal dalam urusan kesehatan dilalaikan, akibat dari sibuknya masyarakat mengais mateti demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Hanya sebagian kecil saja masyarakat yang mengerti tentang kesehatan. Belum lagi ditambah dengan pemenuhan kebutuhan untuk pendidikan dan pemenuhan terhadap gaya hidup. Jadilah mereka enggan untuk mengetahui berbagai persoalan tentang kesehatan.
Saat mereka merasa sakit, barulah mereka merasa perlu berobat. Itupun kadang cukup membeli ‘obat warung’ tanpa harus periksa ke dokter, puskesmas atau rumah sakit. Jikalau periksapun, mereka musti melewati pelbagai administrasi yang ”ribet”pula. Entah layanan kesehatan di klinik, Puskesmas atau rumah sakit dan administrasi yang lain.
Meskipun pihak pemerintah menyelenggarakan layanan jaminan sosial, pada faktanya layanan jaminan ini menyulitkan masyarakat. Dan layanan tidak sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat. Pasalnya layanan ini bukanlah langsung dikelola di tangan pemerintah, tapi oleh pihak swasta. Maka tak ayal lagi apabila bentuk pelayanannya berdasar pada sistem ‘rugi-laba’atau lebih kepada unsur “bisnis.”
Bahkan pemerintah sudah lepas tangan akan tanggung jawabnya terhadap pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Bukan sepenuhnya layanan kesehatan oleh pemerintah kepada rakyat atas dasar kewajibannya. BPJS adalah bukti pengelolaan dan pengasuhan negara dalam bidang kesehatan yang diserahkan pada swasta. Meskipun dijalankan dengan iuran oleh masyarakatnya secara gotong royong, namun tetap saja, pengelolaan keuangan ada di pihak swasta. Maka saat diiterapkan sangat merugikan masyarakat.
Sisi lain yang menjadi cepatnya penyebaran penyakit adalah pembiaran penderita yang infeksius (resipien) berbaur dengan orang sekitar. Status pasien (penderita penyakit) dengan infeksius juga menjadi rahasia pasien dan pihak medis dan paramedis. Ini memungkinkan penularan dan penyebaran penyakit secara langsung. Dikarenakan orang di sekitar penderita sama sekali tidak menyadari orang yang bergaul dengannya memiliki penyakit menular.
Sementara penderita memiliki hak untuk dijaga kerahasiaan tentang penyakitnya. Pihak tenaga kesehatan dan yang berkecimpung di dalamnya juga memiliki kewajiban menjaganya. Dalam kebijakan negara, juga diatur dengan perlindungan ketat bahkan diiatur dalam undang-undang.
Maka jadilah penyebaran penyakit di tengah-tengah masyarakat tidak bisa dihindari. Selain ketidaktahuan penderita, ketidaktahuan masyarakat di sekitar penderita, juga disembunyikannya kasus penderita infeksius. Lengkap sudah penyebaran penyakit bagai ‘gayung bersambut, kata berjawab.’ Yaitu, masing-masing pihak turut andil dalam penyebaran dan penularan penyakit
Hal lain yang bisa memicu adanya wabah adalah lingkungan yang tidak sehat. Berkembangbiaknya hewan pembawa penyakit seperti lalat, tikus, nyamuk atau hewan lain juga menjadi pembawa penyakit. Tak bisa dipungkiri di sebagian besar masyarakat, baik di perkotaan atau pedesaan masih banyak yang tidak menjaga kebersihan. Lingkungan kumuh sehingga mudah dijadikan sarang hewan-hewan pembawa penyakit.
Selain hewan pembawa penyakit, juga pemenuhan air bersih yang belum memadai. Di sebagian besar masyarakat Indonesia masih banyak yang mengalami keterbatasan air bersih. Di musim kemarau air sangat sulit didapat, sehingga masyarakat mengkonsumsi air seadanya. Namun kebalikannya, pada waktu musim penghujan, banyak daerah terendam banjir, sehingga air bersih juga susah didapat. Ini sebenarnya menunjukkan tata kelola lahan yang salah, sehingga mengakibatkan sumber air di dalam tanah tidak stabil. Jadilah resiko berat dan yang menanggung derita adalah masyarakat.
Ambil satu contoh penularan penyakit Hepatitis-A. Penyakit ini memiliki faktor resiko penularan jika seseorang memiliki kondisi sebagai berikut :
- Mengunjungi atau tinggal di daerah yang terdapat banyak kasus hepatitis A.
- Melakukan hubungan intim dengan penderita hepatitis A.
- Tinggal serumah dengan penderita hepatitis A.
Penanggulangan Penyakit dan Penanganannya
Menjaga kebersihan diri dan lingkungan menjadi salah satu upaya preventif (pencegahan). Individu menjaga kebersihan diri untuk mencegah sakit. Baik dalam tubuh, pakaian, rumah maupun perlatan makan dan minum.
Meskipun sudah kita pahami bahwa sakit adalah suatu keadaan yang berada di luar wilayah kita (qadla Allah).Tapi seyogyanya berusaha untuk mencegahnya dengan cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan rumah.
Upaya preventif termasuk di dalamnya adalah makanan bergizi seimbang, antara lain kalori, vitamin dan mineral serta kebutuhan lain. Bukan sembarang makanan bisa dimakan atau makan yang penting kenyang.
Menghindari makanan terbuka yang tidak hygienis dan menghindari makanan cepat saji yang banyak mengandung zat pewarna dan pengawet. Jenis-jenis makanan ini membahayakan tubuh.
Islam mengajarkan kepada pemeluknya tentang makanan dan minuman yang halal dan toyib (baik bagi tubuh). Islam juga mengatur pola makan bagi manusia agar terjaga kesehatan tubuhnya. Sebagaimana dijelaskan dalam dalil berikut :“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Sebagai rujukan lain mengenai makanan ada juga dalam hadist sebagai berikut :“Tidak ada wadah yang dipenuhi anak Adam yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah anak Adam mengkonsumsi beberapa suap makanan untuk menguatkan tulang rusuknya. Kalau memang tidak ada jalan lain (memakan lebih banyak), maka berikan sepertiga untuk (tempat) makanan, sepertiga untuk (tempat) minuman dan sepertiga untuk (tempat) nafasnya.” (HR. Ahmad, Tirmizi, dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam kitab shahih Tirmizi, no. 1939)
Setelah penjagaan kesehatan oleh individu secara preventif maka ada tugas besar negara dalam upaya promotif. Yaitu memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang kesehatan. Mulai dari penjagaan kebersihan secara individu maupun kebersihan lingkungan. Secara bersama-sama individu masyarakat menjaga kebersihan lingkungan dan melakdanakan pola hidup sehat. Termasuk memberikan penyuluhan dalam hal makanan dan asupan gizi sehat yang harus diketahui oleh masyarakat.
Peredaran makanan di masyarakat juga menkadi tugas negara untuk diawasi kemanan dan kehalalannya. Jangan sampai makanan yang beredar adalah makanan yang mengandung penyakit atau makanan yang membahayakan tubuh. Termasuk dalam persoalan ini pabrik-pabrik pembuat makanan cepat saji, harus diawasi dalam produksinya.
Ini semua tugas negara yang bisa dilakukan melalui para petugas kesehatan. Dinas kesehatan, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), petugas penyuluhan kesehatan dan pihak-pihak yang ditunjuk oleh pemerintah untuk melakukan kontrol/pelaksana promotif di lapangan.
Upaya yang berikutnya adalah upaya pengobatan (kuratif). Negara menjadi fasilitator pelayanan pengobatan. Penyediaan sarana dan prasarana kesehatan secara keseluruhan yang dibutuhkan oleh masyarakat disediakan oleh negara. Fasilitas tenaga kesehatan, kilinik kesehatan, rumah sakit, laboratorium penelitian penyakit, laboratorium pengembangan obat dan sarana terkait yang menunjang pemenuhan kesehatan, juga disediakan oleh negara. Semua disediakan secara gratis untuk seluruh rakyat, tanpa memandang kaya atau miskin. Rakyat memiliki hak yang sama dalam pelayanan kesehatan.
Apabila ada penyakit yang infeksius dan dikhawatirkan bisa mewabah, maka pihak pemerintah melalui tenaga ahli dalam bidang kesehatan, berkewajiban mengisolasi (karantina) penderita. Agar penyakit tersebut tidak menyebar, maka penduduk yang sakit dan sekitarnya dilarang keluar dari daerahnya. Juga sebaliknya, penduduk di luar daerah yang tidak terjangkit suatu penyakit, maka dilarang masuk ke daerah yang terkena wabah. Hal ini dilakukan juga dengan tetap menjalankan pengobatan intensif.
Jika memerlukan perawatan dan pengobatan khusus maka isolasi/karantina penderita dilakukan di rumah sakit atau di layanan kesehatan khusus agar tidak terjadi penularan secara meluas. Dan berlaku untuk semua penyakit yang infeksius. Misalnya Hepatitis-A, Hepatitis-B, HIV/AIDS, cholera, disentri, batuk rejan, TBC paru-paru dan lain sebagainya (yang mudah menular ke orang lain).
Sebagai contoh apa yang dialami di masa Rosulullah Saw, hingga diabadikan dalam hadist :“Jika kalian mendengar tentang wabah wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu.”(HR Al-Bukhari dan Muslim)
Nabi Saw. juga bersabda: “Orang yang melarikan diri dari tempat wabah adalah seperti orang yang melarikan diri dari pertempuran di jalan Allah. Dan barangsiapa yang sabar dan tetap di tempatnya, maka dia akan diberi pahala dengan pahala seorang yang mati di jalan Allah.”(HR Ahmad)
Di masa para Khulafaur Rasydin juga terjadi hal yang sama. Suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab hendak berkunjung ke wilayah Syam (kini Suriah). Namun ketika sang khalifah dan rombongan tiba di daerah Syargh, ada kabar kalau masyarakat Syam tengah menderita penyakit kolera. Mendengar informasi tersebut, Khalifah Umar bin Khattab tidak langsung melanjutkan perjanalannya dan juga tidak langsung membatalkannya.
Khalifah Umar bin Khattab menggelar musyawarah. Perbedaan pendapat terjadi pada kaumnya, namun Khalifah Umar bin Khattab memilih kembali ke Madinah setelah menerima informasi dari Abdurrahman bin Auf bahwa suatu ketika Rasulullah melarang seseorang untuk memasuki suatu wilayah yang kena wabah penyakit. Begitu pun masyarakat yang tengah terjangkit wabah di suatu wilayah juga dilarang keluar dari wilayahnya tersebut. Tidak lain itu adalah cara untuk ‘mengisolasi’ wabah penyakit agar tidak merembet ke tempat lain.
Begitulah gambaran pelaksanaan urusan umat yang dilakukan secara masiv dan berkesinambungan. Penjagaan kesehatan oleh individu, masyarakat dan negara. Upaya preventif, promotif dan kuratif dilaksanakan secara keseluruhan oleh seluruh rakyat dan negara. Saling berpadu-padan demi menjaga kesehatan bersama. Jika masyarakat sehat, maka luangnya waktu akan dijadikan masyarakat untuk lebih fokus beribadah kepada Allah.
Agar dua hal yang memang seringkali dilalaikan oleh manusia, yaitu sehat dan waktu luang, tidak terjadi.“Dua nikmat, kebanyakan manusia tertipu dengan keduanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari)
Waallahualam bisawwab
Ngawi, 15 Juli 2019