Oleh: EL Fitrianty, Penulis buku Menemukan Keimanan yang Kokoh
MuslimahTimes– Islam hadir dengan seperangkat aturan untuk membuat hidup manusia teratur dan tidak berantakan. Syariat Islam mengatur perbuatan manusia secara harmonis dan bersifat tetap, artinya tidak berubah karena tempat dan zaman meskipun perbuatan manusia itu banyak sekali macamnya. Syariat Islam inilah yang akan menyelesaikan berbagai problem manusia.
Pada saat memecahkan masalah manusia, syariat Islam memiliki cara yang tetap. Masalah tersebut dilihat, dipahami lalu dicarilah hukum Allah mengenai masalah tersebut dari dalil-dalil syariat secara terperinci. Syariat Islam berkaitan dengan aturan-aturan yang berkaitan dengan ibadah, akhlak, makanan, pakaian, muamalah dan uqubat. Hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan ibadah, akhlak, makanan dan pakaian tidak boleh dicari-cari illat-nya. illat adalah latarbelakang adanya hukum.
//Syariat tentang Pakaian Muslimah Tidak Mengandung illat//
Indonesia sebagai kiblat fashion muslimah dunia menjadi acuan dalam berbusana muslimah. Semangat hijrah generasi milenial menambah semarak penggunaan hijab syari di Indonesia. Selayaknya, fenomena ini bukan sekadar tren sesaat yang akan hilang jika sudah tak terlalu diminati. Namun kesadaran akan penggunaan hijab syari ini patut kita beri apresiasi dan perhatian dengan serius. Bagaimana dengan dasar hukum mengenakan hijab itu sendiri? Adakah dalilnya di dalam Alquran atau hadis?
Kewajiban menggunakan hijab syari telah tercantum jelas di dalam Alquran. Perintah Allah Subhanahu wataala mengenai jilbab tercantum dalam surat Al-Ahzab ayat 59. Sedangkan kewajiban mengenakan kerudung (baca: khimar) terdapat dalam Alquran surat An-Nur ayat 31.
Menurut pendapat KH. Muhammad Shiddiq al Jawi, S.Si, M.Si seorang pakar fikih muamalah, penulis beberapa buku Fikih Muamalah yang juga dosen STEI Hamfara Yogyakarta, kerudung dalam Alquran disebut dengan istilah khumur (plural dari khimaar) bukan dengan istilah jilbab. Kata khumur terdapat dalam firman Allah SWT (artinya),Dan hendaklah mereka (para perempuan) menutupkan kain kerudung ke dada mereka. (Arab : walyadhribna bi-khumurihinna ala juyuubihinna). (QS An Nuur [24] : 31).
Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud khimaar adalah apa-apa yang digunakan untuk menutupi kepala (maa yughaththa bihi ar ras`su) (Tafsir Ibnu Katsir, 4/227). Dengan kata lain, tafsir dari kata khimaar tersebut jika dialihkan ke dalam bahasa Indonesia artinya adalah kerudung. Inilah yang saat ini secara salah kaprah disebut jilbab oleh masyarakat umum Indonesia.
Adapun istilah jilbab dalam Alquran, terdapat dalam bentuk pluralnya, yaitu jalaabiib. Ayat Alquran yang menyebut kata jalaabiib adalah firman Allah SWT (artinya),Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin,Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. (Arab : yudniina alaihinna min jalaabibihinna). (QS Al Ahzab [33] : 59).
Menafsirkan ayat ini, Imam Al Qurthubi berkata,Kata jalaabiib adalah bentuk jamak dari jilbab, yaitu baju yang lebih besar ukurannya daripada kerudung (akbar min al khimar).
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Masud berpendapat bahwa jilbab artinya adalah ar ridaa` (pakaian sejenis jubah/gamis). Ada yang berpendapat jilbab adalah al qinaa (kudung kepala perempuan atau cadar). Pendapat yang sahih, jilbab itu adalah baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub alladzy yasturu jamii al badan). (Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, 14/107).
Dari keterangan Imam Al Qurthubi di atas, jelaslah bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai arti jilbab. Memang terdapat satu qaul (pendapat) yang mengatakan jilbab artinya adalah al qinaa yang dapat diindonesiakan sebagai kudung kepala perempuan atau juga dapat diartikan sebagai cadar (sesuatu yang menutupi wajah, maa yasturu bihi al wajhu). (A.W. Munawwir, Kamus Al Munawwir, hlm. 1163; Mujam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 283).
Mungkin qaul inilah yang masyhur di Indonesia, sehingga kemudian jilbab lebih populer dimaknai sebagai kerudung.
Namun qaul tersebut dianggap lemah oleh Imam Al Qurthubi, sehingga beliau menguatkan pendapat bahwa jilbab itu bukanlah kerudung atau cadar, melainkan baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub alladzy yasturu jamii al badan). (Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, 14/107).
Pendapat yang dinilai rajih (kuat) oleh Imam Qurthubi inilah yang sebenarnya lebih masyhur dalam kitab-kitab tafsir ataupun kamus. Dalam kitab kamus Al Mujamul Wasith, misalnya, disebutkan jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub al musytamil ala al jasadi kullihi). Jilbab juga diartikan apa-apa yang dipakai perempuan di atas baju-bajunya seperti milhafah (mantel/baju kurung) (maa yulbasu fauqa tsiyaabiha ka al milhafah). (Al Mujamul Wasith, hlm. 126).
Senada dengan itu, menurut Syekh Rwwas Qalah Jie, jilbab adalah suatu baju yang longgar yang dipakai perempuan di atas baju-bajunya (baju kerja/rumah) (tsaub wasi talbasuhu al mar`ah fauqa tsiyaabiha) (Rawwas Qalah Jie, Mujam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 126).
Demikian juga menurut Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya At Tafsir Al Munir fi Al Aqidah wa Al Syariah wa Al Manhaj, beliau memberikan makna serupa untuk kata jilbab. Jilbab menurut Syekh Wahbah Zuhaili adalah baju panjang (al mula`ah) yang dipakai perempuan seperti gamis, atau baju yang menutup seluruh tubuh. (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 22/114).
Kesimpulannya, kerudung itu berbeda dengan jilbab. Jilbab artinya bukan penutup kepala, melainkan baju terusan yang longgar yang dipakai di atas baju rumah (steihamfara.ac.id, 21/02./2017)
//illat yang Sah dalam Berhijab//
illat (latarbelakang adanya hukum) yang sah adalah illat syariyah, yaitu berdasarkan nash syariat yang bersumber dari Alquran dan hadis. Karena hanya Alquran dan hadislah yang menjadi nash-nash syariat. Hukum syariat yang berkaitan dengan pakaian tidak boleh dikaitkan dengan illat sama sekali karena hukum-hukum tersebut tidak mengandung illat. Hukum tersebut diambil sesuai dengan apa yang terdapat dalam nash (Alquran atau hadis) saja secara tauqifi (apa adanya) dan diterima dengan penuh kepasrahan tanpa mencari-cari illat atau latarbelakang kenapa harus berhijab.
Bahkan termasuk kesalahan yang cukup berbahaya apabila kita mencari-cari illat dalam hukum berpakaian muslimah. Implikasinya, jika illatnya hilang maka hukumnya pun akan hilang, sebab illat itu senantiasa mengikuti malul (obyek hukum)nya, ada atau tidaknya illat. Seandainya illat berhijab (berkerudung dan berjilbab) adalah untuk menghindari tindak kejahatan dan melindungi tubuh dari sengatan sinar ultraviolet, hal ini dapat mengakibatkan jika tingkat kejahatan sudah nol dan tempat aman dari sinar ultraviolet maka hukum wajibnya menutup aurat akan hilang. Tentu tidaklah demikian. Oleh karena itu, mencari-cari illat dalam hal pakaian (yang jelas-jelas tidak ada illatnya) akan membahayakan eksistensi hukum dan pelaksanaannya.
//Bukan Atas Dasar Manfaat dan Kerugian//
Kita menerima dengan pasrah dan bersenang hati dalam menaati syariat Allah Subahanahu wa taala, bukan dengan dasar apakah syariat tersebut mendatangkan manfaat atau menghindari kerugiannya. Adapun mengenai hikmah (tujuan dan akibat perbuatan) maka sesungguhnya Allah sendirilah yang Maha Mengetahuinya. Akal kita tidak mungkin menjangkau hakikat Zat Allah dan tidak akan mampu menjangkau hikmahnya. Berbeda dengan ibrah (pelajaran) dari suatu kejadian, itu bisa kita rasakan dan pikirkan sebatas kemampuan akal kita saja sebagai hasil dari kontemplasi.
Adapun hikmah yang disebutkan dalam nash atau dalil syara maka pengertian hikmahnya terbatas (apa yang tercantum pada nash itu saja, dan diambil hanya dari nash tersebut, tidak dianalogikan kepada yang lain). Apa yang tidak disebut hikmahnya oleh nash, kita tidak boleh mencari-cari hikmahnya sebagaimana kita tidak boleh mencari-cari illatnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kewajiban menutup aurat dan berhijab syari secara sempurna ada dalilnya di dalam Alquran. Mencari-cari alasan untuk tidak menjalankan kewajiban tersebut sejatinya adalah kebodohan. Dalil yang bersifat tauqifi yang harus kita terima apa adanya bukanlah dogma. Islam bukan agama dogma, namun senantiasa terus mengajak kita untuk berfikir mendalam tentang hakikat kehidupan, manusia dan alam semesta. Islam mengajak kita berfikir tentang dalil, menggali hukum syara dan seterusnya. Adapun hikmah dari suatu hukum syara kita kembalikan saja kepada Allah Subhanahu wa taala. Tapi yakinlah, bahwa pasti ada maslahat dalam setiap apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa taala dan Allah tak akan pernah menzalimi kita sedikitpun dengan apapun yang ditetapkan-Nya. Wallahu alam bishshawab.[]
[Mnh]