Oleh : Sajaroh, S.Pd
(Member Pena Muslimah Jambi)
Muslimahtimes– PLN kembali membuat resah publik. Pasalnya pemadam listrik secara serentak pada Minggu (4/8) dan Senin (5/8) tidak hanya mengganggu aktivitas masyarakat namun juga dunia usaha sehingga mengakibat kerugian triliunan rupian. PT PLN (Persero) sudah berkali-kali menggelar pernyataan pers terkait black out yang terjadi Minggu (5/8), dan berdalih Pemadaman listrik terjadi karena adanya gangguan pada transmisi SUTET 500kv PLN di Jawa Barat, kemudian gas turbin 1 hingga 6 Suryalaya mengalami trip, dan gas turbin 7 mengalami off.
Pasca-peristiwa padamnya listrik PT PLN (Persero), mencuat berbagai spekulasi di tengah publik. Seperti, usulan peninjauan kembali sistem monopoli yang dijalankan perusahaan pelat merah ini.
Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) menilai, Perusahaan Listrik Negara (PLN) kerepotan mendistribusikan listrik. Selama ini swasta tidak pernah dilibatkan, kecuali mengelola pembangkit listrik.
Direktur Eksekutif dan Juru Bicara APLSI Rizal Calvary mengatakan, swasta perlu diajak kerja sama untuk membantu mendistribusikan listrik dari pembangkit hingga ke konsumen. PLN selama ini mengerjakan sendiri sehingga muncul insiden pemadaman listrik Jawa-Bali, Minggu (4/8).”Mereka kedodoran sehingga perawatan terabaikan. Padahal bisa bahu-membahu dengan swasta, tidak hanya investasi di pembangkit, tapi swasta juga berperan untuk distribusi dan transmisi,” Dia berharap pemerintah mau merevisi Undang-Undang Ketenagalistrikan. Peran swasta diperlukan untuk mendorong daya saing layanan dan harga di tingkat konsumen lebih efisien. “Kita juga ingin sekali membantu PLN bisa sukses menyediakan listrik untuk konsumennya,” ujarnya.
Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh rizal calvary, Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal juga menilai pemerintah sebaiknya mulai memikirkan untuk membuka pintu lebih lebar kepada perusahaan swasta agar juga bisa menjadi penyalur listrik kepada masyarakat. Saat ini, biasanya, perusahaan swasta hanya menjual hasil produksi listriknya ke PLN tetapi tidak menjual langsung ke masyarakat.”Selain tata kelola PLN yang dibenahi, tidak ada salahnya mengundang pemain lain untuk ikut berkompetisi dengan PLN di sektor kelistrikan ini. Ini membuka mata kalau selama ini monopoli dan monopsoni PLN sudah berlebihan juga,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/8).
Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, juga ikut menyuarakan bahwa PLN perlu memiliki pesaing yang turut berperan menyediakan pasokan listrik kepada masyarakat. Alasannya, agar beban perusahaan setrum negara tidak seberat saat ini. Selain itu, juga untuk mendukung kebijakan pusat data digital yang memiliki standar pemasok listrik lebih dari satu perusahaan.
//Sinyal Kuat Liberalisasi Penuh Sektor Kelistrikan//
Liberalisasi berbagai sektor strategis di negeri ini sangat sistematis dan rapi. Bahkan langkah demi langkah dilakukan dengan cermat. Ketika masyarakat negeri ini euporia dengan reformasi, berbagai UU energi primer telah diubah oleh asing. UU No. 22/2001 tentang minyak dan gas bumi, pembuatannya dibiayai oleh USAID dan World Bank sebesar 40 juta dolar AS. UU No. 20/2002 tentang kelistrikan dibiayai oleh Bank Dunia dan ADB sebesar 450 juta dolar AS.
Demikian halnya dengan listrik. Krisis listrik dengan segala macam pencitraan negatif tentang PLN merupakan paket liberalisasi energi ini. PLN terus dicitrakan negatif dan tidak efesien. Dengan kondisi PLN demikian, menurut UU Kelistrikan No. 20/2002, maka arahnya PLN ini akan diswastakan. Perlu diketahui, bahwa harga minimal sebuah pembangkit listrik adalah Rp 5.5 triliun. Dengan harga sebesar itu, dipastikan yang akan membeli pembangkit tersebut adalah swasta asing.
Meskipun UU tersebut akhirnya dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Karena dianggap melawan konstitusi, Namun di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, UU kelistrikan dihidupkan kembali melalui pengesahan UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Mantan Komisaris Utama PLN, Kuntoro Mangkusubroto mengatakan tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini sektor kelistrikan sudah dikuasai oleh asing.
Liberalisasi ini begitu nyata terlihat dalam proyek 35 ribu megawatt yang hanya memberi jatah kepada PLN 5.000 megawatt ditambah 7.500 megawatt dari proyek percepatan listrik tahap pertama. Sedangkan pihak swasta mendapat jatah 30 ribu megawatt ditambah. 15 ribu megawatt dari proyek percepatan listrik tahap pertama dan kedua.
Jika UU Kelistrikan No. 20/2002 dan UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan hanya memberi ruang kepada swasta lokal maupun asing untuk mengelola pembangkit tenaga listrik, sekarang pemerintah di dorong untuk merivisi UU Ketenagalistrikan agar swasta bebas mengelola sektor kelistrikan tidak hanya bagian pembangkit tenaga listrik namun juga berperan dalam transmisi dan distribusi listrik kepada konsumen.
Jika hal ini benar-benar terjadi maka sempurnalah liberalisasi sektor kelistrikan mulai dari pembangkit tenaga listrik, transmisi hingga distribusi listrik kepada masyarakat. Negara tidak lagi menjadi penyedia kubutuhan listrik masyarakat namun telah berpindah kepada swasta terutama asing. Maka bisa dipastikan bukan pelayanan yang didapatkan oleh masyarakat, sebaliknya masyarakat akan semakin terbebankan dengan harga listrik yang mahal. Sektor listrik akan dijadikan komoditi dagang, yang akan dijual kepada masyarakat untuk mendapakan laba/keuntungan yang besar.
//Listrik Murah dan Berkualitas, Islam Solusinya!//
Islam menawarkan mekanisme pengelolaan kelistrikan secara adil. Islam mengatur bahwa sumber daya energi yang jumlahnya melimpah adalah milik umat, dan yang berhak mengelolanya adalah negara bukan individu/swasta.
Ditutupnya peluang individu untuk menguasai sumber daya energi meniscayakan masyarakat mendapatkan akses penuh untuk menikmati sumber daya yang menjadi haknya. Negara akan mengelola sumber daya energi dengan tetap memerhatikan faktor lingkungan, dan hasilnya dikembalikan pada umat.
Karena merupakan milkiyyah ‘ammah, maka industri energi tidak diperlakukan sebagai pasar bebas. Negara membangun sendiri infrastruktur yang dibutuhkan dan produknya dikembalikan ke masyarakat dalam sistem tarif, bukan mekanisme pasar.
Tarif ini boleh tarif nol (gratis), tarif margin negatif (subsidi), tarif margin nol (impas) maupun tarif margin positif (untung). Yang penting masyarakat bisa menjangkaunya.
Namun anehnya negeri ini, ideologi Islam yang merupakan solusi paling ampuh atas masalah kelistrikan nasional malah dirkiminalisasi dengan slogan-slogan absurd semacam anti-Pancasila dan anti-NKRI.
Lucu bahwa isu Pancasila selalu dibawa ketika berhadapan dengan Islam, tetapi tidak pernah terdengar rimbanya ketika berhadapan dengan liberalisasi energi, pencabutan subsidi dan konspirasi pembangkrutan serta penjualan aset negara.
Wallahu’alam bissowab. [nb]
*Sumber gambar : Google