Oleh : Hana Annisa Afriliani,S.S
(Penulis Buku dan Aktivis Dakwah)
Muslimahtimes– Membayar Pajak Semudah Isi Pulsa. Itulah tagline terbaru milik Direktorat Jendral Pajak (DJP) yang konon ide tersebut muncul dari Menteri Keuangan Sri Mulyani. Tagline tersebut bertujuan untuk meningkatkan partisipasi para wajib pajak dengan wacana mudahnya membayar pajak.
Ditjen Pajak akan kerjasama dengan e-commerce seperti Tokopedia untuk mempermudah pembayaran pajak. (Detik.com/02-08-2019)
Ide tersebut muncul tentu tidak terlepas dari adanya intervensi IMF, sebagai lembaga keuangan internasional yang selama ini ‘mengontrol’ perekonomian nasional.
Menurut hasil assessment terhadap perekonomian Indonesia dalam laporan bertajuk Article IV Consultation tahun 2019,
IMF menilai bahwa pendapatan Indonesia dari sektor pajak masih tergolong rendah. Oleh karena itu, IMF merekomendasikan Strategi Penerimaan Jangka Menengah atau Medium-Term Revenue Strategy (MTRS) untuk diterapkan pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Ada empat strategi yang direkomendasikan IMF untuk DJP, yakni :
Pertama, reformasi administrasi perpajakan. IMF mengakui pemerintah Indonesia telah membuat kemajuan dalam hal mereformasi administrasi perpajakan. Namun, reformasi ini harus terus dijalankan secara konsisten dan intensif karena butuh waktu untuk melihat efektivitas kebijakan reformasi ini.
Kedua, reformasi perpajakan dengan merampingkan sistem perpajakan. IMF menilai, semakin sederhana sistem pajak, maka semakin efisien dan tingg pula tingkat kepatuhan. Hanya saja, reformasi ini memang membutuhkan revisi payung hukum perpajakan Indonesia.
Ketiga, memperluas basis pajak yang sudah berlaku. IMF menyarankan pemerintah untuk tidak menurunkan batas (threshold) PPN baik secara umum maupun untuk UMKM, sebelum menghapus kebijakan pembebasan PPN dan merampingkan PPh Badan.
Keempat, kebijakan meningkatkan tarif pajak atau mengenakan tarif pajak baru untuk meningkatkan penerimaan secara substansial. Namun, IMF mengakui, kebijakan ini mungkin paling sulit diimplementasikan.
Sebelum mencapai tahap kebijakan tersebut, IMF menyarankan pemerintah untuk menghapus subsidi BBM sebelum mengenakan cukai terhadap BBM, menghapus pembebasan PPN dan menurunkan batas (threshold) PPN sebelum menaikkan tarif PPN, serta memastikan kekuatan jaring pengaman sosial untuk melindungi kelas bawah di tengah kebijakan menaikkan tarif pajak.
Melalui MTRS tersebut IMF menyatakan agar Indonesia semestinya mampu meningkatkan pendapatan negara sekitar 5% dari PDB selama lima tahun ke depan, untuk membiayai belanja prioritas infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan jaring pengaman sosial.
Lantas benarkah kebijakan membayar pajak adalah demi kepentingan rakyat?
Faktanya, kewajiban membayar pajak yang dibebankan kepada masyarakat dengan besaran yang tidak kecil justru sangat memberatkan. Bagaimana tidak, rakyat sudah cukup tercekik dengan beban hidup Sehari-hari, ditambah harus pula membayar pajak ini itu. Tentu hal itu tidaklah lebih dari sebuah pemerasan negara terhadap rakyatnya.
Belum lagi dengan adanya kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak bagi golongan tertentu. Hal ini tentu menambah luka rakyat kecil kian menganga. Betapa tidak, para konglomerat dapat bebas dari jerat pajak terhutang hanya dengan membayar tebusan. Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak atau Undang-Undang Tax Amnesty 28 Juni 2016.
Inilah salah salah satu kezaliman yang ditampakkan oleh rezim neoliberal. Sangat berbeda dengan sistem Islam dalam memposisikan pajak. Jika dalam sistem neoliberal saat ini, pajak menjadi sumber terbesar bagi APBN, maka Islam tidaklah demikian. Pajak hanya dipungut pada saat mendesak (urgent), yakni saatbaitul mal dalam negara (Khilafah) kosong, sementara negara membutuhkan biaya untuk kebutuhan penting dan mendesak. Namun demikian, pajak tidak dipungut secara rata kepada seluruh rakyat, melainkan hanya mereka yang kaya saja. Sehingga jelas tidak menzalimi rakyat. Beda dengan rezim neoliberal, memukul rata pungutan pajak.
Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Namun, syariat Islam mengharuskan negara mengelola sumber daya alam secara optimal oleh negara. Mengatur mekanisme pendistribusian secara merata, yakni dengan mengatur kepemilikan berdasarkan koridor hukum syara.
Dalam Islam, barang-barang yang menjadi kebutuhan umum seperti BBM, listrik, air, dan lainnya sesungguhnya adalah milik rakyat yang harus dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat.
Hasil dari pengelolaan SDA tersebut hasilnya dikembalikan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, baik untuk menopang sektor pendidikan, kesehatan, maupun infrastruktur. Selain itu, sumber pemasukan negara dalam Khilafah adalah dari harta rampasan perang (ghanimah), fai, kharaz, serta harta zakat yang diambil dari kaum Muslimin yang terkena kewajiban zakat. Namun untuk zakat ini, peruntukkannya nanti terbatas hanya untuk 8 asnaf (orang-orang yang berhak menerima zakat), seperti fakir, miskin, amil, mualaf, ibnu sabil, gharimin, hamba sahaya, dan fii sabilillah.
Jelaslah bahwa hanya Islam yang mampu menyelesaikan permasalahan manusia dengan sempurna. Sebab, aturannya datang dari wahyu Sang Pencipta manusia, bukan akal dan nafsu manusia semata. Maka, sudah saatnya kita menyadari bahwa hanya sistem Islam yang mampu mewujudkan kesejahteraan dan kemuliaan bagi manusia. Adapun sistem Islam hanya dapat diterapkan secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Allahu Akbar!!! [nb]