Oleh: Intan Alawiyah
#MuslimahTimes — Beberapa hari yang lalu milyaran umat muslim di seantero negeri mengumandangkan takbir, tahmid, tahlil dan doa. Gema takbiran bersahut bertalu-talu menyambut kedatangan hari raya Idul Adha. Kegembiran tampak diraut wajah mereka, mulai dari anak-anak, kaula muda sampai mereka yang lanjut usia tak kenal lelah terus melantunkan takbiran.
Di negeri nan jauh di sana, tepatnya di kota suci Mekkah, jutaan kaum muslimin berkumpul melaksanakan wukuf di Arafah. Mereka datang dari berbagai pelosok negeri, dikumpulkan ditempat yang sama oleh ikatan akidah. Tak tampak perbedaan di antara mereka, kaya-miskin, penguasa-rakyat jelata saling berjibaku mengharap ridho-Nya. Beginilah suasana hari raya Idul Adha yang juga biasa disebut dengan hari raya Haji.
Hari raya Idul Adha bukan hanya sekadar hari raya pelaksanaan kurban atau ibadah Haji semata. Dibalik hari raya ini terselip pelajaran berharga yang dicontohkan oleh dua insan kekasih Allah. Kedua insan yang memiliki ikatan sebagai seorang ayah dan juga anak ini diuji oleh Allah dengan sebuah perintah yang jika mengikuti hawa nafsu manusia sangatlah mustahil untuk dilaksanakan. Namun, karena kecintaan keduanya pada sang pencipta melebihi kecintaan mereka pada makhluk lainnya, hal inilah yang mampu merontokkan ego yang dimiliki oleh keduanya.
Kesabaran Nabi Ibrahim dalam penantiannya menunggu kehadiran sang buah hati bukanlah dalam jangka waktu yang singkat. Bertahun-tahun lamanya Ibrahim terus menengadahkan tangannya meminta kepada Allah agar dikarunia anak sholih yang akan meneruskan tugasnya menyampaikan risalah rabb-Nya.
Di usianya yang tidak muda lagi, Allah pun mengijabah doa Ibrahim dengan menghadirkan seorang anak laki-laki yang tampan dan sholih, yang diberi nama Ismail. Akan tetapi saat Ismail beranjak dewasa, Allah kembali menguji kesabaran Nabi Ibrahim dengan memerintahkannya untuk menyembelih Ismail, anak yang begitu dinanti-nantikan kehadirannya.
Perasaan bimbang mulai menyelimuti hati kecil Ibrahim. Namun, alangkah bersyukurnya Ibrahim ketika mendengar jawaban yang diutarakan anaknya. Ismail begitu yakin bahwa ini adalah perintah yang harus segera ditunaikan. Sebab Ismail meyakini bahwa seruan ini datangnya dari Allah, zat yang menciptakan dan mengatur segalanya.
Begitulah bukti cinta yang dipersambahkan Nabi Ibrahim dan Ismail kepada Allah. Mereka begitu mengimani Allah sehingga ketaatan kepada-Nya tidak mampu digantikan oleh sesuatu apapun. Keimanan yang seperti inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap muslim. Menempatkan ketaatan bukan hanya pada pelaksanaan ibadah mahdah saja. Namun, harus terpancar pada setiap lini kehidupan, agar terwujud keimanan hakiki yang mampu membentengi diri dari kemaksiatan dan kekufuran terhadap perintah-Nya.
Dengan mengimani Allah seharusnya melahirkan sikap membenarkan dan memperjuangkan hukum-hukum yang bersumber dari wahyu-Nya. Sehingga seluruh hidup manusia hendaknya diperuntukkan untuk mengesakan Allah. Sebagaimana tercermin dalam takbir yang sunnah dikumandangkan sebanyak-banyakanya di awal bulan Dzulhijjah.
Oleh karena itu, ketaatan mutlak seorang hamba pada rabb-Nya adalah bagian dari cerminan keimanan yang dimilikinya. Ketaatan ini akan terwujud manakala hukum-hukum-Nya diterapkan dalam aspek kehidupan. Pelbagai masalah yang dihadapi kaum muslimin saat ini baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, keamanan, pergaulan dan lain sebagainya diakibatkan karena tidak diberlakukannya hukum-hukum Allah.
Nyatanya hukum buatan manusia yang saat ini diterapkan tidak mampu memberikan solusi dan memecahkan problematika yang terus menghimpit umat. Sudah selayaknya umat kembali pada fitrahnya sebagai seorang hamba yang tunduk, taat dan patuh menjalankan perintah dan larangan-Nya. Jalan satu-satunya untuk mewujudkan hal tersebut tidak lain adalah dengan mengembalikan junnah umat yakni Khilafah. Hanya dengan cara inilah umat Islam mampu mewujudkan ketaatan secara mutlak pada syariat Allah sebagai konsekuensi keimanan yang diembannya.
Wallahu’alam.[]