Oleh : Dien Kamilatunnisa
MuslimahTimes– Ayam adalah bahan pangan yang mudah didapat di pasaran. Ayam bisa diolah menjadi berbagai masakan. Usaha makanan yang menggunakan bahan baku ayam sangat pesat dipasaran. Sehingga peluang bisnis berbahan baku ayam sangat menguntungkan. Namun, Indonesia harus bersiap menerima serbuan ayam impor. Kran impor ayam pun dibuka karena Indonesia kalah saat menjalani dispute settlement (penyelesaian sengketa) melawan Brasil terkait importasi ayam di World Trade Organization atau WTO
Sejarah sengketa dagang ayam antara Brasil dan Indonesia dimulai pada tanggal 16 Oktober 2014 lalu ketika Brasil mengadukan Indonesia pada WTO karena dianggap menghambat masuknya produk daging ayam beku dan olahan ke dalam negeri. Namun kasus itu sempat ditunda masuk ke Badan Penyelesaian Sengketa (Tempo.co,16/08/2019).
Tentu saja impor ayam ini memicu perdebatan dan respon dari beragam pihak. Ketua DPR RI Bambang Soesatyo bahkan meminta pemerintah mengkaji kembali aturan standar daging dan ayam impor. Derasnya impor ayam bisa mengakibatkan harga ayam lokal anjlok di pasaran. Sehingga para peternak bisa mengalami kerugian karena perbedaan harga jual ayam lokal tidak bisa bersaing dengan harga ayam impor.
Asosiasi Rumah Potong Hewan Unggas Indonesia (Arphuin) menolak keras rencana pemerintah mengimpor daging ayam Brasil. Kepala Bidang Hukum dan Humas Arphuin Cecep M Wahyudin menyatakan bahwa dibukanya keran impor, kata dia, bakal berpotensi besar menghancurkan peternakan unggas rakyat. Dia mengingatkan kepada pemerintah perihal skandal daging ayam Brasil pada 2018 yang terungkap mengandung Salmonella. Kala itu Uni Eropa sebagai pengimpor daging ayam dari Brasil lalu meminta investigasi mendalam untuk kasus ini pada RPA milik eksportir asal Brasil. Artinya, pemerintah dan badan karantina Indonesia khususnya harus lebih teliti dan waspada dan dapat belajar dari kasus tersebut.
Selain itu, Anggota Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) Guntur Rotua mengatakan, keran impor ayam dapat berimbas pada rontoknya harga ayam di tingkat domestik. Sebab, kata dia, harga ayam Brasil relatif lebih murah Rp 2.000 per kilogram (kg) jika dibandingkan dengan ayam Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp 14 ribu per kg. “Yang berbahaya itu (ayam) yang Brasil ekspor itu adalah bagian ayam yang dianggap sampah. Misalnya bagian dalam tubuh ayam, dan paha juga termasuk dianggap bukan daging oleh mereka,” kata dia. (Republika.co.id. 16/08/2019).
Mencermati fakta-fakta di atas tentu disadari bahwa impor ayam akan memberikan dampak yang kurang menguntungkan dalam pertumbuhan perekonomian di masyarakat. Masuknya Indonesia pada organisasi WTO malah seolah memberikan sinyal bahwa kita “terjebak” dalam arus pedagangan bebas dunia. Sistem kapitalisme global memaksa negara-negara berkembang untuk masuk dalam percaturan perdagangan bebas dan “dipakasa” untuk ikut aturan main mereka. Siapa yang diuntungkan? Tentu saja pemilik modal.
Di sisi lain, perdagangan bebas mengaborsi peran pemerintahan -sebagai pengurus dan pelayan urusan rakyatnya. Proteksi pada usaha peternakan ayam lokal menjadi lemah akibat serbuan impor ayam Brasil. Alih-alih melindungi produk lokal dengan pengajuan sertifikat halal, dan status kesehatan hewan ternak impor, Indonesia malah diadukan ke WTO karena dianggap diskriminatif pada Brasil. Sungguh hal ini diluar logika.
Padahal dalam sistem Islam, tugas negara adalah menjamin semua kebutuhan pokok bagi rakyatnya, termasuk pangan. Visi dan konsep Islam sangat berbeda dengan sistem kapitalisme. Visi Islam dalam menjaga ketahanan pangat sangat jelas. Impor bukanlah hal utama yang dilakukan dalam menangani krisis pangan. Negara akan memperhatikan menejemen rantai pasok pangan sehingga dimungkinkan akurasi data produksi. Hal ini bisa digunakan untuk mengukur ketersediaan pangan, perlu atau tidaknya impor. Peningkatan produksi pangan dan kebijakan pendistribusian yang adil, sehingga kebutuhan pokok masyarakat pun terpenuhi.
Negara harus memperkuat ketahanan pangan dalam negeri, tidak boleh tergantung kepada negara lain. Karena ketergantungan pangan terhadap negara lain bisa mengakibatkan negara akan dengan mudah dijajah dan dikendalikan oleh asing. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem yang berorientasi kemaslahatan bagi rakyat, penjagaan kedaulatan negara serta upaya maksimal untuk membangun kemandirian pangan. Sistem itu adalah sistem Islam dalam bentuk khilafah.
Wallohu a’lam
[Mnh]