Oleh : Dessy Fatmawati, S.T
Muslimahtimes– “Islam Yes, Khilafah No!” slogan ospek yang viral baru-baru ini sukses menyedot perhatian netizen. Bahkan balasan slogan pun tak kalah riuh, “Islam Yes, Khilafah Now!”. Sebelum slogan ini muncul, ada kisah Enzo pembawa bendera tauhid, pelajar MAN membentangkan bendera tauhid juga kisah lain beserta respon agresif dari pemerintah semakin menarik dua kubu netizen dalam pertarungan maya. Nampaknya tahun 2019 kini, dunia media sosial tak lagi didominasi soal kehidupan pribadi. Tapi juga soal eksistensi sebuah ideologi.
Di antara spekulasi pusaran ide yang melatarbelakangi sikap netizen dalam merespon peristiwa, ada dua ide yang menonjol terlepas dari labelling game yang berjalan. Ideologi Islam beserta derivatnya versus ideologi kapitalis beserta derivatnya.
Bagi kapitalis sejati, pemisahan agama dari kehidupan adalah harga mati. Pembatasan akal manusia dalam penetapan hukum hanya akan mematikan kreatifitas manusia, demikian keyakinan mereka. Maka merekahlah ke empat pilar kebebasan, kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat dan kebebasan berperilaku.
Sedangkan dalam Islam, kehadiran agama dalam kehidupan adalah harga mati. Akal difungsikan untuk memahami wahyu sebagaimana dalam dua kalimat syahadat, la illa ha illah, Muhammad rasulullah (Tiada sesembahan selain Allah dan Muhammad utusan Allah). Maka lahirlah kewajiban pengaturan Islam dalam kehidupan untuk setiap muslim dari level individu, bermasyarakat dan bernegara.
//Netralitas Kebebasan//
Usungan kebebasan yang dibawa oleh demokrasi (kebebasan berbicara) seolah menjadi angin segar. Tak ada batasan, semua gagasan boleh untuk diungkapkan bahkan menjadi indikator keberhasilan penerapannya. Indonesia pernah menerima penghargaan Medali Demokrasi dari International Association of Political Consultants (IAPC) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada tahun 2017 angka Indikasi Demokrasi Indonesia (IDI) mencapai 72,11 (skala 0-100). Angka ini lebih tinggi dari IDI Indonesia tahun 2016 hanya mencapai 70,09. Sedangkan angka tertinggi yang pernah dicapai adalah 73,04 pada tahun 2014. Meski demikian ada hal yang patut mendapat perhatian, yakni kenaikan angka IDI tahun 2017. Kepala BPS Suhariyanto dalam jumpa pers di Jakarta (15/08/2018) menyatakan. “Secara umum angka Indeks Demokrasi Indonesia mengalami kenaikan tetapi variabel seperti kebebasan berpendapat serta kebebasan berkumpul dan berserikat justru menurun.” Mengapa demikian? Bukankah secara teoritis demokrasi memberi ruang kebebasan yang hampir tidak terbatas? Mengapa hanya Islam yang menjadi objek monsterisasi ajaran dan pemeluknya?
Fakta sepanjang penerapan demokrasi justru dipertontonkan hipokrisi kebebasan itu sendiri. Tak sedikit tokoh dunia yang menyatakan cacatnya ‘pembawa kebebasan’ ini. Charles Bukowski menyatakan, “The different between a democracy and a dictatorship is that in a democracy you vote first and take orders later. In a dictatorship you don’t have to waste your time voting”. Augusto Pinochet juga menyatakan, “Sometimes democracy must be bathed in blood”
Buaian Barat membuat para aktivis, intelektual, hingga kalangan awam melupakan satu titik kritis kebebasan, vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan). Prinsip ini meniadakan peran Tuhan (agama) dalam pengaturan kehidupan dan membebaskan manusia membuat aturan sesuai dengan kepentingannya.
Maka menghadirkan Muslim tanpa Islam adalah mutlak perlu untuk mengokohkan bangunan ini serta menghalangi segala cara muslim yang memegang teguh Islam. Hiporkit? Demikianlah konsekuensi peniadaan Tuhan dalam kehidupan.
//Saatnya Melepas Anomali//
Survey Arab Barometer tahun 2019 pada 10 negara di Timur Tengah, menyajikan data pengakuan ada 18% penduduk usia kurang dari 30 tahun ‘mengaku tidak religius’. Hadirnya sistem lain dalam kehidupan seorang muslim merusak bangunan utuh Islam dalam dirinya. Muslim secara sistemik hidup seolah-olah dalam ‘dua Tuhan’. Allah dalam urusan pribadi, kapitalis sebagai urusan publik. Tidak melepas agama, namun tidak juga mengaku religius. Muslim namun menolak kehadiran Islam.
Kecuali sedikit harta, sikap anomali ini tidaklah berkontribusi positif terhadap kehidupannya terlebih akhiratnya. Allah SWT berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: Al-A’raf [7]: 96).
Di tengah dominasi opini, bahwa hampir-hampir tidak mungkin melepas demokrasi, sesungguhnya penerapan demokrasi sejak kemerdekaan RI mengalami penurunan pamor. Terlebih setelah selesainya suksesi kepemimpinan berdarah tahun ini.
Di sisi lain terjadi besar-besaran kenaikan pamor hijrah, kosakata popular menyemai asa melepas anomali kehidupan ‘dua Tuhan’ seorang muslim. Pelan tapi pasti, tuduhan bahwa penerapan syariah adalah radikal, penyemai terorisme, membawa manusia pada kemunduran peradaban perlahan menghilang. Bersamaan dengan tersibaknya tabir-tabir peradaban Barat yang kita kenal aktif mempropagandakan keadilan, kebebasan, kemakmuran namun tak lebih dari kebutralan hukum buatan manusia.
Teruntuk kaum muslim, mengutip tulisan Yudha Pedyanto, sebenarnya yang kita perlukan bukan data aktual atau riset saintifik, tapi leap of faith, lompatan keimanan, bahwa semua yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan, pasti membawa kebaikan dan keberkahan, dunia dan akhirat, sekalipun belum tergambar manfaat-mudahratnya oleh kita. Seperti ketika Allah SWT memerintahkan Musa ‘alaihi salam untuk menghentakkan tongkatnya, atau Nuh ‘alaihi salam untuk membangun bahtera, mereka sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Jadi mari kita saling berpegangan tangan, kemudian “lompat” bersama-sama untuk menerapkan syariah kaffah. [nb]