
Oleh: Shafayasmin Salsabila*
MuslimahTimes- Spaneng, baik masyarakat umum atau pun pelaku usaha di separuh Pulau Jawa, saat listrik tiba-tiba padam dalam waktu yang relatif lama. Kerugiannya tak main-main, puluhan miliar rupiah. Bahkan yang membuat heboh, kereta listrik juga ikut ngadat, enggan melaju. Akibatnya penumpang terpaksa turun. Itulah sedikit dari dampak blackout (pemadaman listrik serentak), awal bulan lalu (4/7). Seribu jari menuding PLN (Perusahaan Listrik Negara) sebagai pihak yang bersalah atas petaka ini. PLN sendiri hingga sekarang masih melakukan investigasi, karena banyak pihak meragu jika pohon Sengon setinggi 8,5 meter lah yang menjadi pemicunya.
Tanda tanya besar akhirnya mengerucut pada satu kesimpulan. Rupanya ada udang di balik batu. Peristiwa mati listrik, menjadi alasan kuat membuka pintu lebih lebar lagi bagi pihak swasta, untuk kian menanamkan pengaruhnya. Tertera dengan jelas, detiknews.com (15/7) mengabarkan kepada khalayak, bahwa pemerintah dan Tiongkok menandatangani MoU pembangunan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Kayan, Kalimantan Utara. PLTA garapan PT Kayan Hydro Energy dan China Power Investment Corporation, diwacanakan mampu menghasilkan listrik 9.000 megawatt, menjadi yang terbesar se-Asia.
Padahal dua desa akan menjadi tumbal, terendam akibat pembendungan sungai Kayan. Tapi mega proyek ini tetap akan berjalan, tanda besarnya hawa nafsu kapitalis sudah di puncak ubun-ubun, tidak bisa lagi ditawar. Swastanisasi kini melahap sektor kelistrikan. Maka kian sempurnalah liberalisasi dan penguasaan listrik oleh Cina.
Sebetulnya tidak begitu mengherankan, karena sedari awal sistem ekonomi kapitalis menjadi lahan subur bagi liberalisasi energi. Siapa yang bermodal banyak, bebas memiliki dan menguasai apapun bahkan siapapun. Ujung-ujungnya rakyat lagi yang menjadi korban. Perekonomian masyarakat ikut pailit, hidupnya pun akan makin sulit.
Oleh karena itulah, sejak 14 abad lalu, Islam sudah memberikan ketentuan tegas terkait hal ini. Penguasaan atas aset milik umum oleh individu atau pihak swasta, bertentangan dengan kehendak Allah, penciptanya manusia. Satu hadis menegaskan, “Umat Islam berserikat dalam tiga perkara; padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud).
Api dalam hadis di atas dimaknai sebagai sumber energi. Listrik, termasuk dalam kategori ini, yakni milik umum. Sedangkan posisi negara sebatas sebagai pengelola dan mengembalikan hasilnya untuk umat. Karena energi adalah hak rakyat, negara tidak akan mengkomersilkannya atau menyerahkan kepemilikannya kepada pihak lain.
Itu semua akan terwujud, hanya pada saat umat memiliki pemimpin yang sadar dengan posisinya sebagai rain (pemelihara), sekaligus junnah (perisai) umat. Dan potret pemimpin demikian hanya terlahir dari sebuah institusi dengan visi ideologis yang jelas, yakni Islam. Kesejahteraan akan melingkupi seluruh negeri, baik Muslim maupun non-Muslim. Dalam satu kewarganegaraan, terjamin sempurna jauh dari nafsu lapar para kapitalis. Tidak akan dibiarkan pihak mana pun berani mengambil alih kepemilikan umum. Negara akan memberikan sanksi tegas, di sisi lain jilatan api neraka menanti bagi siapa yang melanggar ketentuan ini. Obral setrum, jauh dari angan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
*Penulis adalah Revowriter Indramayu