Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Member Komunitas Menulis Revowriter
MuslimahTimes– Kekalahan Indonesia oleh Brasil di World Trade Organization (WTO) menambah daftar panjang serbuan barang impor yang masuk ke dalam negeri. Terlepas dampak impor daging bagi peternak ayam, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan keputusan ini harus dijalankan apapun konsekuensinya karena dapat memancing respons negara tetangga (Tirto.id, 11/9/2019)
Menurut Enggar tidak ada pilihan lain untuk Indonesia selain menyesuaikan sesuai rekomendasi dari WTO. Agustus ini, impor beberapa komoditas lain yang dilakukan pemerintah juga sempat menjadi sorotan. Salah satunya impor beras yang diberikan saat petani sedang panen raya. Bahkan impor sempat dipaksakan saat kapasitas Gudang Bulog sudah berlebih. Kemudian ada juga kritik pada impor gula yang sempat meroket hingga Indonesia menjadi importir terbesar di dunia per tahun 2017-2018.
Impor jagung sebanyak 60 ribu ton per Maret 2019 juga menjadi polemik karena diberikan saat kesalahan data belum dibenahi. Lalu impor baja yang masuk ke Indonesia sempat berimbas pada produsen baja lokal akibat Permendag Nomor 22 Tahun 2018 membuka celah masuknya penjualan baja karbon yang lebih murah dari pasar domestik.
Tak hanya itu, masuknya produk semen asing ke Indonesia juga menuai persoalan. Sebab, produksi semen Indonesia masih surplus 35 juta ton per tahun. Belum lagi, dari sejumlah kebijakan impor yang dikeluarkan juga kerap bersinggungan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada 9 Agustus 2019 lalu, KPK menangkap 11 orang terkait suap impor bawang putih.
Nama Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita bahkan terseret dalam kasus dugaan gratifikasi impor pupuk oleh anggota DPR RI nonaktif, Bowo Sidik Pangarso. KPK pernah menggeledah kantor Enggar dan menyita dokumen impor gula rafinasi. KPK juga sudah tiga kali memanggil Enggar untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus tersebut, namun ia mangkir.
Anehnya, meskipun bertubi-tubi dikoreksi bahkan diprotes oleh rakyat sendiri nyatanya Menteri Enggar tak kunjung kapok. Tetap saja mengeluarkan kebijakan impor. Bahkan cenderung ugal-ugalan atau serampangan. Padahal petani dan pedagang kecil menjerit karena terhimpit. Karena urusan perut sudah melilit, tetap saja berlagak tak tahu, seperti tak takut pailit. Padahal sudah bisa dipastikan negara tekor.
Setali tiga uang, Presiden Joko Widodo sebenarnya mengetahui bila dampak dari derasnya impor ini membuat defisit neraca perdagangan Indonesia masih melebar di angka 1,93 miliar dolar AS per Juli 2019 dibandingkan capaian year on year 2018. Belum lagi, sepanjang 2018 defisit neraca perdagangan tercatat menjadi yang terdalam dengan nilai 8,70 miliar dolar AS selama periode pertama Jokowi.
Namun, Jokowi tak menegur Enggar soal impor. Perhatian Jokowi lebih terarah pada mandeknya ekspor yang tak kunjung mampu mengimbangi impor. Sampai-sampai Jokowi ingin membuat kementerian ekspor dan investasi.
Kesan peran pemerintah hanya sekedar pelaksana perintah tuan yang besar begitu santer. Mengalahkan viralnya rakyat sakit dan butuh solusi dengan segera. Alih-alih ingin mewujudkan kemandirian ekonomi yang ada justru mengacak-acak dan menjadikannya ” bancakan” ( selamatan bagi-bagi tumpeng, bahasa Jawa.pen) bagi para produsen luar negri.
Kebijakan impor yang ugal-ugalan ini adalah ciri rezim neoliberal. Yang mereka jadikan standar sukses hanyalah terbuka lebarnya kran impor, mengesahkan kebijakan semudah mungkin dan pajak serendah mungkin agar rancangan diatas berjalan dengan lancar. Padahal, bisa jadi hal ini membuat produsen dalam negeri lesu, karena produknya kalah bersaing dengan produk impor meskipun jika diadu secara kualitas, produk dalam negeri tak kalah bagus.
Beginikah cara meriayah atau mengurusi rakyat yang benar? rakyat dibiarkan mengais rejeki sendiri namun darahnyapun masih dihisap berupa pemalakan pajak. Tak ayal, produk dalam negeri terpaksa gulung tikar karena besar pasak daripada tiang. Pendapatan atau keuntungan belum didapat, biaya pajak besarannya mengalahkan biaya produksi itu sendiri. Bagaimana sejahtera itu menjadi nyata?
Tak urung, harus kita akui bahwa kita belum berdaulat. Kemerdekaan RI yang ke-74 tahun samasekali belum menyentuh level kebebasan dalam mengatur urusan negara sendiri, khususnya ekonomi. Kebijakan import seperti itu menjadi bukti penguasa sudah terjebak, bahkan secara sadar telah menjadi antek kepentingan kapitalisme global.
Jika sudah begini, percuma saja kita terus berharap pada sistem hari ini. Saatnya kita beralih pada pandangan yang lebih sahih. Yaitu islam , terutama terkait impor dan pengurusan urusan umat. Islam menjadikan fungsi kepemimpinan adalah berorientasi pada kemaslahatan bagi umat dan penjagaan kedaulatan negara.
Impor bisa jadi wasilah sebuah penjajahan. Terlebih jika barang yang diimpor adalah baham yang berhubungan dengan ketahanan sebuah negara. Semisal kebutuhan bahan pokok, baja, sumber energi dan persenjataan. Jika sudah masuk dalam jebakan neoliberalisme akan sulit bagi sebuah negara itu untuk berlepas diri.
Islam mewajibkan usaha lain untuk maksimal membangun kemandirian. Dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Karena sistem Islam adalah sistem yang bersifat integral, bukan parsial. Maka jika butuh perbaikan ekonomi kita butuh perbaikan di sisi yang lain pula. Seperti di bidang keamanan, sosial dan lain-lain. Rakyat ekonomi kuat baik dari sisi teknis maupun cara pandang bahwa tidak selamanya impor penting buat negara maka saat itulah negara mampu berdiri kuat. Wallahu a’ lam biashowab.