Oleh: Hamsina Halik
(Revowriter Mamuju)
#MuslimahTimes — Beberapa waktu lalu dunia maya dihebohkan dengan viralnya kasus seorang mahasiswa UIN Kendari yang di DO sepihak dengan tudingan radikal dan dianggap berafiliasi dengan organisasi terlarang. Sementara, disatu sisi seorang doktor UIN Yogya dengan disertasinya yang penuh kontra terkait ‘zina halal’ malah diapresiasi dan diberi nilai memuaskan oleh para pengujinya. Sungguh ironi negeri ini. Kebenaran dianggap ancaman, sedangkan keburukan diberi peluang.
Dilansir dari Kiblat.Net, Seorang mahasiswa di Kampus IAIN Kendari, Hikma Sanggala dikeluarkan dari kampus karena tuduhan tidak jelas. Pengacara Hikma dari LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan mengatakan bahwa kliennya dikeluarkan karena dituding berafiliasi dengan aliran sesat dan paham radikalisme.
“Diantara yang menjadi dasar pemberhentian tersebut yaitu diantaranya adalah berafiliasi dengan aliran sesat dan paham radikalisme yang bertentangan dengan ajaran Islam dan nilai-nilai kebangsaan dan terbukti sebagai anggota, pengurus dan/atau kader organisasi terlarang oleh Pemerintah,” katanya kepada Kiblat.net melalui siaran persnya pada Senin (02/09/2019).
Padahal, mahasiswa ini terkenal dengan segudang prestasi dalam bidang akademik. Sebuah penghargaan berupa piagam sertifikat sebagai mahasiswa dengan IPK terbaik se-fakultas. Menjadi pertanyaan besar atas alasan yang sebenarnya dibalik diterbitkannya surat DO ini. Tentu, pihak kampus harus membuktikan tudingan mereka. Jika tak benar, tudingan paham radikal dan afiliasi dengan aliran sesat adalah fitnah.
Lain kasus dengan doktor UIN Yogya yang justru mendapat angin segar, disertasinya lulus dengan nilai memuaskan. Padahal, isinya adalah sesuatu yang sudah jelas keharamannya. Zina yang haram, melalui disertasi tersebut dianggap ‘halal’ jika suka sama suka dan dilakukan ditempat tersembunyi. Serta ada aqad atau kesepakatan diantara kedua belah pihak. Tujuannya untuk mencegah penipuan terhadap pihak perempuan.
Adapun akad dalam tafsir Muhammad Syahrur, dia melanjutkan, sesuai adat kebiasaan masing-masing. Yang penting, kedua pihak yang akan melakukan hubungan intim itu memahami bahwa hubungannya itu sebuah hubungan seksual nonmarital.
“Ada kesepakatan bersama sehingga tidak sampai terjadi penipuan,” ucap Aziz.
Menurut dia, kesepakatan itu untuk mencegah penipuan karena tidak sedikit perempuan bersedia berhubungan seksual dengan laki-laki karena tergiur oleh janji-janji, misalnya, akan dinikahi. Padahal, laki-laki tersebut hanya sekadar ingin berenang-senang. (tempo.co, 03/09/2019)
Bahkan disebutkan bahwa bentuk persetujuannya bisa seperti kawin kontrak. Jika dahulu, pelaku kawin kontrak sangat merahasiakan kontrak mereka. Sekarang melalui disertasi tersebut, boleh jadi kawin kontrak ataupun aktivitas zina lainnya akan semakin diumbar di muka umum tanpa ada lagi rasa malu dan berdosa.
/Liberalisasi sebagai Asas/
Nasib Hikma Sanggala tak seberuntung dengan Abdul Aziz, Doktor UIN Yogya. Padahal, mereka berdua berasal dari kampus Islam yang sama. Hanya beda kota. Pemahaman keduanya sangat bertolak belakang. Yang satu berusaha berada di jalan lurus, mendakwahkan Islam kaffah. Satunya, justru berbalik arah dari ajaran Islam, meski mengatasnamakan ajaran Islam. Bebas berpendapat sesuai keinginannya sendiri, meski itu berlawanan dengan Islam.
Ini menjadi salah satu bukti kebobrokan paradigma pendidikan sekular saat ini. Tak dapat dipungkiri bahwa sistem pendidikan di negara ini dibangun di atas ideologi yang sekuler-materialistik. Memisahkan agama dari kehidupan. Materi menjadi tujuan utama. Jika dalam dunia pendidikan, ada sesuatu yang dianggap merugikan harus dibabat hingga habis. Sebab, salah satu fungsi pendidikan adalah untuk mengokohkan sistem yang ada. Sehingga, jika negaranya sekular tentu saja sistem pendidikannya dirancang untuk mengokohkan sekularisme itu. Meski, lembaga pendidikan itu berbasis Islam.
Juga, pendidikan sekular saat ini dibangun atas asas liberalisme. Melalui asas ini setiap orang bebas bertingkah. Salah satunya kebebasan berpendapat. Meski itu berlawanan dengan ajaran Islam itu dianggap hal lumrah, sebab dijamin dalam kebebasan berpendapat. Ayat-ayat Allah ditafsirkan sedemikian rupa oleh orang-orang liberal sesuai kehendak. Penyematan gelar radikal tak jelas. Pendapat yang dianggap bertentangan dengan pendapat mereka, meski itu benar adalah ajaran Islam, dianggap radikal. Sebaliknya, jika pendapat itu sesuai, meski berlawanan dengan ajaran Islam, akan dianggap benar. Bukan radikal.
Maka, tak heran jika lahir intelektual dan institusi pro liberal yang anti terhadap Islam kaffah. Sebab, tujuan dari kurikulum pendidikan sekular adalah menjauhkan agama dari kehidupan, sekadar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dalam pencapaian tujuan hidup, hedonistik dalam budaya masyarakatnya, individualistik dalam interaksi sosialnya, serta sinkretistik dalam agamanya.
Dampak lain dari sekularisasi pendidikan adalah kualitas kepribadian intelektual jauh dari kepribadian Islam. Disamping itu, ini dijadikan sebagai kesempatan untuk melegalisasi segala kekufuran. Radikal versi para liberal dijadikan patokan dalam menilai setiap pendapat. Sehingga semakin menjauhkan umat dari solusi hakiki atas segala problematika hidup. Sebab, solusi hakiki yang ditawarkan kepada umat dianggap radikal oleh para pengusung liberal ini.
/Akidah Asas Pendidikan Islam/
Tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk kepribadian Islam. Disertai dengan pemberian berbagai ilmu dan pengetahuan yang erat kaitannya dengan kehidupan. Dalam Islam, pendidikan tak sekadar transfer ilmu. Namun, harus diperhatikan sejauh mana ilmu pengetahuan itu diberikan dapat mengubah sikap atau tidak.
Munculnya berbagai problem pendidikan saat ini tak lepas dari sistem yang diterapkan. Sistem yang terlahir dari pandangan hidup yang salah, yaitu sekularisme. Yang jelas sangat bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu, untuk menyelesaikannya perlu solusi yang fundamental. Diawali dengan perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma pendidikan Islam.
Secara paradigmatik, mengembalikan asas pendidikan pada Islam adalah kewajiban. Dalam pendidikan Islam, akidah sebagai dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan. Paradigma pendidikan yang berasas akidah islam harus berlangsung secara berkesinambungan pada seluruh jenjang pendidikan yang ada, mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi. Outputnya nampak pada adanya keseimbangan diantara tiga hal, yaitu; pembentukan kepribadian islam (Syakhsiyyah Islamiyyah), penguasaan tsaqofah islam dan ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan).
Sedangkan solusi pada tataran strategi fungsional. Pendidikan melibatkan tiga unsur pelaksana yaitu keluarga, sekolah/kampus dan masyarakat yang harus dikembalikan pada nilai-nilai aturan Islam. Keluarga yang berperan menanamkan akidah Islam yang kokoh pada anak, lingkungan masyarakat yang kondusif penuh amar ma’ruf nahy munkar, dan sekolah dengan akidah Islam sebagai asas pendidikannya serta peran negara sebagai pelaksana aturan Islam, akan mewujudkan pendidikan yang mampu melahirkan para intelektual yang bersyakhsiyyah Islamiyyah.
Wallahu a’lam []