Oleh : Nusaibah Al Khanza ( Member Revowriter )
MuslimahTimes– Hari ini adalah era baru bagi KPK dengan UU yang baru. Padahal sebelumnya, wacana revisi UU KPK tersebut sempat menimbulkan polemik di DPR terkait usulan revisi UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wacana revisi UU KPK bahkan tidak kali ini saja, namun sudah berulang kali diusulkan, tapi selalu kandas di tengah jalan karena banyaknya penolakan. Isu revisi UU KPK kembali mencuat setelah seluruh fraksi di DPR meminta revisi kembali UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada awal september 2019. Namun, hari ini revisi UU KPK tersebut telah disahkan.
DPR mengesahkan Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengesahan Revisi UU KPK dilaksanakan dalam rapat paripurna DPR RI hari ini, Selasa (17/9/2019).
Rapat oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan didampingi Ketua DPR Bambang Soesatyo serta Wakil Ketua DPR Utut Adianto. Berdasarkan keterangan pimpinan, rapat paripurna dihadiri 289 anggota dewan dari total 560 anggota sehingga sudah kuorum untuk dibuka. ( Liputan6.com, Jakarta )
Kesan terburu-buru pengesahan tersebut ditengah derasnya arus penolakan dari sejumlah elemen masyarakat menyebabkan munculnya dugaan kuat adanya skenario pelemahan terhadap KPK. Aroma pelemahan itu semakin kental terasa ketika mencermati draf revisi UU KPK yang saat ini telah disahkan menjadi UU. Padahal sebelumnya dengan bergulirnya RUU tersebut ikut memetakan pola relasi kuasa di internal parlemen. Mayoritas fraksi hampir menyepakati draf RUU KPK. Jika ditelisik, paling tidak ada empat poin krusial yang akan menggerogoti nasib KPK dalam draf RUU KPK tersebut. Hal ini seolah menunjukkan bahwa nasib KPK akan menjadi lemah. Dan tentu hal ini akan menyebabkan langkah pemberantasan korupsi sedang berada diujung tanduk.
Poin yang dinilai melemahkan KPK antara lain:
Pertama, adalah pembentukan Dewan Pengawas KPK yang menentang proses perbaikan perkara, penuntutan harus berkoordinasi dengan kejaksaan, demikian halnya dengan KPK sebagai lembaga negara. Dewan Pengawas akan dibentuk, yang salah satu kewenangannya adalah mengevaluasi kinerja pimpinan KPK. Poin ini dalam draf RUU KPK diatur pada Pasal 37A-37F.
Kedua, perihal penyadapan yang dalam draf RUU KPK diatur pada Pasal 12A-12F.
Jika kewenangan penyadapan itu harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas, ini menunjukkan ada upaya untuk menyabotase kewenangan penyidik melalui Dewan ini. Apalagi tidak ada jaminan bahwa Dewan Pengawas adalah lembaga yang steril. Sebab, Pasal 37D draf RUU KPK menyebutkan bahwa Dewan Pengawas diangkat oleh Presiden. Artinya, keberadaan Dewan Pengawas membawa misi terselubung yang rawan disusupi oleh kepentingan tertentu.
Ketiga, ihwal surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang diatur pada Pasal 40 draf RUU KPK. Rupanya pembentuk draf RUU KPK lupa bahwa KPK berada pada level yang berbeda dalam menangani kasus korupsi bila dibandingkan dengan aparat penegah hukum lain. Logika yuridisnya adalah jika KPK diberi kewenangan mengeluarkan SP3, itu berarti merontokkan keseriusan dan kematangan KPK pada saat menyidik perkara korupsi. Selama ini sudah terbukti tak satu pun perkara korupsi yang dituntut KPK di mana terdakwa divonis bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum di meja hijau. Jadi, jika kewenangan SP3 diberikan kepada KPK, itu artinya KPK tidak lebih dari Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas korupsi.
Keempat, larangan merekrut penyidik independen yang diatur pada Pasal 43 draft RUU KPK. Mencermati rumusan RUU ini, kita patut mengernyitkan dahi sebab KPK tak boleh lagi mengangkat penyidik independen sebagaimana dilakukan selama ini. Secara tersirat ini akan menempatkan KPK dalam posisi yang lemah dan sulit, sebab ia akan bergantung pada Polri.
Jika KPK menangani kasus korupsi yang ditengarai melibatkan orang dalam Polri, tentu hal ini akan mempengaruhi kinerja penyidik di internal KPK. Apalagi mekanisme pemberhentian penyidik KPK harus atas usul Polri itu sendiri. Intinya, draf RUU ini justru berpotensi menempatkan KPK dan Polri untuk head to head alias duel bukan duet bareng memberantas korupsi.
Jadi, bisa dicermati dalam kisruh pemberantasan korupsi tersebut bahwa hukum yang diterapkan saat ini dalam sistem politik demokrasi sangat mudah diutak atik berdasarkan kepentingan pesanan. Sehingga yang terjadi justru campur aduk penanganan konflik yang tidak pada tempatnya sehingga membuat ambigu, menguap dan tak urung pemberantasan korupsi seolah hanya menjadi mimpi. Utopi.
Faktanya saat ini kejahatan korupsi tidak surut sedikitpun. Banyaknya pejabat seperti kepala daerah dan anggota legislatif yang tertangkap tangan KPK membuktikan bahwa korupsi justru semakin menggurita dan tumbuh subur bak jamur hingga tak mampu dicegah dengan hukum yang ada. Maka dibutuhkan langkah dan hukum yang berbeda. Saatnya melirik dan menoleh pada Islam sebagai solusi tuntas mengatasi biang korupsi.
Syariat Islam mengatur secara rinci cara mengatasi persoalan korupsi, sebagai berikut :
Pertama, sistem penggajian yang layak.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah.
Ketiga, perhitungan kekayaan aparat negara.
Keempat, teladan pemimpin yang bertakwa.
Kelima, hukuman setimpal yang bersifat sebagai pencegah dan pemberi efek jera yakni berupa ta’zir yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Keenam, pengawasan masyarakat.
Semua langkah tersebut akan berhasil ketika sudah terbentuk ketakwaan individu dari masyarakat yang diperoleh dari periayahan negara. Juga adanya kontrol / pengawasan dari masyarakat. Dan tentu jika ada peran penuh dan sungguh-sungguh dari negara untuk menerapkan aturan Islam dan melaksanakan hukum yang telah Allah tetapkan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.”
(QS. Al-Ahzab 33: Ayat 36)
Maka jelas bahwa melakukan revisi terhadap KPK bukanlah menyelesaikan masalah korupsi. Namun yang tepat adalah merevisi secara total dengan mencampakkan sistem kapitalis Demokrasi. Beralih kepada penerapan Islam secara sempurna dan menyeluruh dalam berbagai lini kehidupan. Wallahu a’lam.