Oleh: Arin RM, S.Si
#MuslimahTimes — Publik dunia maya dibuat gempar dengan beredarnya cuplikan film The Santri. Di laman dekannews.com (15/09/2019) dituliskan, The Santri merupakan film berkisah tentang kehidupan para santri yang sedang menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren di Indonesia dan berupaya mewujudkan impiannya untuk sampai ke Amerika Serikat. Konon, film ini akan mengajarkan penontonnya tentang kesederhanaan, toleransi dan cinta tanah air, namun sayang ada beberapa adegan yang dinilai tidak sesuai dengan tradisi pesantren, bahkan kebablasan. Contoh adegan yang kebablasan adalah adegan yang mengajarkan tentang toleransi, dimana dalam film ini terdapat adegan dua orang santri membawa tumpeng ke gereja untuk diserahkan kepada pastur yang sedang memimpin jemaatnya beribadah.
Karena membawa label keagamaan, maka sangat wajar jika kalangan ulama merespon lebih dahulu. Kiblat.net (17/09/2019) bahkan mengangkat judul “KH Luthfi Bashori: Saya Garda Depan Boikot Film The Santri”.
“Saya pasti terang-terangan memboikot, saya di front terdepan tidak masalah. Karena itu pelecehan terhadap pesantren, juga pelecehan terhadap kyai pesantren dan santri. Saya keberatan karena saya mengasuh sebuah pesantren,” ujarnya saat dihubungi Kiblat.net pada Selasa (16/09/2019). Di media sosial pun jugaberedar meme terkait respon ulama yang pada intinya tidak sepakat dengan konten film tersebut.
Jika diperhatikan dari isinya, ada beberapa poin yang memang layak dikritisi. Pertama, konsep ikhtilat dan khlawat yang dimunculkan dalam cuplikan. Apakah benar kultur santri demikian adanya? Ataukah hanya sebatas memnfaatkan posisi santri untuk menjustifikasi perbuatan terlarang tersebut agar dianggap benar?Kedua, unsur toleransi yang kebablasan pada adegan memasuki rumah ibadah agama lain. Bukankah konsep toleransi yang diajarkan selama ini selaras dengan ayat terakhir AlKafirun .Mengapa dalam film ini justru santri yang masuk ke dalam bahkan dalam kondisi mereka sedang beribadat? Apakah arahnya mau mengamini pluralism ala Barat?
Ketiga, cita-cita santri ke negeri Barat. Bukankah selama ini mayoritas ulama lahir dari rahim madrasah Islam yang jika dirunut negeri mereka tidak terletak di Barat? Dan kita tahu Barat justru lekat dengan konsep sekular nan liberal. Apakah model demikian yang hendak dipakaikan pada santri?
Maka, pendapat ulama yang kritis hingga menolak penayangan film ini patut diapresiasi, bahkan didukung. Sebab jika label islami dipakai sebagai tameng untuk memuluskan liberalisasi di dalamnya, sangat disayangkan sekali. Generasi Islam haruslah tumbuh dan terjaga dalam kekhasan ajaran Islam. Kemurnian ajaran Islam yang akan membentuk kepribadian khas bagi muslim tat kala dia berhasil mewujudkan pemahaman islamnya dalam keseharian tingkah lakunya. Dan agar pemahaman ini murni, maka tak layak informasi yang masuk ke mereka terkontaminasi oleh ajaran selain Islam, terutama konsep liberalisme.
Sebab jika mau jujur, liberalismelah yang menyumbang kerusakan pada generasi masa kini. Paham ini mengajarkan kepada generasi muda untuk bebas berbuat tanpa mempertimbangkan aturan agama. Jika pun agama masih dipakai, minimal liberalis menginginkan agar tidak saklek. Agar masih ada pencampuran dengan konsep mereka, meski dalam Islam mencampuradukkan yang haq dan bathil tidak diperkenankan (QS Albaqarah:42). Sebab mereka yakin bahwa cara efektif melemahkan generasi Islam adalah dengan menarik sedikit demi sedikit generasi muslim agar membebek pada ajaran Barat.
Hingga tidak mengherankan apabila kemudian muncul generasi yang sulit diingatkan. Atas nama hak asasi yang kebebasannya dijamin, mereka akan mudah menolak nasehat dengan dalih apa yang mereka perbuat adalah urusan pribadi. Atas nama kebebasan mereka tidak akan gerah tatkala dikepung kemasiatan dari segala sisi. Dan akhirnya mereka tak akan lagi peduli pada indahnya aturan Islam karena sudah merasakan ‘kenikmatan’ bebas menjalani hidup sesuai kemauan. Generasi seperti inilah yang dikehendaki musuh-musuh Islam.
Maka tidaklah heran jika liberalisasi terus digencarkan, terutama lewat tontonan. Sebab seringnya memang tontonan akan dijadikan tuntunan. Banyak yang merasa keren dan kekinian jika berhasil meniru tontonan yang sedang viral. Tak peduli lagi bagaimana pandangan Islam terhadap perbuatan itu. Inilah mengapa agar tak semua tontonan dijadikan tuntunan, generasi muda harus mendapatkan ilmu memfilter tayangan. Dan filter terkuat hanyalah dengan mengakarkan ajaran Islam kepada mereka. Jika akariman Islam kuat, lalu mereka paham syariat, niscaya mudah bagi mereka mengendus aroma liberalisasi yang bersembunyi di balik film islami sekalipun. Dan tentunya filter skala individu ini akan semakin kuat tatkala didukung oleh masyarakat dan negara secara bersamaan.