Oleh : Hana Annisa Afriliani, S.S
(Penulis Buku)
Muslimahtimes– Seorang mahasiswa berjas almamater kuning menatap tajam ke arah deretan bapak-bapak berdasi dan berjas rapi sambil berkata dengan intonasi tinggi, “kami tidak percaya kepada DPR. Kami tidak percaya kepada partai. Dan kami tidak percaya kepada wakil rakyat kami. Dewan pengkhianat rakyat. Hidup mahasiswa!”
.
Itulah satu momentum yang terjadi di tengah meletusnya aksi mahasiswa di depan gedung DPR sejak tanggal 23 September 2019 lalu. Kala itu beberapa orang perwakilan mahasiswa diizinkan masuk ke dalam gedung parlemen untuk menyampaikan aspirasinya di hadapan para anggota dewan. Lantas terjadilah adegan sebagaimana ditulis di awal.
Munculnya ketidakpercayaan kepada DPR menujukkan bahwa sistem demokrasi telah gagal mensejahterakan rakyat. Sebaliknya, demokrasi membuat rakyat senantiasa terjepit dengan berbagai aturan yang tidak berpihak kepadanya. Padahal slogan demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun faktanya itu semua hanyalah slogan belaka. Ilusi tanpa implementasi. Rakyat hanya dijadikan intrumen pelengkap dalam setiap pemilu. Selebihnya suara rakyat tak didengar, buktinya banyak produk hukum yang dihasilkan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Maka wajarlah jika gelombang protes mengalir deras. Rakyat sudah jengah.
Begitulah jika hukum hanya disandarkan pada akal dan hawa nafsu manusia semata. Dalam pandangan Islam, fungsi akal adalah untuk memahami substansi. Benarlah bahwa baik dan buruk dapat dikendalikan oleh akal kita. Namun sejatinya, akal harus disandarkan pada wahyu, bukan hawa nafsu. Dengan itulah, posisi akal– dalam merumuskan segala sesuatu– menjadi benar. Baik dan buruk berasaskan pada syariat saja. Karena syariat berasal dari yang Maha Benar, Allah Swt.
Tidak ada negosiasi dengan Allah dalam perkara hukum. Dalam Islam, kedaulatan di tangan Allah. Artinya hanya Allah yang berhak membuat hukum. Berbeda dengan hari ini, kedaulatan di tangan manusia. Padahal akal manusia lemah dan terbatas. Wajar jika pada praktiknya, muncul banyak pertentangan. Suara rakyat tak lagi terwakilkan.
Oleh karena itu, akar masalah dari semua kekisruhan ini adalah tidak dijadikannya Allah swt sebagai pemutus perkara di antara manusia. Tidak diterapkannya aturan yang bersumber dari wahyu. Maka benar salah menjadi nisbi adanya. Rentan konflik akibat banyak kepentingan yang bermain di balik lahirnya sebuah kebijakan atau produk hukum.
Maka, saatnya kita menyadari bahwa hanya dengan menegakkan aturan Islam secara kaffah saja lah negeri ini dapat mencapai kondisi ideal sebagaimana yang didambakan oleh manusia. Karena Allah telah menurunkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Lantas tunggu apa lagi? [nb]