Oleh: Intan Alawiyah
Muslimahtimes– Memasuki era industri 4.0 berbagai kemudahan informasi bisa didapatkan. Tinggal mengusap si layar mini digenggaman, beraneka informasi telah tersaji datang menghampiri. Alhasil, tak perlu waktu lama lagi menanti si penjual koran yang setiap pagi berkeliling kampung menjajakan korannya demi mendapatkan berita hari ini. Mudahnya mengakses informasi di zaman now yang serba canggih ini, mengharuskan para penikmat berita harus lebih jeli memilah dan memilih informasi mana yang sesuai fakta dan mana yang telah dimanipulasi.
Kecanghihan teknologi mudah diselewengkan oleh orang-orang yang mencari kepentingan di dalamnya, tanpa memperhatikan lagi dampak buruk yang akan terjadi. Sebab hasrat duniawi telah membutakan mata-hati sehingga apapun dilakukan untuk meraih apa yang dikehendaki. Media sosial adalah pilihan yang tepat dan cepat dalam menyebarkan informasi. Namun sayangnya, di tangan-tangan usil informasi dapat diputar balikkan faktanya.
Media sosial tidak pelak menjadi aplikasi yang paling populer dikalangan warganet Indonesia. Trend penggunaannya terus mengalami kenaikan secara signifikan. Berdasarkan hasil riset Wearesosial Hootsuite yang dirilis Januari 2019, pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi. Jumlah tersebut naik 20% dari survey sebelumnya. Sementara penggunaan media sosial mobile (gadget) mencapai 130 juta atau sekitar 48% dari popilulasi. (databoks.com, Januari 2019)
Hal inilah yang dimanfaatkan para pendengung atau biasa disebut buzzer untuk melakukan penyebaran opini. Dalam konteks media sosial, arti buzzer adalah orang yang mempromosikan, mengkampanyekan atau mendengungkan sesuatu baik itu produk atau isu tertentu melalui postingan di akun media sosialnya.
Para buzzer ini dimanfaatkan oleh parpol, individu bahkan rezim. Tujuannya adalah menciptakan disinformasi, menekan hak dasar manusia, mendiskreditkan oposisi politik dan membenamkan pendapat yang berlawanan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oxford internet institute. Pasukan buzzer atau siber ini mengirimkan pesan untuk berpropaganda, baik secara eksplisit maupun implisit. Penelitian tersebut dilakukan di 70 negara, termasuk Indonesia. Pasukan siber di setiap negara bisa memanfaatkan pesan tersebut lebih dari satu macam.
Dari 70 negara, sebanyak 89% menggunakan propaganda komputasi untuk menyerang lawan politik. Pesan yang berisi propaganda terhadap pro pemerintah atau pro pihak politik tertentu sebanyak 71%. Terakhir sebanyak 34% menyebarkan pesan untuk memecah-belah masyarakat. (databoks.com, 7/10/2019)
//Islam memandang berita hoax//
Allah SWT telah memperingatkan hamba-Nya untuk berhati-hati dalam menerima informasi yang belum jelas keabsahannya. Mengedepankan sikap tabayyun telah diperintahkan oleh Allah di dalam Alquran surat al-Hujurat ayat 6,
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (TQS. Al-Hujurat 49: Ayat 6)
Bersikap teliti ketika menerima informasi sangat diperlukan. Dalam sistem liberal yang mengusung asas kebebasan akan melahirkan orang-orang yang melegalkan segala cara dalam meraih apa yang diinginkan, meskipun harus bertentangan dengan hukum syara. Di dalam Islam bahwa berbohong dan membuat berita bohong hukumnya adalah haram, Abdullah bin Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tinggalkanlah kebohongan karena sungguh kebohongan itu bersama kekejian dan kedua (pelaku) nya di neraka.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan ath-Thabrani)
//Islam Dan Tampuk Kekuasaan//
Jelas sekali bahwa penyebaran berita atau tulisan bohong diposisikan sejajar dengan orang yang berbicara dusta pada khalayak. Sehingga Allah pun melaknat orang-orang yang melakukan perilaku demikian. Tak terkecuali para penguasa yang melegalkan perilaku tersebut demi meraih tampuk kekuasaan. Sungguh ini perbuatan tercela yang mengakibatkan Allah dan Rasul-Nya enggan memandang mereka.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sungguh akan ada sesudahku para pemimpin, siapa saja yang membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka maka ia bukan golonganku dan aku pun bukan golongan mereka, ia tidak akan masuk surga menemaniku di telaga. Sebaliknya siapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka, maka ia termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya, ia pun akan masuk ke telaga bersamaku.” (HR. an-Nas’i, al-Baihaqi dan al-Hakim)
Di dalam Islam kriteria pemilihan pemimpin bukan berdasarkan like atau dislike menurut pandangan manusia. Akan tetapi para ulama telah merumuskan dari berbagai nash syara yang menyangkut berupa 7 syarat sah in’iqad yang harus dipenuhi oleh seorang yang akan diangkat menjadi seorang pemimpin (Khalifah). Syarat tersebut adalah harus seorang muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil (tidak fasik), merdeka dan punya kapabilitas untuk memimpin negara.
Ketujuh syarat ini mutlak ada karena demikianlah tuntutan hukum syara’. Terlebih pada faktanya, pemimpin dalam Islam memiliki tugas yang sangat berat, tak kenal waktu, dan melingkupi wilayah kepemimpinan yang sangat luas, karena wilayahnya tidak mengenal nation-state, kecuali dibatasi dengan wilayah darul kufur. Sehingga dipastikan, hanya orang yang memenuhi 7 syarat in’iqad inilah yang dapat mengemban amanah seorang pemimpin dan dapat mempertanggungjawabkannya di dunia maupun di akhirat kelak.
Dengan demikian, di dalam sistem Islam tidak diperlukan adanya para utusan seperti para buzzer untuk mencari simpatik dan mendompleng popularitas demi mendapatkan dukungan dan perhatian dari masyarakat. Sebab, masyarakat akan selalu terikat pada hukum syara dalam menetukan siapa yang berhak memimpin negaranya. Dikarenakan mereka menyadari betul akan ke-7 syarat in’iqad tadi mutlak adanya untuk dipenuhi.[nb]