Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Member Revowriter
#MuslimahTimes — Beberapa hari terakhir berita tentang petugas penagih tunggakan BPJS beredar di beberapa stasiun televisi Nasional. Petugas yang lebih banyak ibu-ibu itu dengan percaya diri mengatakan siap membantu negara. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan mengerahkan 3.200 orang penagih yang disebut kader JKN. Upaya ini bagian dari kesungguhan BPJS mencari solusi defisit anggarannya.
Kepala Humas BPJS Kesehatan Muhammad Iqbal Anas Ma’ruf mengklaim, per penagih berhasil mengumpulkan tunggakan iuran BPJS Kesehatan sampai Rp 5 juta. “Karena itu harus dibutuhkan skill juga. Kalau mereka bisa bergaul di masyarakat, figurnya mudah diterima. Kadang kita tidak mengira, mereka bisa memberikan sampai Rp 4 juta sampai Rp 5 juta dan itu bisa,” kata dia di Kantor Pusat BPJS, Jakarta, 11 Oktober 2019.
Iqbal mengungkapkan, selain menagih tunggakan iuran dari pintu ke pintu, kader JKN juga memberikan sosialisasi pentingnya menggunakan BPJS Kesehatan dan menjaring nasabah baru. Namun Iqbal memastikan tidak seperti debt collector, tidak ada kekerasan dalam proses penagihan karena semua sudah ada regulasinya.
Proses penagihan tunggakan iuran BPJS Kesehatan ini akan terus berlangsung hingga kesadaran masyarakat dalam membayar benar-benar telah terbangun (TEMPO.CO,11/10/2019).
Sungguh pernyataan “Penagihan tunggakan hingga kesadaran masyarakat benar-benar terbangun” cukup menyakitkan. Karena artinya pemerintah benar-benar menutup mata terhadap sebab mengapa rakyat hingga menunggak pembayaran iuran. Beratnya beban hidup jelas lebih menyita tenaga dan pikiran daripada menghitung berapa tunggakan iuran. Terciptalah hubungan penguasa rakyat bak raja dan budak yang meminta upeti.
Dan memang faktanya, BPJS dipertahankan adalah bukti gagalnya penguasa mengupakan kesehatan yang murah dan berkualitas bagi rakyatnya. Bahkan lebih kesini lebih zalim. Karena bukannya menelaah lebih dalam kesulitan rakyat tersebabkan apa malah menggerakkan penagih.
Jika konsep jaminan kesehatan ini adalah gotong royong mengapa kembali rakyat yang menjadi sapi perah? kemana para penguasa dan pengusaha, karena mereka juga terkatagori rakyat. Mereka mungkin tak menganggap biaya iuran sebagai persoalan karena standar sehat mereka bukan dalam negeri tapi luar negeri. Sehingga mematikan empati di hati.
Hakekat sehat untuk era sekarang lebih rumit, tidak mudah, tidak manusiawi dengan disahkannya kebijakan penagihan via deb colector, sanksi dan lain-lain. Sistem kesehatan di era rezim adalah pemalakan pada rakyat, bukan untuk meri’ayah rakyat, tanggung jawab negara telah diganti kan oleh “asuransi”.
Padahal asuransi adalah salah satu muamalah yang diharamkan. Salah satunya dikarenakan ada lebih dari dua akod dalam satu transaksi. Simpan, pinjam dan denda / sanksi. Selain itu juga fasadnya akad dikarenakan menjamin sesuatu yang tidak jelas, yaitu sakitnya seseorang. Yang seharusnya berupa benda atau jasa. Namun ironi, negeri dengan mayoritas penduduknya muslim ini tak sependapat. Mereka diam saja ketika penguasa menerapkan hukum yang batil dan tidak sesuai syariat.
Mengerahkan penagih tunggakan justru menunjukkan arogansi penguasa dan pejabat BPJS yang tetap bisa hidup enak dengan gaji ratusan juta rupiah. Padahal, amal apapun yang bisa menjadi wasilah diharamkannya sesuatu dihukumi dengan haram juga. Akidah para penagih sedang dipertaruhkan dengan melakukan keharaman. Membantu negara melakukan kezaliman terus menerus.
Sekali lagi negara gagal dalam mengupayakan kesejahteraan rakyatnya. Kezaliman terjadi sebagai ekses tidak sejahterahnya rakyat. Mereka yang memegang harta dan kedudukan tertentu dengan mudah mengakses kesehatan. Sementara rakyat kecil, papa dan bekerja serabutan tak tahu apa yang harus dibayar, urusan makanpun masih tanda tanya.
Akar persoalan sebenarnya adalah karena sistem yang diadopsi penguasa hari ini adalah sistem sekuler demokrasi kapitalis neoliberal. Yang semuanya tak lahir dari syariat Allah yang mulia. Saatnya umat campakkan dan beralih ke sistem Islam yang kepemimpinannya berdimensi riayah dan junnah dan aturannya solutif dan adil.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang imam adalah perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggungjawab atasnya)“ (HR. al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ahmad).
Artinya tidak mengarah pada makna selainnya, melainkan negara itu hadir sebagai junnah atau perisai ketika rakyatnya mengalami kesulitan. Negara hadir sebagaimana seorang ibu yang tak pernah melewatkan sedetikpun waktunya memastikan anak-anaknya sehat lahir batin, dunia akhirat.
Hanya dengan Islam urusan kesehatan rakyat menjadi bagian yang utama bagi negara. Hanya dengan syariatNya kesehatan bukan pertaruhan nyawa dan rusaknya akidah. Maka, solusi yang terbaik hari ini, bukan mengerahkan penagih yang berarti melanggengkan sistem yang rusak dan cenderung mengundang dosa tapi justru menggantinya dengan sistem pengaturan dari Allah SWT saja, yaitu syariat kaffah. Wallahu a’ lam biashowab.