Oleh: Anna Liesa
(Aktifis Dakwah Muslimah)
Muslimahtimes– Lagi, Rezim menunjukan ketidakkonsistennya dalam menerapkan sistem demokrasi. Dilansir dari kompas.com kamis 17 oktober 2019, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Syafruddin, melarang aparatur sipil negara (ASN) mengkiritik pemerintah di ruang publik. Seruan ini kemudian dikritisi sebagai pembatasan kebebasan berekspresi.
Penguasa hari ini semakin menampakkan sikap anti kritiknya meskipun mereka selalu mengelak demi menegakkan hukum. Kritik menjadi salah satu ancaman yang dianggap berbahaya bagi kelangsungan rezim. Belakangan kita tahu, banyak produk undang-undang yang lahir mengarah kepada nuansa anti kritik. Lahirnya UU ITE, Perpu ormas dan yang terbaru tentang RKUHP dalam Pasal 218 dan 219 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden adalah beberapa produk hukum yang sedikit banyak mengekang demokrasi di negeri ini. Semua produk hukum ini pada akhirnya dimanfaatkan penguasa untuk menjerat mereka yang kritis terhadap rezim, bahkan tanpa harus menunggu proses hukum, mereka ditangkap dan dipenjarakan.
Ketika para mahasiswa berkumpul di ibukota menyerukan pendapatnya misalnya mereka mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari aparat padahal hak menyalurkan aspirasi dijamin oleh undang-undang. Bahkan diantara mereka ada yang meregang nyawa akibat kebrutalan aparat. Ketika organisasi yang menyerukan perubahan dengan menawarkan solusi Islam mereka justru mencabut badan hukumnya dengan tuduhan radikal, anti pancasila dan kebinekaan.
Inilah buah dari penerapan sistem demokrasi, disatu sisi demokrasi katanya menjunjung tinggi kebebasan mengeluarkan pendapat namun disisi lain demokrasi justru membuka peluang untuk melahirkan pemimpin anti kritik. Hal ini dikarenakan kekuasaan/kepemimpinan adalah alat untuk memuluskan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Pada akhirnya lahirlah kekuasaan yang anti kritik yang memaksakan kehendaknya demi melanggengkan kekuasaanya itu. Rakyat dipaksa tunduk dan patuh kepada kebijakan-kebijakan mereka. Ketika ada yang mencoba mengkritik atau tidak sepaham dengan mereka, mereka dianggap membahayakan negara.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam, dimana kepemimpinan berdasarkan aqidah Islam. Dalam hal ini penguasa (Khalifah) adalah wakil umat untuk melaksanakan hukum syariat. Rakyat berhak memuhasabah bahkan rakyat bisa saja memberhentikan khalifah selaku kepala negara jika dinilai melanggar hukum syariat.
Didalam politik Islam seorang Khalifah (penguasa) bukanlah orang yang otoriter yang anti terhadap kritik dari rakyatnya sebab seorang Khalifah adalah wakil ummat untuk mengurusi urusan kehidupan manusia & sekaligus penjaga aqidah & syari’ah. Seorang Khalifah juga bukan manusia suci yang terlepas dari kesalahan maupun dosa sebagaimana keyakinan orang-orang Syi’ah terhadap imamnya. Sistem Khilafah adalah sistem pemerintahan yang berasal dari Allah SWT akan tapi yang menjalankannya adalah manusia yang sangat berpotensi melakukan kelalaian, kekhilafan ataupun dosa.
Seharusnya seorang penguasa haruslah siap untuk dikritik atas kepemimpinannya. Berkaca dari kepemimpinan para shahabat mereka adalah rezim yang suka dikritik. Khalifah Abu Bakar selaku pemimpin pertama negara Islam pasca wafatnya Rasulullah menerima amanah Khalifah dengan berat dan penuh ketakutan pada Allah. Dalam pidato pertamanya pasca menerima bai’at, ia berpidato dengan sebuah pidato yang masyhur. Dalam pidato tersebut, bahkan sebelum menasehati rakyatnya, ia terlebih dulu meminta nasihat rakyatnya. Padahal beliau adalah kekasih Rasulullah dan sahabat baiknya yang tentunya ketakwaannya kepada Allah dan pemahamannya terhadap wahyu bisa dikatakan terbaik dibanding rakyatnya.
Khalifah kedua, Umar bin Khattab juga memiliki banyak keutamaan, bahkan ada banyak ayat yang turun karena perkataannya. Namun begitu, ia bahkan menerima kritikan seorang wanita yang disampaikan di depan umum ketika beliau menetapkan batasan mahar bagi kaum wanita. Beliau berkata, “Wanita ini benar dan Umar salah,” setelah mendengarkan argumentasi kuat si Muslimah tadi yang membacakan surat An-nisa’ ayat 20 untuk mengkritik kebijakan Umar.
Dalam sistem politik Islam, terdapat majelis ummah atau majelis syura sebagai tempat merujuk bagi Khalifah untuk meminta masukan atau nasihat mereka dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhâsabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-Hukkâm). Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasul Saw. yang sering meminta pendapat dan bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka.
Hal ini juga diambil dari perlakuan khusus Rasulullah Saw. terhadap orang-orang tertentu di antara para Sahabat Beliau untuk meminta masukan dari mereka. Beliau lebih sering merujuk kepada mereka yang diperlakukan khusus itu dalam mengambil pendapat (dibandingkan dengan merujuk kepada Sahabat-sahabat lainnya). Di antara mereka adalah: Abu Bakar, Umar, Hamzah, Ali, Salman al-Farisi, Hudzaifah dan lainnya.
Muhasabah terhadap penguasa merupakan adalah bagian dari syariah Islam yang agung. Dengan muhasabah, tegaknya Islam dalam negara akan terjaga. Ketika Islam tegak, pasti akan berdampak pada kebaikan sebuah negeri. Seorang pemimpin yang beragama Islam harusnya tak perlu alergi kritik. Terlebih jika sampai membungkam lawan politik dengan ancaman bui. Wallahu a’lam bis shawab.[nb]