Oleh: Shafayasmin Salsabila
(Founder MCQ Sahabat Hijrah Indramayu)
Muslimahtimes– Kehidupan itu dinamis. Awalnya tenaga manusia menjadi poros peradaban, lalu zaman berganti. Era modern, menggeser cara manual kepada mesin industri. Perubahan membawa tekhnologi canggih, sehingga dunia pun kini ada dalam genggaman. Lewat smartphone, informasi dari berbagai belahan bumi bisa sampai hanya dalam hitungan detik. Maka tak salah jika ada yang berkata: “Tiada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri.”
Begitu pula dalam hal bernegara. Perubahan itu niscaya. Mari kita kembali membuka sejarah. 14 abad silam, bangsa Arab lekat dengan kekufuran. Sistem pemerintahan saat itu dipegang oleh pemimpin-pemimpin kabilah, dengan dasar aturan sekuler. Praktik suap dan riba sudah biasa, jahiliyah merasuki setiap sendi kehidupan. Hawa nafsu menjadi satu hal yang dikejar. Berhala dipertuhankan. Sampai diutusnya seorang Rasul akhir zaman, bangsa Arab ber-transformasi menjadi sebuah peradaban agung bebas dari kemerosotan moral.
Kini, sejarah terulang kembali. Ditetaskan oleh kebebasan yang diusung oleh sistem demokrasi, kemaksiatan menjadi-jadi. Darah manusia sedemikian murahnya. Angka kebodohan dan kemiskinan meroket bersama harga sembako. Korupsi menggurita. Anak mudanya lena oleh fantasi maya akibat narkoba. Aset negeri diobral. Rakyat seperti mati di lumbung padi akibat keran impor dibuka lebar. Penindasan dan represifnya penguasa jadi tontonan sehari-hari. Bayangan penjara menghantui rakyat yang berpikir kritis.
Sesak napas, hidup dalam sangkar demokrasi yang sekilas indah namun memenjarakan rasa keadilan. Kekecewaan bertumpuk, rakyat dicurangi, bahkan dibuat mengejar ekor sendiri, dengan isu yang berujung pada kegaduhan antar organisasi masyarakat juga harakah (gerakan-gerakan Islam). Umat seperti dihadap-hadapkan, dibuat saling tuduh dan saling serang. Framing radikalisme menambah adonan perpecahan menjadi kalis. Maka wajar jika umat merindukan angin segar. Sebuah perubahan mendasar yang mampu menjungkirbalikkan kemesuman, kerusakan, kezaliman dan pengkhianatan.
Sudah sunnatullah-nya, yang hak akan mengalahkan kebatilan. Kebenaran akan menang. Allah Ta’ala mengabarkan: “Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (TQS. Al Isra’: 81).
Jika diibaratkan Indonesia tengah sakit parah akibat sengatan sistem batil asal Yunani yakni demokrasi, maka peluang untuk sembuh dan kembali prima itu tentu ada. Penawaran obat mujarab ini datang dari risalah yang dibawa Rasulullah Saw, sistem Islam. Sebagaimana sistem ini pernah merekonstruksi bangsa Arab, sehingga darinya menyebarlah cahaya Islam hingga 2/3 dunia. Maka efek yang sama sudah dapat dipastikan ampuh memulihkan kondisi umat saat ini.
Mengapa takut untuk mencoba sesuatu yang sudah pernah berhasil dan membawa pada kegemilangan? Toh, kalaupun dahulu -tepatnya pada tanggal 24 Maret 1924- cahaya Islam akhirnya terpadamkan, bukan karena kelemahan sistemnya, namun lebih diakibatkan oleh pengkhianat yang menusuk dari belakang. Itupun setelah proses panjang pelemahan sistem selama berabad-abad.
Islam menawarkan bukan hanya konsep tapi berikut metode penerapannya. Maka Islam dikenal sebagai mabda (ideologi). Fatal, saat Islam hanya dipersepsikan sebatas agama. Atau ketika ajaran Islam dijadikan semacam prasmanan, yang suka diambil, selebihnya diabaikan. Sama saja artinya dengan mengamputasi Islam itu sendiri.
Sebagai pandangan hidup bagi manusia, Islam memiliki aturan yang kompleks. Termasuk di dalamnya tata cara bernegara. Pemerintahan Islam mengenal sistem polugri (politik luar negeri) dan poldagri (politik dalam negeri). Ada pula sistem peradilan, keuangan, ekonomi bahkan Islam memiliki struktur negaranya. Meletakkan kedaulatan di tangan syara’ (Allah Ta’ala), kekuasaan di tangan umat.
Hanya ada satu pemimpin untuk seluruh umat, disahkan lewat bai’at. Namun, penguasa menyadari bahwa jabatannya semata untuk menegakkan hak Allah atas manusia, yakni ditaati dan diikuti hukum-hukumNya. Bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, apalagi dalam rangka memperkaya diri.
Semua konsep diatas akan terealisasi dengan metode baku yang telah Rasul sabdakan melalui lisan Beliau yang mulia, yakni Khilafah. Didapati di dalam hadis: “… Kemudian akan kembali Khilafah di atas metode kenabian. Lalu Rasul terdiam.” (HR.Ahmad).
Tidakkah kita meyakini dengan sepenuh hati jika sudah Rasul yang mengabarkannya? Mari menjadi seperti Sultan Muhammad Al Fatih. Sikapnya amat teguh bersama tekad besar untuk dapat membebaskan Konstantinopel. Sebuah kota besar yang diperebutkan dan sulit ditembus pertahanannya. Memiliki benteng alam berupa tiga lautan yang mengelilinginya. Diantaranya: Selat Basphorus, Laut Marmara dan Tanduk Emas yang dijaga dengan besar.
Namun Al Fatih, tak pernah ragu sedikitpun terhadap hadis Rasul bahwa, “Sesungguhnya Konstantinopel itu pasti akan dibuka (dibebaskan). Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya,” (HR Bukhari).
Keyakinan kepada kabar dari Rasul inilah yang membawa Al Fatih kepada kemenangan. Maka setelah delapan abad penantian, terbuktilah hadis tentang pembebasan Konstantinopel ini. Dan bukankah kita adalah generasi penerus al Fatih? Pejuang Islam yang terpercaya.
Pada hakikatnya, risalah Islam diturunkan untuk seluruh manusia. Maka sistem ini akan menaungi seluruh bangsa, baik yang berkulit putih atau hitam, berambut pirang atau hitam. Cahaya kebaikannya tidak hanya akan membawa bangsa Indonesia menuju perubahan penuh berkah tapi juga seluruh penduduk dunia, bahkan hewan dan alam. Kepunaahan serta kerusakan lingkungan tidak akan ditemui lagi.
Maka ingatlah tatkala Allah berfirman: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al A’raf: 96). Juga arti hadirnya risalah Islam, dalam surat al Anbiya ayat 107 Allah Ta’ala berfirman, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Perubahan adalah niscaya. Namun ke mana muaranya, itu yang harus menjadi catatan. Jika ingin arah perubahan menuju keberkahan maka sistem Islam adalah jawabannya. Sistem selainnya hanya akan membawa pada arah sebaliknya, kerusakan dan murka Allah Azza wa Jalla. Mari kita perjuangkan perubahan.
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (TQS. ar Ra’du: 11).
Wallahu a’lam bish-shawab. [nb]