Oleh: Shafayasmin Salsabila*
MuslimahTimes– Cinta pada pandangan pertama. Dari mata turun ke hati. Adakah ini hoax atau memang nyata? Ataukah di dalamnya justru terselip propaganda? Kampanye bahwa cinta bisa datang tiba-tiba, menyasar siapa saja dan jatuh kemana tiada yang dapat menyangka. Ujung-ujungnya takdir dijadikan kambing hitam. Benarkah demikian?
Dalam serambi lain berbahasa jawa, sebuah pepatah berbunyi, “Witing tresno jalaran soko kulino”. Kurang lebih maknanya, cinta tumbuh karena sering bersama. Sepertinya masuk akal, tapi apakah selalu dan akan seperti itu?
Dunia anak muda erat kaitannya dengan persoalan asmara. Tak pernah habis ditoreh menjadi lirik lagu. Jutaan puisi bernapaskan cinta. Sampai dunia film pun, tak lepas menjadikannya sebagai daya pikat, agar laris di pasaran. Oleh karenanya pembahasan tema ini selalu menarik untuk dikupas. Terlebih lagi derivat-nya sudah menggila. Benar-benar tak ada logika. Panah asmara seakan random. Bebas, ke mana pun arahnya. Bahkan sampai kepada sesama jenis, inses atau bahkan binatang, juga benda-benda.
Inilah yang dinamakan cinta di bawah garis. Ketika cinta sudah lari terlampau jauh dari kodratnya. Fitrah lahirnya cinta ternoda, oleh pengaruh aturan hidup saat ini yang amat jauh dari tuntunan wahyu. Diviralkan lewat media sosial, industri perfilman, juga lewat publik figur kelas dunia.
Dahulu ada film berjudul “Romeo And Juliet”, mewakili ajaran cinta pada pandangan pertama. Di susul “Titanic” , sampai kisah roman ala vampir dalam “Twilight”. Terkini film-film bertema serupa tumpah ruah, tak tertinggal bollywood, mengimbangi juga Korean wave (K-wave) pun, membius kawula muda.
Tak cukup itu saja, film dengan muatan cinta sesama jenis pun mulai muncul ke permukaan, seakan menantang para pemuja cinta pada level yang tak biasa. Semakin rajin tayang, semakin masif juga racun pemikiran menyusup mainset remaja. Cinta dianggap terlalu mulia untuk dikendalikan oleh aturan negara bahkan agama. Dikatakan anugerah, sehingga terlalu sadis untuk dicerca. Kaum pelangi pun seakan bangkit dari kegelapan. Menempeli setiap hati labil yang tengah haus akan pencarian jati diri.
Ide kebebasan yang diagungkan oleh demokrasi, menjadi pabrik pencetak kaum pelangi. Definisi cinta kian absurd dan liar. Beberapa selebritas dunia telah lebih dulu mempraktekan kegilaan ini. Pelan tapi pasti, membelokan pemikiran sehingga kesalahan fatal juga tabu ini akan dianggap lumrah dan biasa. Bukankah kesalahan yang terus menerus diulang dan diviralkan lambat laun akan dianggap juga sebagai kebenaran.
Di sinilah pentingnya, penanaman akhlak terpuji serta penjernihan pemikiran dengan mindset Islami. Karena asal dari rasa cinta adalah pemberian dari Allah Ta’ala, maka hanya Allah sajalah yang berhak menentukan hakikat cinta yang sebenarnya. Untuk apa dan kepada siapa cinta diletakkan, juga bagaimana agar dari cinta ini bisa merekah pahala. Inilah yang semestinya dipahami dan diadopsi, yakni cinta di atas garis.
Jika cinta di bawah garis, adalah cinta durjana, penuh dosa, dan merupakan kemaksiatan. Sebaliknya cinta di atas garis, adalah cinta mulia, suci dan fitrah dari Allah, guna melestarikan ras manusia dan menjadi ladang pahala.
Allah, sebagai Sang Pencipta telah membekali manusia dengan beberapa potensi hidup. Diantaranya kebutuhan jasmani dan naluri-naluri. Salah satu dari naluri ini adalah naluri melestarikan jenis. Nampak dari munculnya ketertarikan terhadap lawan jenis, juga kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya. Bayangkan, tanpa adanya naluri ini, tidak mungkin manusia berketurunan. Alhasil, ras manusia akan punah.
Itulah sebabnya, rasa cinta bukan sebuah aib atau satu hal yang salah. Setiap manusia pasti merasakannya. Islam tidak mengekang naluri ini, tapi lebih kepada mengaturnya. Memberikan batasan-batasan demi kebaikan manusia itu sendiri.
Adapun rambu-rambunya, diantaranya: Hijau, saat diberikan kepada pasangan halal, yakni melalui jalan pernikahan. Bukan pada sesama jenis, dan bukan pula lewat aktivitas pacaran.
Kuning, berhati-hati dan waspada, saat kemunculannya belum tepat timing-nya. Misal, belum ada kemampuan untuk menikah, maka Islam mensyariatkan untuk memperbanyak puasa sunnah. Karena puasa dapat membentengi hamba dari syahwatnya. Juga perintah untuk menjaga pandangan dari yang Allah haramkan. Misal memandang bagian tubuh yang terlarang (aurat).
Merah, yakni ketika cinta ini sudah melawan kodratnya. Jatuh pada jenis yang sama, misal lesbi, homo, bisex dsb. Haram pula hukumnya cinta secara nafsu, jika ditujukan kepada adik-kakak, saudara sepersusuan atau mahramnya (kepada ibu atau ayah).
Adapun pencegahan agar cinta di bawah garis ini tidak menguasai dunia, dan menghancurkan generasi muda, diantaranya:
Satu, meningkatkan kadar keimanan dan ketakwaan. Dua, menjaga pergaulan dengan lawan jenis, juga menahan pandangan. Tiga, kontrol sosial, yakni masyarakat tidak permisif pada nilai-nilai liberal dan membudayakan dakwah untuk menghalau ide rusak serta menekan laju praktik cinta di bawah garis, apapun bentuknya. Empat, negara harus hadir untuk memberikan edukasi serta pembinaan kepribadian Islami kepada generasi muda, agar akhlak terpuji menjadi primadona bukan malah asik dicekoki life style ala Barat. Berikut memberikan sanksi tegas bagi para pelaku kemaksiatan dan setiap orang yang berani mencicipi cinta haram.
Tidak akan sulit, jika keempatnya diramu dalam sebuah sistem yang Islami. Di mana, halal haram menjadi pedoman negara dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Sehingga wacana cinta akan bergerak maju menjadi cinta mulia, dengan sepenuh pengorbanan mengabdi untuk kepentingan dakwah Islam. Makna cinta akan meluas dan meninggi. Bukan seputar syahwat jasadi, tapi beralih kepasa fokus lain, yakni bagaimana meraih cinta yang sejati. Cintanya Allah, Rabbul izzati. Hal ini akan menjadi ending bagi cinta di bawah garis. Sekaligus menandai bangkitnya generasi berpikiran cemerlang dan awal peradaban gemilang.
Wallahu a’lam bish-shawab.
*Revowriter Indramayu