Oleh: Yuli Wulandari, S. Pd. I
(Anggota Persit Indonesia,Anggota Komunitas Penulis Peduli Umat)
Â
#MuslimahTimes — Nadiem Makarim pendiri Gojek diumumkan terpilih sebagai Menteri Pendidikan periode 2019-2023 dalam kabinet Indonesia Maju. Sosok yang tidak pernah bergelut dalam dunia pendidikan didaulat Jokowi untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap kerja dan usaha melekat.
“Kita akan membuat terobosan yang signifikan dalam pengembangan SDM, SDM siap kerja, siap berusaha, yang link and matched antara pendidikan dan industri,” ucapnya.(Kumparan, 23 Oktober 2019)
Dalam durasi kurang dari sepekan deklarasi pengumuman terpilihnya pak menteri, kita dikejutkan peristiwa penikaman siswa terhadap gurunya hingga tewas.
Alexander Warupangkey (54), guru SMK Ichtus, Manado, Sulut, ternyata lebih dulu dikeroyok sebelum ditikam hingga tewas oleh muridnya. Pelaku pengeroyokan sudah ditangkap polisi (Detik.news, 26 Oktober 2019).
Sungguh sangat disayangkan kejadian serupa menimpa negeri tercinta. Sebelumnya, kita pernah mendengar guru yang dipukul muridnya hingga pecah otak dan meninggal karena mengingatkan untuk tidak mengganggu temannya saat pembelajaran. Kita juga mendengar kabar guru yang dibui karena mengingatkan sholat sudah waktunya.
Kondisi demikian memang sangat disayangkan dikarenakan generasi muda merupakan harapan melanjutkan kehidupan negara. Bagaimana jika remaja banyak yang mengalami kerusakan? Hal ini disebabkan oleh kegagalan negara dalam menentukan visi pendidikan generasi. Pendidikan saat ini dijadikan sebagai alat penjajahan para kapitalis (pemilik modal). Liberalisasi menjadikan para pemilik modal berhamburan membangun korporasi pabrik. Pendidikan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan staf, karyawan atau pegawai dari pendirian pabrik. Out put pendidikan diarahkan untuk menjalankan usaha yang dimiliki pemilik modal. Rutinitasnya hanya makan enak dan ingin hidup nyaman(hedonis). Maka sungguh salah besar jika pendidikan diarahkan untuk bekerja demi pemuasan syahwat dan perut. Hingga kita mengalami turun derajat sebagai manusia. Lantas apa bedanya manusia dibanding makhluk lainnya yakni hewan yang hanya butuh makanan? Inilah yang disebut degradasi manusia dalam pendidikan.
Selain itu perlu kita cermati program gerakan pendidikan  6 literasi dasar yang harus dikuasai masyarakat untuk menghadapi era industri 4.0 yang disebut sebagai Gerakan Literasi Nasional Kemendikbud yaitu:
- Literasi baca tulis, meliputi kemampuan untuk memahami teks tertulis baik yang tersirat maupun tersurat dan menggunakannya untuk mengembangkan pengetahuan serta potensi diri.
- Literasi Numerasi, mencakup aplikasi konsep dan kaidah matematika dalam situasi nyata.
- Literasi Sains, mencakup kecakapan memahami fenomena alam dan sosial di sekitar kita.
- Literasi finansial, mencakup pengetahuan dan kecakapan mengaplikasikan pemahaman konsep, risiko, keterampilan dan motivasi dalam konteks finansial.
- Literasi Digital, merupakan kecakapan menggunakan media digital dengan beretika dan bertanggung jawab untuk mendapat informasi serta berkomunikasi.
- Literasi Kebudayaan dan kewargaan.
Literasi budaya merupakan kemampuan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa. Sedangkan, literasi kewargaan adalah kemampuan dalam memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Sekilas kebijakan Gerakan Literasi Nasional ini tampak bagus. Namun, jika kita perhatikan dengan detil, ke enam dasar literasi yang digaungkan tersebut mengesampingkan peran keimanan sebagai konsekwensi makhluk ciptaan-Nya yang menghamba dan butuh seperangkat aturan dari Allah SWT sebagai Sang Pencipta dan Maha Pengatur. Dunia pendidikan didorong untuk memisahkan kehidupan dari ajaran mulia agama, sehingga tampak nyata dari gerakan literasi tersebut akan mengantarkan para generasi muda ke arah yang sekuler.
Mari kita lihat kembali sejarah Islam pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid dan putranya Al Ma’mun untuk membandingkan konsep pendididkan saat masa kejayaan Islam dengan kondisi saat ini. Dinasti Abbasiyah ini mendirikan perpustakaan dunia yang luasnya sekitar 10 ha. Dan diberi nama perpustakaan Baitul Hikmah. Pada masa itu sistem pendidikan sangat maju. Karena para pemuda sangat bersemangat dalam menuntut ilmu.
Pada pendidikan dasar ada yang namanya kuthab yang disana diajarkan modal awal pendidikan yakni membaca dan menulis. Kemudian ditingkat selanjutnya ada yang namanya halaqoh yakni murid duduk mengelilingi gurunya dan berdiskusi untuk mengkaji berbagai ilmu pengetahuan.
Mereka sangat takut jika tertinggal dari yang lain dalam belajar, para mahasiswa belajar siang dan malam, sehingga walaupun malam hari kota itu sangat ramai, ramai karena dipenuhi pelajar yang haus akan ilmu pengetahuan. Dan karena inilah Baghdad kemudian dijuluki negeri 1001 malam.
Pendidikan seharusnya diarahkan bukan sekadar pemenuhan dunia yang fana namun juga memprioritaskan kehidupan akhirat kelak yang kekal adanya. Allah memberikan segala hal khusus yang diberikan kepada manusia. Sudah selayaknya kita mengambil “spare part” yang diikutsertakan saat penciptaan manusia. Pengajaran di sekolah formal hendaknya diarahkan kepada tiga tujuan utama yaitu :
- Pembentukan syakhsiyah Islamiyah (kepribadian Islam) dengan landasan penguatan akidah dan ibadah. Pengenalan Alquran dan prinsip-prinsip dasar serta membiasakan sholat dan ibadah lainnya sejak dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
- Penguasaan tsaqofah Islam sesuai proporsi yang telah ditetapkan pada setiap jenjang pendidikan. Tsaqofah Islam merupakan ilmu-ilmu yang dikembangkan berdasar aqidah Islam yang sekaligus menjadi sumber peradaban Islam.
- Penguasaan ilmu kehidupan berupa ilmu pengetahuan, perkembangan teknologi dan keahlian. Materinya bersifat penunjang dan bersifat terapan guna mempersiapkan generasi yang mandiri.
Dengan demikian, Pendidikan Islam dapat membentuk kepribadian seseorang, diakui sebagai kekuatan yang dapat menentukan prestasi dan produktifitas seseorang dengan mengedepankan adab sebelum ilmu berlandaskan keimanan.