Oleh Alfiana Rahardjo, S.P
#MuslimahTimes — Indonesia merupakan negara yang diberkahi Allah dengan hutan yang sangat luas. Hutan Indonesia menduduki urutan ketiga terluas di dunia. Namun kondisi hutan Indonesia kini memprihatinkan. Hampir setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia yang dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat.
Berdasarkan data Sipongi Kebakaran Hutan dan Lahan, sepanjang Januari-15 September 2019 telah terjadi kebakaran seluas 328 ribu ha di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut mencapai 64% dari luas karhutla sepanjang tahun lalu. Adapun karhutla pada tahun ini terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 108 ribu ha, kemudian Riau seluas 49 ribu ha, dan Kalimantan Tengah 45 ribu ha (katadata. co.id, 16/09/2019).
Tak hanya terjadi NTT, Riau, dan Kalimantan Tengah, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) juga terjadi di Jawa Timur. Tepatnya di Gunung Arjuna. Ratusan personel gabungan terdiri dari unsur kepolisian, TNI, AD, BPBD dan Tahura, dan relawan diterjunkan untuk mengantisipasi karhutla Gunung Arjuno meluas ke wilayah Kabupaten Malang. Hasil pengamatan malam kemarin, ada dua titik api, yang hari ini diupayakan agar tidak meluas,” kata Kapolres Malang AKBP Yade Setiawan, ( detik.com,13/10/2019).
Selain itu karhutla juga terjadi di lahan gunung Ringgit, Prigen, Kabupaten Pasuruan. 90 persen lahan Gunung Ringgit sudah habis terbakar. Lahan yang tersisa harus diselamatkan agar tak merembet ke lahan perkebunan warga.
“Kebakaran di Gunung Ringgit tahun ini yang terbesar sejak 2009,” terang Ketua LMDH Desa Jatiarjo, Hidayat, (m.detik.com, 13/10/2019).
Bumi tengah menderita karena kerusakan lingkungan akibat karhutla hingga kini belum usai. Berbagai pemerintah untuk menghentikannya. Seperti Water Booming (hujan buatan/siraman air dari heli) namun tak akan banyak berpengaruh.
Penyebab terjadinya karhutla adalah pembakaran hutan dilakukan pertama untuk pembukaan lahan pertanian maupun perkebunan seperti perkebunan kelapa sawit . Kedua penguasaan lahan. Para perambah membakar hutan untuk mempertahankan dan memperluas penguasaan lahan. Akar permasalahan ‘Karhutla’ adalah adanya liberalisasi sumber daya alam. Pengelolaan sumber daya alam diserahkan kepada individu atau swasta. Sebaliknya, peran negara sangat minim.
Terjadinya karhutla berulang kali menjadi bukti bahwa rezim dengan program neolibnya gagal mengatasi kebakaran hutan dan lahan gambut. Pasalnya pemerintah telah memberikan hak konsesi kepada sejumlah perusahaan kelapa sawit. Seperti tahun-tahun sebelumnya dan pada tahun ini pun titik-titik api ditemukan di wilayah konsesi. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sampai pertengahan Oktober 2019, areal terbakar pada wilayah konsesi secara keseluruhan 27.192,271 hektar (mongabay.co.id, 27/10/2019).
Inilah yang terjadi akibat sistem ekonomi yang diterapkan di negeri ini adalah sistem kapitalisme. Sistem yang diterapkan dengan segala cara untuk meraih keuntungan tanpa memperhatikan dampak yang bisa membahayakan. Dengan alasan demi kepentingan ekonomi, jutaan hektar hutan dan lahan diberikan konsesinya kepada pihak swasta. Akibatnya pihak swasta akan mencari cara yang murah dan menguntungkan dalam mengolah lahan yaitu pembakaran hutan untuk mengawali pembukaan lahan guna mengembangkan usahanya. Mereka tidak memikirkan apakah tindakan tersebut bisa merusak ekosistem hutan dan membahayakan masyarakat sekitar. Itulah yang menjadi akar permasalahan selama ini. Maka bila masih berada paradigma kapitalis mustahil persoalan karhutla akan terselesaikan.
Adapun tindakan yang dilakukan rezim neoliberal yaitu pemberian hak konsesi dan diadopsinya agenda hegemoni Climate Change berkontribusi menjadi biang terjadinya karhutla selama ini. Kedua tindakan ini mencerminkan bahwa rezim menjadi pelayan korporasi dan kepentingan penjajah. Buah pahit yang didapat akibat dari rezim yang menjadi pelaksana sistem kehidupan sekuler khususnya sistem ekonomi kapitalisme.
Berbeda dengan sistem Islam. Di dalam sistem Islam, hutan dan lahan gambut merupakan sumber daya alam tidaklah bebas dimiliki indvidu maupun swasta karena hutan dan lahan gambut memiliki fungsi ekologi penting bagi orang banyak sehingga dikategorikan sebagai harta milik umum. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda yang artinya, “Manusia itu berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Pengelolaan dan pemeliharaan hutan juga harus menjadi perhatian pemerintah. Pengelolaan hutan sebagai milik umum harus dilakukan pemerintah untuk kemashalatan dan kesejahteraan rakyat dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat secara seimbang. Dalam hal ini pemerintah juga perlu memberikan edukasi dan membangun kesadaran kepada masyarakat guna berpartisipasi dalam kelestarian hutan sehingga manfaatnya terus bisa dirasakan generasi selanjutnya.
Adapun secara teknis, pengelolaan hutan dalam sistem Islam adalah pemerintah harus menetapkan langkah-langkah kebijakan yang mendukung tata kelola hutan Indonesia dengan benar. Pengelolaan dan pemanfaatan hutan memerlukan biaya yang tidak sedikit dan dibutuhkan teknologi, studi, dan keahlian yang sulit bila disandarkan kepada individu maupun swasta. Sebab bila diserahkan individu maupun swasta akan berujung pada kesulitan. Pemerintah tidak boleh memberi izin pengelolaan hutan kepada individu maupun swasta.
Negara berperan sebagai raa’in dan junnah. Sebagai raa’in (pemeliharaan urusan rakyat adalah bertanggung jawab penuh dalam hal pengelolaan hutan dan lahan gambut sesuai fungsinya sehingga hak individu maupun publik terjamin dalam memperoleh manfaatnya. Sebagai junnah(pelindung), pemerintah berfungsi sebagai pelindung hutan dan lahan gambut yang merupakan sumber daya alam tidak boleh dimiliki indvidu atau swasta dari agenda hegemoni climate change yang menyumbangkan dampak negatif terbesar. Penerapan sistem Islam inilah kunci penyelesaian persoalan karhutla yang selama ini belum terselesaikan. Tentu saja melibatkan peran pemerintah sebagai raa’in dan junnah dalam menerapkan sistem Islam.
Wallahu A’lam bi showab.