Oleh: Gusti Nurhizaziah*
#MuslimahTimes — Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) sepanjang tahun 2019 ini memberikan kerugian yang luar biasa. Untuk wilayah Tabalong (Kalimatan Selatan) saja tercatat 120 miliyar lebih kerugian materi yang di dapat. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Tabalong mencatat dalam rentan waktu empat bulan sejak bulan juli lalu total sudah 267, 37 hektar luas hutan dan lahan yang mengalami kebakaran.
Sementara data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat luas karhutla dari Januari hingga September 2019 sebesar 857.756 ha dengan rincian lahan mineral 630.451 ha dan gambut 227.304 ha. Lahan tersebut tersebar di enam provinsi berbeda.Luas lahan yang terbakar tahun ini juga lebih besar dibanding 3 tahun sebelumnya. Luas karhutla pada 2018 sebesar 510 ribu ha, sedangkan pada 2016 sebesar 438 ribu ha.
Selain kerugian materi kebakaran hutan juga menyebabkan berbagai kerugian lainnya yakni gangguan kesehatan, rusaknya ruang ekosistem, musnahnya flora dan fauna serta berkurangnya air bersih.
Saat jumpa pers di Kantor Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Senin (23/9), pelaksana tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Agus Wibowo menjelaskan hingga 23 September 2019, jumlah penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) akibat kebakaran hutan dan lahan sebanyak 919.516 orang di enam provinsi, yaitu Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan juga berdampak serius pada ekosistem beserta keanekaragaman hayati. Kerusakan paling nyata terjadi di enam provinsi yang paling banyak terbakar.
Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI) mencatat, di Pulau Sumatera ada 8.931 jenis flora dan Kalimantan memiliki 9.956 jenis flora. Banyaknya jenis tumbuhan dan hewan di Sumatera dan Kalimantan disebabkan ekosistem dua pulau ini sangat beragam, merentang dari ekosistem laut, air tawar, pantai, dan daratan.Daratan Sumatera dan Kalimantan sendiri terdiri dari berbagai jenis hutan seperti gambut, kerangas, karst, endapan, rawa dan lainnya yang mempunyai ciri khas tersendiri.
Sedangkan data dari LIPI yang mencatat kebakaran hutan di Kalimantan pada 1998 yang hasilnya adalah 90 % jumlah pohon per hektar atau mencapai 240 pohon mati akibat kebakaran. Jika mengacuh kebakaran 1998 dan 2015, bisa saja kebakaran tahun ini berpotensi menyebabkan 95 % jenis tumbuhan terbakar dan mengalami kekeringan.
Karhutla juga mengganggu sejumlah aktivitas penerbangan. Menurut data Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, jumlah penumpang angkutan udara yang diberangkatkan pada Agustus 2019 sebanyak 6,7 juta atau turun 5,9 persen dibanding bulan sebelumnya. Penurunan tersebut salah satunya disebabkan oleh kebakaran lahan dan hutan di beberapa daerah.
Kebakaran hutan bisa terjadi karena faktor alam dan fakor manusia. Namun peristiwa kebakaran hutan yang terjadi berulang kali di negeri ini sangat jelas disebabkan ulah manusia. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahwa penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia 99 % adalah ulah manusia dan 1 % akibat alam.
Musim kemarau memang kerap dimanfatkan untuk membuka ladang baru. Sayangnya cara yang ditempuh justru merugikan banyak pihak, yakni dengan membakar hutan. Tak kalah menyesakkan, disebuah media diberitakan bahwa tiga pelaku pembakar hutan di Riau mengaku dibayar oleh pengusaha.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyegel 64 perusahaan yang terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di kawasan Sumatra dan Kalimantan. Di mana 20 di antaranya merupakan perusahaan asal Malaysia dan Singapura. Ini membuktikan bahwa penyebab utama kebakaran hutan di negeri ini adalah para kapitalis yang hanya ingin meraup untung besar dengan modal kecil dan merugikan banyak pihak.
Ulah para pengusaha ini makin menjadi ketika hukum yang diterapkan dinegeri ini lemah dan tidak memberikan efek jera. Sejak 2015 sampai 2018, pemerintah menyatakan telah menyeret sembilan perusahaan. Tetapi ganti rugi yang diperoleh hanya 1 persen dari tuntutan. Menurut organisasi lingkungan Green Peace hal ini disebabkan sikap pemerintah yang terlalu lembek.
Dalam hal ini penguasa jelas telah gagal menyelesaikan problem karhutla, hingga kasusnya terus berulang bahkan makin bertambah parah. Dan rakyatlah yang terus menjadi korbannya.
Menyelesaikan problem karhutla, memang bukan sesuatu yang mudah. Karena problem ini bukan sekadar soal teknis, tapi menyangkut soal paradigma. Juga bukan sekadar persoalan satu dua orang, tapi soal kekuasaan atau dominasi korporasi atas hutan lahan di Indonesia.
Dengan kata lain, problem karhutla adalah problem yang sistemis. Mulai soal landasan kebijakan, hingga soal teknis pengelolaan. Yakni soal bagaimana cara pandang penguasa terhadap pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia serta bagaimana implementasinya.
Dalam sistem kapitalis neoliberal yang diterapkan di negeri ini, hutan dan lahan dipandang sebagai milik negara atau dikuasai oleh negara. Lalu karenanya, negara dianggap berwenang menyerahkan kepemilikannya kepada pihak swasta alias korporasi dengan akad-akad yang diistilahkan dengan pemberian konsesi.
Dengan akad ini, pihak penerima konsesi, diberi kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan hutan dan lahan yang dianggap milik negara ini, sesuai target bisnis yang ditetapkannya dan berdasarkan credo kapitalisme yang dianutnya. Yakni, meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya.
Urusan dampak, jelas tak terlalu menjadi perhatian para pengusaha. Bukankah selama ini, semua aturan bisa dengan aman mereka mainkan? Dan tak ada satu aturan hukum pun yang benar-benar bisa serius menjerat mereka.
Fakta inilah yang menunjukkan dengan jelas, betapa posisi penguasa atau negara sangat lemah di hadapan korporasi.
Dan kondisi ini merupakan hal niscaya dalam sistem sekuler demokrasi kapitalis neolib yang kadung menempatkan modal alias kapital sebagai penentu kebijakan dan pusat orientasi. Bahkan membuka celah perselingkuhan di antara penguasa dengan korporasi.
Maka, persoalan karhutla dipastikan akan terus berulang sepanjang negara tak mau keluar dari kungkungan sistem kapitalisme yang membuatnya lalai dan menempatkannya sebagai objek penjajahan.
Bahkan, karhutla akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi penduduk bumi akibat hilangnya paru-paru dunia sebagai sumber udara gratis yang Allah swt berikan.
Terkecuali jika mereka mau mencampakkannya dan beralih kepada sistem kepemimpinan yang berlandaskan asas keimanan kepada Sang Pencipta Kehidupan. Yang aturan-aturannya menjamin harmoni dan membawa kebaikan.
Itulah sistem kepemimpinan Islam yang diwariskan oleh baginda Rasulullah saw dan dijaga oleh generasi ke generasi kaum yang beriman. Yang di masa itu, kerahmatan dan keberkahan meliputi seluruh alam dan kemuliaan pun hanya ada pada Islam dan umat Islam.
Benarlah apa yang Allah swt firmankan,
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS Ar-Ruum: 14)
Dan Allah Swt juga meneggaskan,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al-A’raf : 96)
Hutan hakikatnya adalah milik Allah swt yang diamanahkan pada manusia untuk memelihara dan mengelolanya dengan sebaik-baiknya. Islam yang diturunkan oleh Allah swt bukan hanya sekedar untuk mengatur masalah ibadah, tapi juga untuk menyelesaikan permasalahan manusia juga mengatur bagaimana pengelolaan hutan.
Dalam Islam mengatur hutan terkategori kepemilikan umum bukan milik individu atau negara. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw “Kaum muslim berserikat (sama-sama memiliki hak) dalam tiga hal: air, padang rumput (hutan), dan api.” (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Jadi syariah memandang pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara, bukan diserahkan pada pihak lain, baik swasta atau asing. Dan hasilnya wajib dikembalikan pada rakyat, bisa dalam bentuk layanan publik seperti kesehatan, pendidikan dll. Negara juga akan memberikan sanksi (ta’zir) tegas terhadap pihak yang merusak hutan. Selain itu penguasa juga wajib memperhatikan pengelolaan alam agar terhindar dari dampak kerusakan ekosistem, apalagi sampai membahayakan manusia seperti yang terjadi saat ini.