Oleh : Hana Annisa Afriliani,S.S
(Penulis Buku “Percikan Hikmah di jalan Hijrah”)
Muslimahtimes– Handzalah dialah seseorang yang namanya terkenang dalam sejarah Islam. Dia meninggalkan ranjang pengantinnya dengan segera ketika seruan jihad memanggilnya. Bahkan ia tak sempat mandi junub. Hadzalah syahid di medan perang Uhud, namanya harum melintasi putaran masa. Ia wafat dalam keadaan mulia, dia rela meninggalkan kebahagiaan di malam pengantinnya demi menjawab panggilan Rasulullah Saw. Ia pun dimandikan oleh malaikat, ruhnya diangkat ke surga. Dialah syuhada perang Uhud.
Sungguh pada sosok Hanzalah, terpotret ketaatan sempurna seorang hamba kepada Penciptanya. Taat tanpa merasa berat. Begitulah semestinya seorang hamba mengabdi kepada penciptanya. Sejatinya itulah wujud cinta hakiki kepada Allah Swt, Rasulullah saw dan Islam. Bukan semata lip service, mengaku bahwa kita adalah Muslim, namun jauh dari implementasi.
Bukankah Allah telah mengingatkan tentang sebuah keimanan yang hakiki yang implementasinya adalah taat?
Allah swt berfirman:
“Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (Qs. At Taghabun: 12).
Menilik kehidupan hari ini yang jauh dari aturan Islam, kita patut miris. Betapa tidak, Islam kini hanya ada di hati para pemeluknya dan hanya ‘boleh’ dipakai di ruang privat individu saja. Adapun dalam pengaturan kehidupan publik, seperti bermasyarakat dan bernegara, aturan Islam dijauhkan sejauh-jauhnya. Apatah lagi bicara penerapan Islam secara totalitas dalam bingkai negara Khilafah, otomatis dilabeli radikal. Wajib dibabat. Ini jelas sebuah ironi yang menyedihkan.
Betapa tidak, Allah menurunkan Islam kepada seluruh umat manusia sebagai rahmat sekaligus penyelamat. Aturan yang tercakup di dalamnya bersifat komperhensif dan mampu menjadi pemecah segala persoalan manusia. Maka, kita wajib menjadikan Islam sebagai satu-satunya sistem kehidupan, agar selamat dunia dan akhirat.
Adapun Khilafah adalah ajaran Islam. Tak patut bagi seorang Muslim menolaknya, apalagi mewaspadainya sebagai sebuah ancaman. Jejak sejarah merekam bahwa penerapan Khilafah pernah ada selama lebih dari 1300 tahun menaungi 2/3 belahan dunia, sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga para khalifah di masa Bani Ustmaniyah.
Lihat saja, betapa hari ini aneka kesempitan hidup menyergap umat adalah karena ketaatan dirasa berat. Agama dijauhkan dari kehidupan. Sekularisasi digencarkan di segala bidang. Akhirnya muncul pola hidup liberal nan hedonis dan permisif. Agama dianggap sebagai penghalang kemajuan. Seolah-olah disuarakan “mau sukses? Tak perlu taat”
Akhirnya banyak orang yang dengan ringan berpaling dari ajaran agamanya sendiri. Memilih berislam moderat ala barat, ketimbang dilabeli radikal jika terlalu taat pada Rabbnya. Sungguh memprihatinkan!
Padahal bagi seorang Muslim, semestinya rida Allah adalah satu-satunya yang wajib dikejar. Kemilau dunia tak akan memalingkan wajahnya dari ketaatan. Sebagaimana Handzalah yang bergegas menjawab panggilan jihad, meski kesenangan dunia tengah ia reguk. Handzalah memahami dengan pasti, bahwa kesenangan di dunia hanyalah sesaat, adapun akhirat adalah tempat kesenangan abadi bermuara. Maka, ia memilih keabadian untuk sebuah kesenangan yang kelak tak akan pernah berakhir. Lantas, bagaimana dengan kita?
Allah swt berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (Qs. Al Ahzab: 36). [nb]