Oleh: Shafayasmin Salsabila*
MuslimahTimes– Miris sekaligus mengerikan, kasus seputar perzinahan tak pernah sepi. Kali ini datang dari tanah Bali, tepatnya Kabupaten Buleleng. Menjadi gempar, disebabkan pelakunya adalah seorang guru wanita dan dilakukan kepada murid perempuan, bertiga bersama pacarnya. Hal ini pun sontak membuat kaget Komisi Pendidikan DPR. Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian langsung meminta Mendikbud Nadiem Makarim untuk mengkaji proses rekrutmen guru selama ini. (detiknews.com, 8/11/2019).
Penyimpangan seks yang dinamakan threesome ini, mencoreng moreng dunia pendidikan. Tenaga pendidik malah menjadi mesin perusak masa depan. Saat ditelusuri penyebabnya, konten pornografi menjadi pemicu. Ketidakdisiplinan panca indra terhadap koridor adab dan agama. Meski semua bermula dari buyarnya batasan sosial. Terutama terkait aturan dalam berinteraksi antara lawan jenis. Tidak mungkin tersaji video syur jika semua sepakat pada satu nilai. Bahwa aktivitas seksual hanya dalam ranah privat dalam bingkai pernikahan. Bukan selainnya, apalagi untuk didokumentasikan, dijadikan konsumsi publik, bahkan dikomersilkan.
Ibarat tsunami, syahwat menghebat sampai menenggelamkan idealisme oknum pendidik. Jangan ditanyakan terkait kompetensi, dedikasi ataupun kemana perginya nurani karena akal sudah lebih dahulu dibius angan-angan akan kenikmatan serta fantasi sesaat demi bersenang-senang. Hidup sudah kehilangan makna kebermanfaatan, berganti pada pikiran pendek, bila perlu mengajak orang lain untuk hancur bersama.
Inilah buah busuk dari liberalisasi yang dibawa oleh demokrasi. Kebebasan menemukan habitatnya. Terutama kebebasan bertingkah laku. Hak asasi manusia dijadikan tameng, membenarkan perilaku apapun selagi nikmat. Beruntung jika tidak ketahuan, kalaupun bangkai tercium busuknya, masih ada jurus jitu lainnya. Sudah menjadi rahasia umum, di negeri ini hukum bisa dinegosiasikan, selagi ada uang, semua jalan mampu disulap menjadi licin, mulus, bebas hambatan. Prof. Mahfud MD saat ceramah umum di Kampus La Tansa Mashiro Rangkasbitung, Lebak, Banten, empat tahun silam pernah mengatakan, “Hukum kita masih banyak permainan dan bisa perjualbelikan oleh orang-orang yang punya uang.” Meskipun pernyataan ini lebih ditujukan kepada para koruptor yang tidak ada habis-habisnya. (REPUBLIKA.CO.ID, 18/11/2015).
Kasus penyimpangan seks tentu terjadi bukan hanya di Bali, daerah manapun berpeluang terperosok pada lubang yang sama, selama landasan dari sistem aturannya tak jauh beda, yakni aturan sekuler. Prodak akal yang lemah dan terbatas akan impoten dari cita besarnya meluhurkan moral manusia. Mesum masih akan menyelimuti alam pemikiran. Sehat mental makin jarang. Jika demikian masihkan umat berpangku tangan atau malah berlepas tangan dari keseriusan melakukan perubahan.
Warga Bali dan kita semua tentunya, membutuhkan sistem alternatif yang mampu membangun asa, mengembalikan manusia termasuk para tenaga pendidik kepada kodrat dan fokus utamanya. Dialah sistem Islam. Jalan hidup bagi manusia, menunjuki ke arah cahaya. Mencegahnya menjadi budak syahwat dan hamba dunia. Membersihkan pemikiran dari fantasi, mengasahnya agar menjadi produktif, menghasilkan banyak karya.
Islam sebagai ideologi (pandangan hidup), merangkul seluruh manusia bukan hanya yang sudah beriman. Landasan dalilnya terang benderang dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 21. “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” Karena hakikatnya pencipta manusia adalah Allah Ta’ala. Maka Allah memiliki hak untuk diibadahi, yakni untuk ditaati seluruh aturan-Nya. Bukan berarti memaksa setiap orang untuk beragam Islam, tapi memerdekakan manusia dengan sistem Islam.
Sistem Islam merupakan sistem hidup yang unik. Berbeda dengan sistem sekuler yang menegasikan peran Allah sebagai Sang Pencipta sekaligus Pengatur kehidupan, sistem Islam tegak tanpa adanya dikotomi antara perkara dunia dan akhirat. Keduanya berjalan berdampingan, bersamaan, saling menguatkan bukan saling melemahkan. Barang siapa bervisi akhirat, maka keseriusan akan tampak pada setiap segmentasi hidupnya. Konsep mazjul maddati birruh menjadi rumus. Dimana setiap Muslim membangun aktivitasnya dengan penuh kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Jangankan penyimpangan seks, melirik lawan jenis yang ditaksir pun berpikir dua kali. Sebab melirik adalah bagian dari aktivitas yang tak bisa lepas dari hukum syara’, malu jika mata berkhianat. Karena fungsi mata bagi seorang Muslim bukan sebatas melihat, tapi lebih spesifik, yakni melihat apa-apa yang diperbolehkan oleh Allah Ta’ala.
Kasus oknum guru di Bali pun, tidak akan sampai muncul ke permukaan, jika sedari awal tenaga pendidik sudah dipahamkan terkait posisi dirinya. Guru, bukan hanya sekadar mentrasfer ilmu pengetahuan, tapi juga menjadi figur teladan bagi murid-muridnya. Menanamkan adab serta karakter yang kuat. Menuntun para murid untuk mencetak karya demi kemaslahatan manusia, dan mengabdikan diri sebagai hamba. Islam pun mewajibkan bagi pemimpin untuk melakukan penjagaan akal. Salah satunya, menghapuskan konten-konten yang mampu memancing syahwat dan merusak akal sehat. Dengan demikian seluruh elemen masyarakat akan terbebas dari kebrutalan hasrat. Jika ada yang masih nekat, sistem sanksi dalam Islam akan dengan tegas tanpa bisa ditawar-tawar, menghukum para pezina, dengan hukuman yang akan memberikan rasa jera sekaligus menjadi penghapus dosa. Dan ini semua hanya akan terwujud saat sistem Islam diberlakukan oleh negara.
Jangan lupakan peringatan Allah, dalam satu hadis: “Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri.” (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).”
Wallahu a’lam bish-shawab.
*Revowriter Indramayu