Oleh : Nur Widaryanti
(Pemerhati Sosial Politik)
#MuslimahTimes –– “Kalau anda mengimpor gelas dan mengimpor meja, maka anda membayar jam kerja orang sana. Bayarlah jam kerja rakyat agar semua bisa mandiri.”
(B. J. Habibie, Merdeka.com)
Sebuah nasihat yang dalam, penuh dengan pesan bijak. Pesan ini diperuntukkan para pemegang kebijakan. Agar mereka berhati-hati dalam mengambil keputusan. Jangan sampai kebijakan impor justru membuat rakyat tekor.
Sayangnya, nasihat Bapak B. J. Habibie itu sekarang tak berlaku. Pasalnya, negeri ini disulitkan dengan berbagai impor. Hal ini mengakibatkan neraca perdagangan Indonesia menjadi anjlok. Sampai-sampai Presiden Joko Widodo merasa malu dengan kondisi impor yang ugal-ugalan.
Sebagaimana dilansir oleh detik.com (8/11), salah satu impor yang mendapat sorotan adalah impor cangkul. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diterima detikcom, Jumat (8/11/2019), impor pacul sepanjang Januari-September 2019 senilai US$ 101,69 ribu dengan total berat 268,2 ton.
Padahal, Indonesia sendiri merupakan negara yang memiliki kekayaan logam berlimpah. Kebutuhan akan bahan cangkul dipastikan terpenuhi jika masalah ini terurus dengan benar. Kasus impor cangkul ini dimulai Juni 2016. Saat Perusahaan Perdagangan Indonesi (PPI) mengimpor cangkul dari China sebanyak 86.190 unit.
Enam bulan kemudian (Jan/17) Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, Sukandar, mengatakan, pihaknya dapat memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri kecil menengah (IKM) yang akan memproduksi alat perkakas pertanian non-mekanik. Perkakas yang dimaksud adalah cangkul, skop, mata garu dll (Kompas.com, 5/1/17).
Pada saat yang sama Kementrian Perindustrian (Kemenparin) menyampaikan hanya butuh waktu tujuh menit untuk memenuhi bahan baku 20.000 cangkul. Sementara itu, Direktur Utama PT. Boma Bisma Indra (Persero) Rahman Sadikin mengaku mampu memproduksi 250.000 cangkul per bulan. Dengan demikian negara diharapkan tak perlu impor lagi.
Impian hanya sebatas angan-angan. Cita-cita bebas dari impor tak kunjung sampai di tangan. Dua tahun berlalu, impor cangkul masih menjadi masalah dapur para suhu (ahli). Lebih parah lagi, kasus impor tak hanya melanda bidang pertanian. Bidang pangan, fasion, elektronik, infrastruktur bahkan mainan anak semuanya dibanjiri barang luar (Cina).
Sebagai contoh, adanya dugaan aksi banting harga (predatory pricing) oleh perusahaan semen asal Tiongkok. Praktek curang yang dilakukan pabrik semen China telah membuat Holcim tumbang dan memutuskan keluar dari Indonesia. Jika praktik jual rugi ini berlanjut akan membuat perusahaan semen dalam negeri bangkrut. Hal tersebut disampaikan oleh Andre Rosiade (DPR RI terpilih 19/24) (Katadata.co, 30/8/19).
Tidak sampai di situ, produk-produk baja impor masih mendominasi pasar Indonesia. Pada tahun lalu, baja impor menguasai separuh lebih pangsa pasar baja, yaitu 50,3%. Demikian disampaikan oleh Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) Silmy Karim (4/9). Ia mengatakan porsi impor produk baja paduan semakin meningkat setiap tahunnya akibat adanya praktik circumvention (pengalihan pos tarif). (cnbcindonesia.com, 4/9/19)
Ketika Neraca Perdagangan Defisit
Menurut Sofyan Djalil (Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian) neraca perdagangan Indonesia akan turun drastis jika kesepakatan investasi didapat. Karena bahan-bahan infrastruktur dari luar negeri akan membanjiri pasar dalam negeri (Liputan6.com, 15/6/15).
Ironi, di satu sisi negara ingin meningkatkan layanan infrastrukutur dengan mengundang para investor. Namun, di sisi lain kedatangan mereka justru mempora-porandakan kondisi rumah tangga negara. Walhasil neraca pergadangan yang sempat surplus, kini justru defisit.
Hal ini pasti akan terjadi, karena para investor akan lebih memilih bahan bangunan dari negerinya daripada dari negeri orang. Mereka akan memilih memberikan bayaran bagi rakyatnya. Karena hal ini dapat meningkatkan taraf hidup bangsa sendiri. Bahkan, para investor juga mengimpor tenaga kerja asing dari kalangan mereka sendiri. (cnbnindonesia.com, 10/9/19)
Hasilnya, produksi bahan baku bangunan di dalam negeri kalah bersaing dengan bahan impor. Bahkan tenaga kerja dalam negeri pun kalah saingan dengan tenaga kerja asing. Lantas, siapa yang menikmati ini?
1001 Upaya Mengurangi Impor
Komitmen “stop impor” memang menjadi andalan bagi pemerintah saat ini. Bahkan dalam pidato Jokowi saat menghadiri puncak peringatan Hari Ulang Tahun ke-8 Partai Nasional Demokrat di JIExpo Convention Centre and Theatre, Jakarta, Senin (11/11/2019), menyatakan akan “menggigit” orang-orang berani menghalangi program stop impor ini (cnbnindonesia.com, 11/11/19)
Berbagai cara, ganti tahun ganti menteri dengan berbagai perturan tak mampu menyelesaikan masalah impor. Meskipun Bapak Presiden akan langsung “menggigit” mereka yang berusaha menghalangi impor. Pertanyaannya, beranikah melakukan itu?
Sebagaimana khalayak mengetahui, kondisi negeri ini tak lepas dari para cukong-cukong. Mereka adalah korporator besar, memiliki pengaruh besar pula. Tanpa disadari negeri ini sudah dikuasai para korporator. Mereka mampu mempengaruhi kebijakan dengan iming-iming segebok dolar.
Oleh karena itu, masalah impor ini tidak akan mungkin terselesaikan jika para korporator masih melenggang di percaturan kebijakan. Apalagi jika lingkungan kapitalis neoliberalis masih ada, para kapital akan terus menang dan memangsa. Jurang kesenjangan sosial akan semakin menganga.
Imperialisme Gaya Baru
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, imperialisme dimaknai sebagai sistem politik yang bertujuan menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yang lebih besar.
Sebelumnya, kekuasaan negara adidaya diraih dengan penjajahan fisik. Mereka menundukkan negara jajahan dengan moncong senjata. Namun, berbeda dengan saat ini. Negara-negara adidaya menjajah dengan gaya baru. Mereka menguasai SDA, SDM, pasar internasional, hingga kebijakan negara. Inilah bentuk imperialisme gaya baru. Yang dilakukan oleh neoliberalisme dan neokapitalisme.
Bangsa ini tanpa kita sadari telah terjerumus dalam jebakan penjajahan gaya baru. Dengan sistem pasar bebas, kerja sama bisnis berkedok investasi, pengeloaan SDA yang diserahkan ke asing membuat negeri ini dalam cengkraman para kapital. Alhasil, target bebas impor akan sulit tercapai jika pasar kita masih dikuasai oleh mereka. Wallahu a’lam bishowab.