Oleh.Hana Annisa Afriliani,S.S
(Penulis Buku dan Aktivis Dakwah)
#MuslimahTimes — Institusi pernikahan merupakan institusi terkecil dalam rangka pembangunan manusia. Namun sayang, institusi tersebut kerap kali ditempa badai, hingga tak sedikit yang karam di tengah jalan. Perceraian menjadi fenomena yang terus meningkat di negeri ini. Pemicunya banyak, diantaranya yang paling menonjol adalah persoalan ekonomi dan perselingkuhan.
Fakta perceraian tersaji gamblang di negeri ini. Salah satunya di Kabupaten Probolinggo Jawa Timur, tercatat sepanjang bulan Agustus 2019, terdapat 333 kasus perceraian (Kompas.com/5-9-2019).
Bukan hanya itu, berdasarkan data dari Pengadilan Agama (PA) Gunung Kidul, tiga tahun terakhir, lebih dari 1.000 pasangan mengajukan gugatan cerai.Humas Pegadilan Agama Wonosari Barwanto mengatakan, pada 2015, PA Gunung Kidul mengabulkan 1.466 kasus perceraian. Memasuki 2016 terjadi penurunan kasus.(Kompas.com/15-07-2019).
Selain itu, angka kasus perceraian dan wanita menjadi janda di Kota Depok terus meningkat dari data yang ada hingga Juli 2019 tercatat 2.532 kasus diperkiran bakal bertambah dibandingkan data tahun 2018 lalu yang mencapai 3.525 kasus (Poskotanews.com/23-07-2019).
Masih banyak catatan panjang kasus perceraian di negeri ini. Dan tentu hal tersebut sangat memprihatinkan. Oleh karena itulah, pemerintah terdorong untuk mengentaskan persoalan perceraian tersebut melalui program sertifikat pernikahan.
Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendi bahwa calon pengantin tidak boleh menikah jika belum memiliki sertifikat layak kawin. Muhadjir mengatakan, rencana ini akan mulai diberlakukan tahun depan. Calon pengantin wajib mengikuti pelatihan mengenai ekonomi keluarga hingga kesehatan reproduksi. Ia menuturkan, program ini merupakan penguatan terhadap sosialisasi pernikahan yang sebelumnya dilakukan kantor urusan agama (KUA). (Tempo.co.id/14-11-2019)
Namun benarkah pembelakuan program tersebut akan mampu menekan angka perceraian di negeri ini? Atau justru menimbulkan permasalahan baru seperti semakin tingginya angka perzinahan karena menikah dipersulit?
Sesungguhnya, sertifikasi pernikahan tak dapat dijadikan tumpuan harapan untuk menciptakan ketahanan keluarga. Mengapa? Sebab sejatinya, permasalahan yang melatarbelakangi perceraian dalam rumah tangga bukan sekadar karena pasangan suami istri kurang ilmu seputar pernikahan, pengasuhan anak, dan manajemen rumah tangga. Melainkan banyak faktor ekstenal yang menjadi pemicunya.
Jika kita menilik faktor terbesar penyebab perceraian adalah soal ekonomi, maka tentu kita harus memahami akar permasalahan yang menyebabkan permasalahan ekonomi tersebut bisa muncul. Penerapan sistem ekonomi kapitalisme adalah satu-satunya penyebab atas himpitan ekonomi yang terjadi pada keluarga Muslim. Bagaimana tidak, dalam sistem ekonomi, rakyat tercekik aneka pajak dan beban biaya kehidupan yang kian memberatkan. Sebagaimana prinsip dalam ekonomi kapitalisme bahwasanya negara hanya sebagai regulator, rakyat ‘dibiarkan’ untuk berjuang menghidupi dirinya sendiri.
Fakta menunjukkan bahwa dalam naungan sistem ekonomi kapitalis ini, segala aspek kebutuhan dasar rakyat tidak dijamin oleh negara. Biaya pendidikan kian mahal, biaya kesehatan kian tak terjangkau, belum lagi kebutuhan akan tempat tinggal yang layak kian tak tergapai. Soal kebutuhan pokok sehari-hari tak perlu ditanya lagi, rakyat dibuat menjerit atas harga yang kian melambung tinggi.
Di sisi lain, para pemilik modal kian makmur di atas tumpukan kekayaannya. Mereka mampu membeli apapun yang mereka inginkan, termasuk menguasai sumber daya alam yang semestinya menjadi hak umum seluruh rakyat. Lewat Undang-undang privatisasi, berbagai lahan tambang dikuasai individu, baik asing maupun aseng. Tak hanya itu, layanan publik dijadikan komoditas bisnis, sehingga rakyat kian sulit mengaksesnya.
Kapitalisme menjadi penyumbang terjepitnya perekonomian keluarga Muslim. Lantas hal tersebut menimbulkan depresi yang pada akhirnya memicu pertengkaran dalam rumah tangga, terlebih jika pasangan suami istri tersebut kurang dalam pemahaman agamanya. Akhirnya suami istri tidak saling memahami hak dan kewajibannya. Rumah tangga rapuh karena pondasinya tak kokoh.
Begitu juga soal stunting atau pertumbuhan anak yang terhambat akibat gizi buruk, hal tersebut juga tak lepas dari himpitan ekonomi yang mendera keluarga. Bagaimana mungkin dapat terpenuhinya gizi yang baik, jika biaya hidup saja sulit?
Oleh karena itu, ketahanan keluarga hanya dapat diraih jika terwujudnya faktor internal dan eksternal penguatnya. Faktor internal adalah pemahaman agama yang benar dalam diri suami istri, sehingga mereka memahami hak dan kewajibannya sesuai syariat. Mereka juga menyadari bahwa pernikahan adalah ibadah, maka mereka akan berupaya menciptakan keharmonisan di dalamnya. Inilah yang akan menjadi pondasi dalam rumah tangga. Ini pulalah yang akan menjadi benteng atas suami istri dari melakukan kemaksiatan, misalnya perselingkuhan
Sedangkan faktor eksternal adalah penerapan sistem Islam secara kaffah oleh negara. Karena hanya dengan syariat Islamnya, negara akan mampu menjalankan perannya sebagaimana mestinya. Yakni menjadi pelayan atas rakyatnya. Bukan pebisnis sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme hari ini.
Negara dalam naungan sistem Islam akan memberikan hak-hak rakyatnya, tidak akan menjual aset-aset negara kepada asing, karena Islam melarangnya.
Rasulullah saw bersabda:“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Maka sungguh, ketahanan keluarga tak cukup dengan sertifikat. Butuh upaya sinergis dan berkelanjutan demi menciptakan iklim yang sehat bagi terciptakan keluarga yang harmonis dan sejahtera.