Oleh: Arin RM, S.Si
#MuslimahTimes — Lidah tak bertulang, adalah perumpamaan yang lazim untukmerespon kekecewaan atas perkataan yang tidak tepat. Entah menyakitkan ataupun terlontar tidak pada tempatnya, dan berujung keburukan. Banyak sudah dijumpai permasalahan bermunculan lantaran dipicu perkataan sembarangan. Yang semula dekat bisa menjauh, yang semula empati jadi tak peduli, yang semula adalah penuh percaya jadi saling curiga, bahkan yang semula dihormati jadi dibenci.
Begitulah kiranya efek sebuah ucapan, maka tak heran jika Imam Al-Bukhari mengajarkan: “Al-’Ilmu QoblalQouli Wal ‘Amali”, Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal. Ibnu Munir berkata, “Imam Al-Bukhari bermaksud dengan kesimpulannya itu, bahwa ilmu merupakan syarat atas kebenaran suatu perkataan dan amalan. Maka suatu perkataan dan amalan itu tidak akan teranggap kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itulah ilmu didahulukan atas ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat, di mana niat itu akan memperbaiki amalan.” (Dinukil dari TaisirulWushul Ila Nailil Ma’mul, Syarh Tsalatsatul Ushul).
Terbukti bahwa keringnya ilmu menyebabkanperkataansebagai senjata makan tuan. Melahirkan permasalahanbaru selepas ucapan diakhiri. Sebagai sebuah contoh adalah kasus perkataan di acarapublik, yang salah satu narasumbernya mempertanyakan kontribusi Nabi Muhammad SAW di abad ke 20 terhadap kemerdekaan suatu bangsa beberapa waktu lalu. Meski perkataannya hanya singkat, namun efeknya luar biasa hingga berhari-hari lamanya.
Terlepas dari ada tidaknya ilmu terhadap kiprah nabi Muhammad SAW itu sendiri, publik yang menyimak rekaman video tersebut akhirnya menjadi resah. Perkataan yang semula biasa akhirnya memantik ghirah pembelaan pada Rasulullah lantaran adanya penilaian bahwa tendensi pertanyaan tersebut adalah merendahkan. Meski hanya berawal dari perkataannyatanya bisa berlarut pada upaya menuntut pembicara dihukum sepantasnya.
Hal ini dapat dimaklumi sebab bagi Muslim, kecintaan pada Nabi Muhammad menduduki urutan di atas apa pun setelah cinta pada Allah. Telah disabdakan “Belum sempurna iman salah seorang di antara kalian sampai ia menjadikan aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anaknya dan segenap manusia” (HR al-Bukhari). Sehingga jika ada yang dinilai merendahkan, spontanitas pembelaan dilakukan. Bukan karena marah tak beralasan, tetapi memang begitu yang diterangkan.
Syaikhal-Islam IbnTaimiyah telah menjelaskan batasan tindakan orang yang menghujat Nabi Muhammad SAW yaitu: kata-kata yang bertujuan meremehkan dan merendahkan martabat beliau, sebagaimana dipahami kebanyakan orang, terlepas perbedaan akidah mereka, termasuk melaknat dan menjelek-jelekkan (Lihat: IbnTaimiyyah, Ash-Sharimal-Maslul ala Syatimiar-Rasul, I/563).
Al-QadhiIyadh juga menjelaskan bentuk-bentuk hujatan kepada Nabi SAW. Orang yang menghujat beliau adalah orang yang mencela, mencari-cari kesalahan, menganggap pada diri Rasul ada kekurangan; mencela nasab dan pelaksanaan agamanya; juga menjelek-jelekkan salah satu sifatnya yang mulia; menentang atau menyejajarkan dengan orang lain dengan niat untuk mencela, menghina, mengerdilkan, menjelek-jelekkan dan mencari-cari kesalahannya. Orang seperti ini termasuk orang yang telah menghujat Rasul SAW. (Lihat: Al-QadhiIyadh, Asy-Syifabi Tarif Huquqal-Musthafa, hlm. 428).
Apalagi perkataan merendahkan Nabiadalah dosa besar. Allah berfirman yang artinya: “Sungguh orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknati mereka di dunia dan di akhirat serta menyediakan bagi mereka siksaan yang menghinakan” (TQS al-Ahzab: 57). Makanya, bagi penggenggam iman Islam standar agama dijadikan sebagai tolak ukur menilai perkataan dan perbuatan.
Namun sayangnya, perkataan dengan tendensi merendahkan Nabi SAW sering berulang. Salah satunya karena banyak yang memilih diam terhadap kemungkaran. Padahal hal ini adalah dosa yang justru membuat penistaan kian menjadi-jadi. Terlebih lagi prinsip kebebasan berbicara di sistem sekular-liberal nyata memberikan panggung kepada pendengki Islam. Mereka dilindungi berbagai aturan atas nama hak asasi.
Aturan itu menjamin kebebasan berbicara, walau akhirnya menjadi bumerang. Orang boleh bersuara apa saja, namun di sisi lain perasaan pihak lawan tidak dipedulikan. Padahal pihak lawan juga punya hak mendengarkan kebaikan. Inilah kontradiksi bawaan konsep yang lahirnya menyelisihi ketentuan Allah. Menjauhkan agama dari kehidupan. Ditambah dengan hasutanterhadap Islam, konsep rusak yang terus dipaksakan akhirnya memunculkan Islamophobia berlebihan.
Walhasil tanpa kontrol agama, kebebasan perkataan menjadi dua sisi mata pisau membahayakan. Ketajaman yang harusnya mencabik kemungkaran justru disasarkan pada Islam. ParahnyaketikaframingIslamophobia sudah dipercayai, maka sampai Nabi Muhammad pun diperbincangkan tanpa ilmu. Dan inilah yang harus disudahi. Ilmu harus dipelajari dan disertai pemahaman Islam agar melahirkan kebaikan dalam perkataan. []