Oleh :Raihanatur Radhwa
(IbuRumahTangga)
#MuslimahTimes — Lagi. Oligarki kekuasaan tercermin pada pemilihan staff khusus wakil presiden. Lima dari delapan orang di antaranya adalah kader NU (suaraislam.id, 27/11/2019). Ormas yang sebelumnya sempat kecewa saat pengumuman susunan kabinet karena kementerian agama tak terpilih dari Kiai pentolannya. Malah yang terpilih dari unsur militer.
Berturut-turut pengumuman pengisi jabatan era Presiden Jokowi yang kedua ini mengejutkan rakyat. Alih-alih menanamkan opitimisme kemajuan Indonesia dengan nama-nama yang kredibel, pengumuman itu malah membuat sakit hati rakyat. Meskipun dianggap latar belakang penunjukan pejabat itu wajar, namun ada inkonsistensi dariapa yang didengungkan Presiden sendiri.
Inkonsistensi itu muncul ketika keinginan memangkas birokrasi muncul di pidato presiden saat pelantikan dengan menghilangkan eselon III dan IV. Bahkan Presiden akan menggantinya dengan kecerdasan buatan. Bau memuluskan perizinan investasi asing lebih menusuk dibanding niatan mempercepat pelayanan dasar masyarakat dengan kebijakan ini. Namun di sisi lain justru mengangkat posisi-posisi baru yang dinilai penggemukan jabatan dan tumpang tindih tugas.
Staff khusus presiden contohnya. Duabelas orang yang terpilih, 7 di antaranya berasal dari generasi milenial. Apa sebenarnya tugas staff khusus presiden itu hingga bergaji fantanstis? Menurut staff kepresidenan mereka diharapkan memberi pandangan out of the boxdan menghadirkan ide-ide baru dalam menyelesaikan masalah bangsa. Namun di sisi lain tak bisa dipungkiri bahwa mereka ini masih minim pengalaman.
Apalagi kalau dilihat dari sisi keahlian. Tentu jauh dari kompetensi yang diharapkan rakyat. Jika presiden membutuhkan keahlian untuk menyelesaikan persoalan bisa saja mengundang pakar-pakar dan ahli yang sudah terbukti pengalaman dan kemampuannya. Mengapa justru menyedot anggaran lagi untuk menggaji staff khusus secara rutin. Satu-satunya alasan yang masuk akal adalah upaya pencitraan bahwa presiden dekat dengan kalangan milenial. Cuma itu.
Tak pelak rakyat pun bisa menilai bahwa jabatan diisi oleh orang-orang pendukung penguasa sejak penunjukan menteri di kabinet. Menteri-menteri itu berisi pejabat yang sudah dikenal publik sebagai kader partai pendukung mati-matian, pembela pengusaha, atau tameng penguasa dari protes rakyat. Kalaupun diisi oleh kader partai lawan pemilu itu hanya untuk mengokohkan posisi kekuasaan dan memastikan konstalasi suara di DPR sebagai legislatif tak berseberangan dengan pemerintahan.
Bagi-bagi jatah kekuasaan kental pun terasa saat pengangkatan posisi wakil menteri dan perombakan pimpinan BUMN. Kalau bukan teman lama, teman partai, relawan atau keluarga para penguasa dan pengusaha serta bos media. Tercatat Angela Tanoesoedibjo putri Hari Tanoesoedibjo bos MNC media menduduki jabatan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif selain Budi Arie Setiadi, relawan Projo, yang ditunjuk sebagai Wakil Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal. Putri Tanjung anak Chairil Tanjung menjabat staf khusus presiden, Aminudin Ma’ruf sekretaris jenderal solidaritas ulama muda Jokowi (Samawi) pun dihadiahi jabatan staff khusus.
Nyata sekali politik oligarki kekuasaan sedang terpampang di negeri ini. Sah-sah saja semua berjalan semestinya, menurut demokrasi. Untuk meraih legitimasi butuh suara rakyat. Untuk merengkuh suara rakyat butuh media corong pencitraan, dana urunan pengusaha yang mencapai triliyunan, partai sebagai kendaraan. Jadi sebagai imbal balik bagi-bagi jabatan itu sudah wajar tak menyalahi aturan. Kalau jabatan habis, munculkan saja jabatan baru. Anggaran gajinya urus belakangan.
Islam menekankan bahw ajabatan dan kekuasaan adalah amanah. Bukan ladang berbagi pendapatan. Patut dicamkan oleh politisi bahwa dalam sebuah hadis sahih dari Abu Musa al-Asy’ari, Rasulullah SAW bersabda, ”Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan suatu jabatan kepada orang yang memintanya atau berambisi mendapatkannya.” (HR Muslim). Ketidaksukaan Rasul memberi jabatan pada siapa yang berambisi memberi petunjuk adanya bahaya/mudhorot jika itu dilakukan. Logikanya, jika seseorang berambisi dengan jabatan dan kekuasaan pasti ia memiliki maksud mengambil manfaat dari kedudukannya itu.
Kalau sudah begini, apa rakyat hanya bisa ngurut dada? Tidak. Rakyat harus terus bersuara mengingatkan penguasa. Agar segera berakhir masa-masa dikangkangi penguasa jumawa. Kembali tegak hukum dan kekuasaan di atas aturan-aturan Yang Maha Kuasa, Khilafah Islamiyah yang akan jadi digdaya. Saat jabatan dipandang amanah yang hanya diisi oleh orang-orang penuh wara’ dan kecakapannya terpercaya. Ketaqwaannya tak dihiasi ragu dan cela.