Oleh: Hamsina Halik
(Revowriter Mamuju)
#MuslimahTimes — Stigma radikal tak henti-hentinya diarahkan kepada Islam dan umatnya. Atas nama melawan radikalisme, materi tentang perang pun dihapus dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Sungguh Islamophobia akut telah menjangkiti sebagian umat Islam.
Sebagaimana dilansir dari Gatra.com, bahwa di tahun ajaran baru 2020, tidak akan ada lagi materi perang di mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Baik untuk Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS) atau pun di Madrasah Aliyah (MA).
“Kita akan hapuskan materi tentang perang-perang di pelajaran SKI tahun depan. Untuk semua madrasah, mulai dari MI samapai MTS,” kata Umar saat ditemui di kantor Kemenag, Jakarta Pusat, Jumat (13/9). Alih-alih tentang perang, nantinya sebagai pengganti akan dimasukkan materi tentang masa-masa kejayaan Islam. Baik itu kejayaan Islam di Indonesia atau Islam di dunia.
Sungguh suatu pendapat yang sangat bertolak belakang dengan apa diajarkan dalam agama yang mulia ini, Islam. Sejarah perang jika dipahami dengan baik dan benar, maka akan didapati hikmah yang begitu mendalam dari setiap perang yang pernah terjadi di masa Rasulullah SAW.
Perang merupakan bagian dari syariat Islam, sebagai bukti penerapan terhadap ayat-ayat Alquran. Perang Badar dan Uhud, ataupun perang-perang setelahnya bertujuan hanya satu, yaitu menegakkan kalimatullah. Inilah visi akhir, sejak awal hadirnya Islam, yang ingin dicapai Rasulullah SAW membebaskan dunia dengan kepemimpinan Islam melalui dakwah dan jihad (perang) ini, sejak awal hadirnya Islam.
Sejarah perang, baik di masa Rasulullah SAW atau pada masa-masa setelahnya, merupakan bagian perjalanan dakwah Islam. Menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Semua dilakukan dengan tujuan mulia yaitu untuk kejayaan dan kemuliaan Islam, tegaknya kalimatullah. Bukan tujuan untuk menjajah. Tak seperti gambaran perang saat ini, dimana adanya aksi-aksi teror, seperti pengeboman atas nama jihad, yang semakin membuat umat takut. Baik pemeluknya sendiri terlebih non muslim.
Peperangan yang dilakukan dalam dunia Islam semata-mata untuk ibadah. Untuk menegakkan perintah Allah sebagaimana termaktub dalam Alquran:
“Telah diwajibkan atas kalian berperang sementara ia begitu tidak disukai…” (TQS. Al-Baqarah: 216).
Islam sebagai agama dengan paket yang lengkap, tidak hanya sekedar mengurusi ibadah semata seperti salat, puasa dan haji. Melainkan, juga memerintahkan pemeluknya agar melaksanakan setiap apa yang tertulis dalam Al Qur’an. Salah satunya terkait perintah perang.
Secara alami, manusia tak menyukai peperangan. Sebagaimana yang disebutkan dalam surah al Baqarah ayat 216 diatas. Namun, apa yang disukai ataupun dibenci oleh manusia, boleh jadi sebaliknya bagi Allah SWT
“…Dan boleh jadi engkau membenci sesuatu namun sesungguhnya ia baik bagimu. Dan boleh jadi engkau menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan Allah lebih mengetahui, sementara kalian tidak mengetahui apa-apa.” (TQS. Al-Baqarah: 216)
Dalam perang pun ada adab yang perlu ditaati. Diantaranya Islam melarang untuk membunuh wanita, bayi, anak kecil, orang tua, pendeta atau pemuka agama dan pasien yang sedang sakit. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits:
“Rasulullah melarang orang-orang yang telah membunuh Ibnu Abu Al Huqaiq untuk membunuh wanita dan anak-anak. Abdurrahman berkata, ‘Salah seorang dari mereka berkata: Istri Ibnu Abu Al Huqaiq telah menyusahkan kita dengan teriakannya, aku lalu mengangkat pedangku untuk membunuhnya, namun aku teringat dengan larangan rasulullah. Maka akupun mengurungkan niatku. Seandainya tidak ada larangan itu, niscaya aku akan membunuhnya.’” (HR. Malik)
Adalah suatu kesalahan berpikir jika dikatakan bahwa dengan adanya sejarah perang dalam kurikulum agama dianggap sebagai bibit radikalisme. Sebab, perang dalam Islam, seperti perang badar, perang uhud, perang mu’tah dan lainnya, semua dilakukan ketika Rasulullah SAW telah hijrah ke Madinah. Setelah terbentuknya daulah Islam di Madinah dan Rasulullah SAW sebagai pemimpinnya.
Dengan demikian, kewajiban perang hanya ada dengan adanya sebuah negara. Perang tidak dilakukan secara perorangan ataupun kelompok. Melainkan atas perintah dan koordinasi langsung dari negara. Maka, tak benar jika adanya aksi-aksi teror dan bentuk radikal lainnya jika dikaitkan dengan ayat-ayat perang. Sebab, secara syar’i berperang hanya boleh dilakukan oleh negara.
Dengan adanya penghapusan materi perang ini patut menjadi perhatian. Sebab, terlihat adanya upaya sekulerisasi -menjauhkan agama dari aspek kehidupan- dalam pendidikan. Pelajaran agama hanya sebatas materi yang mengatur ranah individu. Sementara aspek yang lain dipinggirkan. Syariat Allah tidak diajarkan secara menyeluruh.
Menghilangkan materi sejarah perang sama saja dengan mendistorsi ajaran Islam. Islam wajib disampaikan secara menyeluruh, tidak setengah-setengah. Bukan hanya sebatas akidah dan ibadah semata, tapi juga menyangkut seluruh aspek kehidupan.
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu syaitan karena sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah:208).
Wallahu a’lam.