Oleh: Sherly Agustina M.Ag
(Member Revowriter Cilegon)
#MuslimahTimes — “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (TQS. Fushsilat: 33)
Rezim melalui Menag sudah membisiki sedari awal ketika selesai pelantikan para menteri bahwa semua yang berbau radikalisme harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Maka tak heran, sejak awal pengangkatan menteri agama, kebijakannya banyak menuai kontroversi. Pelarangan cadar dan celana cingkrang yang tak relevan dan dikaitkan dengan radikalisme.
Diperkuat oleh Menkumham, bahwa anak SD yang berfikir tentang menjaga pergaulan dengan laki-laki bukan mahram harus dideradikalisasi. Makin ke sini makin menampakkan taringnya rezim ini. Menag berupaya terus memerangi yang dianggap rezim berkaitan dengan radikalisme.
Hingga ada kebijakan mesjid harus diawasi oleh polisi seakan-akan sarang teroris. Para ulama harus disertifikasi, isi khutbah pun turut campur. Majlis taklim didata dan didanai, dengan alasan untuk mempermudah memberi bantuan padahal jikapun untuk memberi bantuan tak perlu didata dan dicurigai apa isi pengajiannya. Majlis taklim ialah salah satu sarana belajar bagi para ibu rumah tangga juga sarana mempererat ukhuwah Islamiyah. Wajar jika yang kumpul ialah para muslim dan muslimah. Sangat wajar juga jika isinya kajian Islam yang menambah keimanan dan memperkuat ukhuwah Islamiyah.
Lalu, dengan tendensius Menag mengatakan lembaga sekolah mulai dari PAUD, rohis sekolah hingga PTN semua terpapar radikalisme. Dan entah kenapa radikalisme yang dimaksud selalu dikaitkan dengan Islam. Bukan yang lain. Seolah ada pesanan gorengan dari empunya bahwa gorengan radikalisme harus terus ada hingga matang. Sebelumnya, umat Islam selalu dikaitkan dengan terorisme. Bahwa umat Islam yang ingin menerapkan aturan Allah secara kaafah disebut teroris. Hingga gorengan ini menjadi basi. Kita harus yakin bahwa suatu saat gorengan radikalisme ini juga akan basi. Jalan dakwah ini memang terjal, berliku dan tajam. Namun harus tetap dijalani dan dilalui.
Kebijakan lain dari Menag sesuai pesanan gorengan ialah berupaya menghapus konten jihad dan khilafah dari materi ajar pendidikan umat Islam. Karena banyak menuai kecaman dan penolakan dari berbagai pihak maka Menag melunak. Konten jihad dan khilafah tidak jadi dihapus namun akan dipindahkan dari materi fikih ke materi sejarah.
Menteri yang seharusnya semakin mengkuatkan keimanan dan taqarrub kepada Allah. Menteri yang seharusnya menjadi orang terdepan dalam upaya penerapan aturan Allah secara kaafah. Tapi faktanya, menjadi orang terdepan yang menghalangi perjuangan diterapkannya aturan Islam secara kaafah. Bahkan Menag akan merombak sebanyak 155 buku pelajaran agama. Tapi yang menjadi prioritas di antaranya lima tema buku pelajaran Akidah Akhlak, Al Qur’an dan Hadits, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab. Lalu, Menag berencana meluruskan pemahaman khilafah yang dianggap telah dimanfaatkan sebagai kampanye di buku pelajaran agama. Perombakan tersebut dilakukan berdasarkan kajian mendalam para ahli. Hal itu disampaikan dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR RI di Komple. (CNN, 28/11/2019)
Menag menyampaikan rencana perombakan buku pelajaran Islam sudah dirancang Kemenag sejak menteri terdahulu. Namun tahap eksekusi akhir dilakukan saat ia mulai menjabat Menteri Agama. Mantan Wakil Panglima TNI itu menjelaskan revisi dilakukan guna mengikuti perkembangan sains dan teknologi. Selain itu, revisi buku dilakukan sebagai penyesuaian nilai revolusi mental dan moderasi beragama.
Moderasi agama ini adalah bagian dari upaya menghalangi perjuangan penerapan Islam kaafah. Mereka mengira dengan mengawasi mesjid, majlis taklim dan memindahkan konten jihad dan khilafah ke materi sejarah akan membuat perjuangan umat Islam melunak dan mundur.
Sekali-kali tidak, mereka bisa merubah dan memindahkan casing tapi mereka tak bisa merubah substansi. Mereka tak bisa mencabut pemahaman dari benak umat. Karena jihad dan khilafah adalah ajaran Islam. Bagian dari syariat yang sudah ada di dalam kajian para ulama fikih. Dan satu orang pun para ulama fikih tak ada perbedaan pendapat tentang makna jihad dan khilafah dan membahasnya dalam kajian fikih. Maka konyol jika ada yang mengutak-atik dan merubah apa yang sudah disepakati oleh para ulama fikih. Para ulama fikih berbicara dan berbuat pasti berdasar pada ilmunya. Dengan kapasitas ilmu yang tinggi, luas dan mumpuni. Bukan berdasarkan hawa nafsu semata.
Jadi apapun gorengan yang hendak diberikan oleh rezim dan musuh Islam, untuk menghalangi dakwah Islam, dakwah tetap harus berjalan. Tak akan pernah terhenti walau selangkah. Karena itulah romantika dakwah. Sejatinya sebagai muslim kita tahu bahwa apa yang terjadi tak lepas dari kehendakNya. Rasul pun dahulu ketika berdakwah selalu Allah uji. Dengan kondisi apapun dan rasul tetap bersabar. Tak mengenal lelah apalagi mundur. Hingga Allah menangkan dakwah ini. Tugas kita hanya menjalankan fungsi sebagai manusia. Menjalankan misi di sebuah planet. Berdakwah dan berjuang di jalan Allah menjemput janjiNya. Menyampaikan pada umat bahwa semakin kita diuji pertolongan Allah akan semakin dekat. Hingga Islam dimenangkan oleh Allah.
“Dia lah yang mengutus utusan dengan petunjuk dan agama yang haq (Islam) agar Allah menangkan atas semua agama. Walau orang-orang kafir benci”. (TQS. At aTaubah: 33).
Allahu A’lam bi ash Shawab.