Oleh: Sherly Agustina M.Ag
Muslimahtimes– “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaff [61] : 8)
Pemilu sebagai pesta demokrasi sudah berlalu. Alih-alih para pemimpin terpilih sibuk menunaikan janji, yang ada sibuk menuntaskan misi si empunya dengan kebijakan yang dibuat banyak mengkhianati rakyat. Iuran BPJS yang mencekik berikut denda yang tidak manusiawi jika warga tak bayar iuran BPJS. Lalu kebijakan membuang beras puluhan ribu ton karena sudah tidak layak, padahal jika pengelolaan baik akan sangat membantu warga yang kurang mampu. Honor honorer yang sangat miris, hanya dibayar 100-300 ribu per bulan bahkan ada yang mendapat 15 ribu per hari. Sementara pemimpin dengan mudah mengangkat stafsus dengan gaji puluhan juta.
Lalu, mengeluarkan kebijakan melalui menteri agama yang sangat kontroversi. Bermula dari larangan cadar dan celana cingkrang. Sementara kemaksiatan, pornografi, narkoba tak menjadi sorotan. Berjualan atas nama radikalisme, nampaknya opini radikalisme ini sedang terus digoreng oleh pemerintah. Lalu ada kebijakan mesjid harus diawasi oleh polisi dan pemda. Majles taklim harus didata dan didanai agar sesuai dengan arahan pemerintah yang disetir oleh orang-orang yang punya kepentingan dengan menggunakan politik oligarki.
Tak hanya itu, semua yang berbau Islam dikaitkan dengan isu radikalisme. PAUD, rohis anak sekolah dan PTN pun terpapar radikalisme jadi harus diawasi dan dibungkam. Materi jihad dan khilafah terkait dengan radikalisme maka harus dihapuskan. Kebijakan yang kontroversial ini banyak menuai protes dan kecaman dari berbagai pihak. Anak sekolah, guru dan organisasi yang lainnya. Menag akhirnya melunak, bahwa materi jihad dan khilafah tidak jadi dihapus tapi dipindahkan dari materi fikih ke materi tarikh (sejarah).
Dilansir oleh Tempo.com, menteri Agama Fachrul Razi menggelar pertemuan tertutup dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, di gedung Kementerian Agama, Jakarta, Senin, 9 Desember. Salah satunya ia berkoordinasi atas perubahan perspektif materi khilafah dan jihad pada pendidikan madrasah dan umum, dari konten fikih menjadi kajian sejarah. (10/12/2019)
Apakah Menag mengerti kebijakan yang dia lakukan, apakah faham tentang fikih, tarikh, jihad dan khilafah? Jangan hanya sembarangan menghapus dan memindahkan ajaran Islam. Yang utama ialah memahami ajaran Islam secara kaafah lalu mengamalkan dan menerapkannya, seharusnya seperti ini seorang menteri Agama sehingga menjadi teladan bagi warga negara.
Mencoba menela’ah makna fikih, fikih (bahasa Arab: الفقه, translit. al-fiqh) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah. Fikih membahas tentang cara beribadah, prinsip Rukun Islam, dan hubungan antar manusia sesuai yang tersurat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Islam, terdapat empat mazhab dari Sunni yang mempelajari tentang fikih. Seseorang yang sudah menguasai ilmu fikih disebut Fakih. (Wikipedia)
Dalam bahasa Arab, secara harfiah fikih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal. Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fikih secara terminologi yaitu merupakan ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil di Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu fikih merupakan ilmu yang juga membahas hukum syar’iyyah dan hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, baik itu dalam ibadah maupun dalam muamalah. Dalam ungkapan lain, sebagaimana dijelaskan dalam sekian banyak literatur, bahwa fiqh adalah “al-ilmu bil-ahkam asy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha at-tafshiliyyah”, ilmu tentang hukum-hukum syari’ah praktis yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci” (Wikipedia)
Sementara sejarah (bahasa Yunani: ἱστορία, historia (artinya “mengusut, pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian”; bahasa Arab: تاريخ, tārīkh; bahasa Jerman: geschichte) adalah kajian tentang masa lampau, khususnya bagaimana kaitannya dengan manusia. Dalam bahasa Indonesia, sejarah, babad, hikayat, riwayat, tarikh, tawarik, tambo, atau histori dapat diartikan sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau atau asal usul (keturunan) silsilah, terutama bagi raja-raja yang memerintah. Ini adalah istilah umum yang berhubungan dengan peristiwa masa lalu serta penemuan, koleksi, organisasi, dan penyajian informasi mengenai peristiwa ini.
Dalam referensi yang lain, tarikh secara bahasa berarti ketentuan waktu. Secara pengertian tarikh adalah ilmu yang menggali peristiwa-peristiwa masa lampau agar tidak dilupakan. Ilmu tarikh sepadan dengan pengertian ilmu sejarah pada umumnya. Awalnya, tarikh bermakna penetapan bulan kemudian meluas menjadi kalender dalam pengertian umum. Dalam perkembangan selanjutnya, tarikh bermakna pencatatan peristiwa. Semakin maju, ilmu tarikh menjadi lebih luas dan beragam sesuai dengan perkembangan teknologi pencatatan itu sendiri. (Republika.co.id, 25/07/2014)
Jelas dari makna saja sudah jauh maksudnya. Monsterisasi ajaran Islam dengan memindahkan materi jihad dan khilafah dari fikih ke tarikh narasi jahat untuk membungkam perjuangan Islam, menikam ajaran Islam habis-habisan.
Sementara para ulama fikih terdahulu sudah membahasnya dalam pembahasan fikih tentang makna syar’i dari jihad adalah perang, diantaranya:
Menurut mażhab Hanafi, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Badā’i’ as-Shanā’i, “Secara literal, jihad adalah ungkapan tentang pengerahan seluruh kemampuan. Sedangkan menurut pengertian syariat, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain”.
Adapun menurut mażhab Maliki, seperti yang termaktub di dalam kitab Munah al-Jaliil, adalah perangnya seorang Muslim melawan orang Kafir yang tidak mempunyai perjanjian, dalam rangka menjunjung tinggi kalimat Allah Swt. atau kehadirannya di sana (yaitu berperang), atau dia memasuki wilayahnya (yaitu, tanah kaum Kafir) untuk berperang. Demikian yang dikatakan oleh Ibn ‘Arafah.
Madzhab al-Syaafi’i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa’, mendefinisikan jihad dengan “berperang di jalan Allah”. 19 Al-Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab; sesungguhnya jihad itu adalah perang.
Sedangkan mazhab Hanbali, seperti yang dituturkan di dalam kitab alMughniy, karya Ibn Qudaamah, menyatakan, bahwa jihad yang dibahas dalam kitaab al-Jihaad tidak memiliki makna lain selain yang berhubungan dengan peperangan, atau berperang melawan kaum Kafir, baik fardlu kifayah maupun fardlu ain, ataupun dalam bentuk sikap berjaga-jaga kaum Mukmin terhadap musuh, menjaga perbatasan dan celah-celah wilayah Islam. Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah berkata: “Ribaath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad”. Beliau juga mengatakan: “Jika musuh datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya”.
Di pesantren kitab-kitab fikih klasik yang masih dipelajari di antaranya, Fathul Qorib (Taqrib), Fathul Mu’in (syarah kitab ini I’anatu Ath Tholibin) di dalamnya membas jihad. Buku yang masuk dalam kurikulum madrasah ialah karya Sulaiman Rasjid “Fiqh Islam”. Di dalam buku “Fiqh Islam” dibahas tentang khilafah dan jihad. Beliau ialah ulama fikih di Indonesia yang peduli terhadap pendidikan fikih untuk umat.
Adapun urgensi khilafah dalam jihad didasarkan pada kaidah fiqhiyyah:
“Suatu kewajiban yang tidak dapat ditunaikan dengan sempurnanya kecuali dengan adanya sesuatu hal, maka sesuatu hal itu menjadi wajib”
Bagaimana dengan hukum potong tangan jika tidak ada wadahnya sementara hukum potong tangan adalah perintah Allah, maka yang melaksanakannya haruslah aturan dari Allah saja. Bagaimana menghukum yang murtad, jilid dan razam bagi pezina. Bagaimana mengelola SDA seluruh negeri-negeri kaum muslim, bagaimana membela kaum muslim yang ditindas jika tidak ada negara super power yang mampu berhadapan dengan negara super power juga. Dan hukum-hukum lainnya tidak akan terlaksana jika tidak ada institusi yang melaksanakannya yaitu khilafah.
Ulama fikih empat mazhab juga telah menyatakan bahwa tegaknya Khilafah Islamiyah adalah janji Allah SWT kepada orang-orang Mukmin. Pasalnya, al-Quran telah menyebutkan janji ini (tegaknya kekhilafahan Islam) dengan jelas dan gamblang. Allah SWT berfirman;
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa” (QS an-Nur [24]: 55).
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan, “Inilah janji dari Allah SWT kepada Rasulullah saw., bahwa Allah SWT akan menjadikan umat Nabi Muhammad saw. sebagai khulafâ’ al-ardh; yakni pemimpin dan pelindung manusia. Dengan merekalah (para khalifah) akan terjadi perbaikan negeri dan seluruh hamba Allah akan tunduk kepada mereka.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, VI/77).
_Allahu A’lam bi ash Shawab_