Oleh: Hamsina Halik
Muslimahtimes– Khilafah dan jihad. Dua kata yang akhir-akhir telah sukses menarik perhatian siapapun termasuk rezim saat ini. Seolah dua kata itu adalah momok yang sangat menakutkan. Mempelajarinya akan melahirkan bibit-bibit radikalisme yang akan menimbulkan kekacauan luar biasa dan menjadi ancaman keamanan.
Karena alasan itulah, materi khilafah dan jihad akan ditarik dari kurikulum pembelajaran madrasah. Hal ini sesuai ketentuan regulasi penilaian yang diatur pada SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 3751, Nomor 5162 dan Nomor 5161 Tahun 2018 tentang Juknis Penilaian Hasil Belajar pada MA, MTs dan MI. Yang kemudian materi itu akan digantikan dengan materi Islam Wasathiyyah.
Keputusan itu pun menuai prokontra.
Jejen Musfah, pengamat pendidikan Islam dari UIN Syarif Hidayatullah ketika ditanya tanggapannya tentang penghapusan materi khilafah dan perang dari kurikulum madrasah oleh kemenag mengatakan bahwa, “Pemahaman khilafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak tepat diajarkan kepada siswa. Sebaiknya siswa didorong hal seperti toleransi, agar nilai-nilai Islam yang diajarkan ke siswa diimplementasikan untuk sistem demokrasi yang baik.” (republika.co.id, 9/12/2019)
Di sisi lain, Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto mempertanyakan kebijakan Kemenag yang akan menghilangkan materi pembelajaran maupun ujian di madrasah yang mengandung konten jihad dan khilafah. Yandri menduga, Pemerintah dalam hal ini Kemenag memiliki ketakutan luar biasa atau fobia terhadap sejarah Islam. (republika.co.id, 9/12/2019)
Menyikapi berbagai prokontra dalam menanggapi keputusan kemenag ini, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin pun angkat bicara menampik tudingan akan menghapus materi khilafah dan jihad dari kurikulum.
Sebagaimana dilansir dari dakta.com, 9/12/2019, Kamaruddin mengatakan bahwa, “Tidak dihapuskan, jadi hanya dipindahkan materinya dari fiqih menjadi sejarah. Dalam sejarah itu memang pernah ada kekhalifahan hingga terakhir Turki Utsmani.”
Khilafah sesungguhnya bukanlah istilah asing dalam khasanah keilmuwan Islam. Menurut Wahbah az-Zuhaili, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imarah al-Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881).
Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Apalagi menegakkan Khilafah adalah wajib menurut syariat Islam. Sebab, tanpa Khilafah sebagian besar syariat Islam di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, pemerintahan, politik, politik luar negeri, hukum/peradilan, dan yang lainnya terabaikan.
Sedangkan jihad itu sendiri adalah kewajiban atas setiap muslim dan merupakan salah satu puncak amalan Islam. Juga metode penyebaran dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia yang dilakukan oleh negara yang menerapkan Islam secara kaffah. Khilafah dan jihad merupakan satu kesatuan. Tanpa adanya khilafah, jihad tak akan terlaksana.
Sebab, khilafah adalah kepemimpinan yang bersifat umum bagi seluruh kaum muslim di dunia. Dengan dua tugas utama yaitu menegakkan hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah ke seluruh dunia.
Dengan demikian khilafah dan jihad adalah satu kesatuan. Dan sejarah telah mencatat bagaimana kegemilangan kejayaan dan peradaban Islam di bawah naungan khilafah Islam. Sejak masa Rasulullah SAW sebagai pemimpin negara Daulah Islam di Madinah, masa Khulafaur Rasyidin hingga masa kekhilafahan terakhir yaitu Khilafah Ustmaniyyah, terbukti telah mampu menyatukan 2/3 dunia dalam satu kepemimpinan selama 1300 tahun lamanya. Menyatukan manusia dari berbagai suku, ras, etnik, warna kulit bahkan agama. Saat itu, Islam benar-benar menjadi rahmatan lilalamin. Tak hanya Islam, juga non muslim.
Sejarah pun telah mencatat, masuknya Islam ke Nusantara tak lepas dari peran Wali Songo yang diutus oleh Kekhilafahan Ustmani untuk mendakwahkan Islam. Hingga Islam menyebar di seluruh penjuru Nusantara. Juga, peran dari para pahlawan Islam yang berjihad dan menjadi garda terdepan dalam mengusir para penjajah di negeri ini.
Dengan demikian, adalah suatu kesalahan fatal jika ingin menghapus khilafah dan jihad dari benak kaum muslimin. Sebab, ini adalah bagian dari sejarah dan sejarah tak akan mungkin bisa ditutupi. Menghapusnya sama saja dengan menghilangkan sebagian ajaran Islam. Mengambil yang diperlukan dan membuang yang dirasa berbahaya. Ini tak ubahnya seperti prasmanan. Mengambil sesuka hati. Padahal ajaran Islam, pun sejarahnya harus diambil secara keseluruhan. Tak boleh dipilah-pilah sesuai keinginan.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (TQS. Al Baqarah: 208)
Sungguh ironi, negeri yang katanya menjamin kebebasan warganya, termasuk kebebasan dalam menjalankan ajaran agamanya, justru membatasi ajaran agama yang dipeluk oleh mayoritas rakyatnya. Padahal kebebasan ini telah dijamin dalam konstitusi, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”): “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.”
Menilik alasan utama dari penghapusan kedua materi ini adalah karena dikhawatirkan akan melahirkan bahaya radikalisme bagi yang mempelajarinya dan akan menjadi ancaman bagi negeri ini adalah keliru. Sebab, ancaman yang sesungguhnya bukanlah ajaran Islam itu sendiri, melainkan kapitalisme sekularismelah yang menjadi ancaman nyata bagi negeri ini. Yang telah terbukti banyak menghasilkan bencana dan kerusakan diseluruh lini kehidupan.
Wallahu a’lam[]