Oleh : Ifa Mufida
(Pemerhati Kebijakan Publik)
#MuslimahTimes — Sebentar lagi masyarakat akan memasuki pergantian tahun, tetapi nampaknya mereka harus bersiap-siap untuk menerima kado pahit beruntun. Setalah resmi dikeluarkannya regulasi kenaikan iuran BPJS dua kali lipat, subsidi listrik 900 volt pun juga akan dicabut. Harga air pun nampaknya juga akan dikenakan penyesuaian harga, karena disinyalir PDAM selalu rugi sebab tarif layanan yang terlalu rendah.
Nampaknya pemerintah di periode ke dua ini sedang sangat perhatian terhadap pengurusan pelayanan publik, kinerja BUMN pun harus dievaluasi. BUMN sebagai perusahaan plat merah memang merupakan salah satu sumber pendapatan yang diandalkan oleh negara memang tidak bisa dipungkiri. Sebagaimana Undang-Undang No. 19 tahun 2003 mengamanahi BUMN sebagai perusahaan negara dengan tujuan menyediakan barang dan jasa bagi publik sekaligus mendapatkan keuntungan.
Maka, seharusnya BUMN bisa menjadi alat negara untuk memperkuat ekonomi negara sekaligus memberikan kesejahteraan rakyat. Namun faktanya mereka selama ini justru berjual beli dengan masyarakat. Dari fakta yang ada, nampak bahwa kinerja BUMN hari ini tak ubahnya seperti korporasi swasta yang justru mengedepankan bisnis untuk mengejar keuntungan maksimum dari rakyat.
Yang lebih parah, bukannya memberikan keuntungan buat negara, namun BUMN justru melahirkan banyak masalah akibat rusaknya tata kelola. Beberapa BUMN diketahui telah menjadi sarang korupsi yang berujung pada kerugian negara. Sementara yang lainnya berada dalam jebakan hutang, hingga kerugian telah menjadi ancaman yang bermakna.
Pada Juli 2019, sempat ramai diberitakan bahwa sebanyak 24 BUMN mengalami kerugian. Sebelumnya, pada tahun 2017 semester 1 sudah terkuak kerugian sebesar Rp 5,852 triliun. Fakta ini pun ternyata sejalan dengan penangkapan beberapa petinggi BUMN oleh KPK. Mereka terbukti telah melakukan tindak korupsi seperti gratifikasi atau penyuapan. Di antaranya adalah pimpinan Angkasa Pura II, PLN, Pelindo, Pertamina, PAL, Asuransi Jasindo, dan Krakatau Steel. Sementara PT.Garuda Indonesia juga tengah menjadi topik panas pembicaraan.
Kasus Garuda beberapa waktu lalu benar-benar telah membuka borok yang di tubuh BUMN Indonesia. Keterlibatan jajaran direksi dalam kasus penyelundupan moge, berikut isu lain yang menyertainya seperti praktik prostitusi di udara dan buruknya pengelolaan perusahaan, cukup membuat semakin tercium kebusukannya. Hal ini juga membuktikan bahwa ada paradigma yang salah dalam pengelolaan sektor layanan publik yang membuka celah penyalahgunaan wewenang yang sangat parah.
Apalagi selanjutnya terungkap bahwa perusahaan-perusahaan tersebut ternyata telah memiliki anak, cucu, bahkan cicit perusahaan. Pertamina contohnya, diketahui memiliki 142 anak perusahaan. Kemudian PLN memiliki 50 anak sampai cicit perusahaan. Sedang Garuda memiliki 7 anak dan 19 cucu perusahaan. Mereka berdalih hal itu dilakukan untuk pengembangan proses bisnis. Tetapi faktanya malah mengukuhkan praktek monopolistik.
BUMN di bidang konstruksi pun harus gulung tikar akibat kebijakan pemerintah yang tanpa pertimbangan. Pembangunan infrastruktur tanpa rencana matang menjadikan BUMN tenggelam dalam hutang. Bahkan karena hutang yang sangat besar, hingga Indonesia pernah mendapat warning dari salah satu perusahaan pemeringkat saham dan obligasi di dunia, S&P Global. Akibatnya, rakyat lah yang yang harus menelan pil pahit karena harus membayar berbagai layanan termasuk tol dengan mahal.
Kemudian sudah menjadi rahasia umum jika penentuan direksi dan komisaris BUMN bukan karena profesionalitas tetapi karena praktik transaksional. Hal ini menyebabkan partai menjadikan BUMN sebagai alat penarik keuntungan untuk kepentingan partai. Dengan demikian,, maka BUMN yang seharusnya mengelola kebutuhan publik untuk kepentingan masyarakat, ternyata justru mengambil hak rakyat untuk kesejahteraan beberapa elit saja.
Bagaimana tidak, dari banyaknya BUMN yang ada di Indonesia hanya sebagian kecil yang memberikan kontribusi pemasukan ke kas negara. Sebagaimana dilansir oleh CNBC Indonesia, bahwa dari 142 perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) di berbagai sektor yang dimiliki Indonesia ternyata hanya 15 perusahaan yang mampu mengontribusikan keuntungan untuk negara.
Maka, kondisi BUMN ini tidak bisa hanya diatasi dengan pergantian orang saja. Apalagi sebatas memunculkan wacana pemberian sanksi tegas atau larangan hidup mewah saja. Karena akar masalahnya ada pada model pengelolaan layanan publik yang tegak pada paradigma bisnis. Hal ini merupakan keniscayaan ketika negara masih menerapkan sistem ekonomi kapitalistik neoliberal. Sistem ini tegak di atas prinsip kebebasan, terutama kebebasan berperilaku dan kebebasan kepemilikan.
Sistem ini memiliki tata kelola bahwa sektor publik wajib diliberalisasi dan dikomersialisasi. Sedang pemerintah ditempatkan hanya sebagai fasilitator atau regulator semata. Bahkan negara berperan sebagai perusahaan atau korporasi yang justru mencari keuntungan dari harta publik. Hal ini sangat berbeda jauh dengan syariat Islam. Islam mengharamkan siapa pun mencari untung dari pengelolaan harta publik baik untuk negara ataupun swasta.
Islam mensyaratkan agar negara bisa mengoptimalkan pelayanan agar seluruh masyarakat bisa mendapatkan atau memanfaatkan harta publik secara merata. Sebab, harta publik tersebut ditetapkan syariat sebagai haknya sehingga harus bisa diakses oleh masyarakat secara mudah, murah bahkan tanpa biaya.
Kepemilikan umum dalam Islam dibagi menjadi 3 macam yakni fasilitas umum, barang tambang yang tidak terbatas, dan sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan. Yang termasuk fasilitas umum adalah sebagai mana di dalam hadist Rasulullah Saw, “Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal: air, padang, dan api” (HR. Abu Dawud). Maka haram negara mengkomersilkan ke tiganya termasuk dalam rangka mencegah kerugian negara.
Sumber daya alam yang tidak terbatas ini misalnya tambang emas di Papua yang sampai detik ini dikuasai oleh Freeport, tambang gas alam, minyak bumi, batu bara maka harus dikelola negara untuk dikembalikan kepada rakyat. Tidak boleh justru pengelolaannya diberikan kepada swasta, baik dalam negeri ataupun luar negeri. Sebagaimana tata kelola yang ada saat ini.
Sedang harta publik yang memang sifat pembentukannya menghalangi dimiliki individu antara lain jalan, jembatan, fasilitas sekolah dan rumah sakit negara. Maka seharusnya hal tersebut bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara cuma-cuma.
Selain kepemilikan umum, di dalam Islam juga dikenal dengan kepemilikan individu dan kepemilikan negara. Dimana sumber pemasukan dan pemanfaatan nya juga berbeda sebagaimama telah diatur oleh syariat Islam. Demikianlah Islam memiliki pengaturan ekonomi yang begitu sempurna, yang tidak dimiliki oleh kapitalisme terlebih ekonomi sosialis-komunisme.
Sistem ekonomi Islam hanya akan bisa dijalankan jika didukung oleh sistem politik Islam juga. Maka sistem ini hanya akan bisa terlaksana jika diambil secara utuh karena masing-masing ada keterikatan yang tak terpisahkan. Maka jika menginginkan perubahan bagi Indonesia dengan jaminan kesejahteraan bagi rakyat sudah selayaknya pemerintah mengambil aturan Islam seutuhnya. Maka insya Allah keberkahan akan menaungi negeri ini.
Wallahu A’lam bi Showab..