Oleh: Neng RSN
#MuslimahTimes — “Ganti menteri ganti kurikulum”, merupakan ungkapan menggelitik yang acapkali muncul seiring perubahan penguasa negeri ini.Meskipun, mereka berdalih bahwa pergantian tersebut merupakan penyempurnaan kurikulum agar sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.
Setelah dua bulan dilantik,Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), mengeluarkan empat kebijakan baru yang disebut merdeka belajar.Program tersebut meliputi perubahan pada Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi. (tempo.com, 12/12/2019).
Lantas, akan ke mana arah pendidikan ala merdekabelajar ini?
Upaya Deradikalisasi Pendidikan
Gebrakan merdekabelajarversi Nadiem Makarim seakan menjadi angin segar untuk pendidikan di Indonesia.Namun, jika kita amati dan kita telisik lebih jauh, bukan mengembuskanangin segar melainkan angin panas. Karena salah satu kebijakannyayaitu penghapusan UN akan diganti dengan sistem Assesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, sepertimengarah pada program deradikalisasi pelajar
Nadiem Makarimmengatakan survei karakter perlu dilakukan terhadap para siswa dan siswi di berbagai jenjang sekolah, SD hingga SMA. Selanjutnya akan menjadi tolok ukur untuk umpan balik demi perubahan siswa yang lebih bahagia dan lebih kuat asas Pancasila di dalam sekolah.
“[Survei karakter] ini keharusan. Jadi kalau kita tidak melakukan survei karakter kita tidak mengetahui kondisi keamanan, kerukunan hingga akhlak dari murid kita,” kata Nadiem usai menghadiri Rapat Koordinasi dengan Kepala Dinas Pendidikan Seluruh Indonesia, (11/12).
“Pertanyaan yang personal saja mengenai apa opininya mengenai topik gotong royong, Bineka Tunggal Ika, tapi bukan gotong royong. Bineka Tunggal Ika yang ditanya tapi esensinya, behaviour-nya. Pengertian asas Pancasila, jadi enggak ditanya tentang sila. Sama sekali enggak,” ujar Nadiem. (m.cnnindonesia.com, 12/12/2019)
Menteri merupakan kepanjangan tangan dari presiden, kebijakan yang dikeluarkan tentu sejalan denganprogram yang telah dibuat. Pemerintah menganggap pelajar merupakan sasaran empuk radikalisme, maka harus ada upaya menangkal dan mengubah sikap serta sudut pandang radikal menjadi lunak, pluralis, dan moderat.
Label radikal dan intoleran dilekatkan kepada pelajar Muslim yang memiliki terikat ketaatan untuk menjalankan tuntunan agamanya, berlainan cara pandang, sikap keberagamaan dan politik yang kontradiksi dengan mainstream (arus utama). Dengan kategorisasi sebagai alat identifikasi, pelajar radikal memiliki prinsip-prinsip seperti ingin mengganti ideologi Pancasila, mengganti NKRI dengan Khilafah, memperjuangkan syariah dalam negara, menganggapnegara barat sebagai biang kezaliman global dan sebagainya. Ini bukti adanya upaya pembungkaman perjuangan Islam. Sekaligus menunjukkan bahwaseberapa besar ketakutan rezim akan kebangkitan dan kesadaran umat terhadap sistem Islam.
Meniti Jalan Menuju Liberalisme
Dalam kesempatan yang lain, Menteri Nadiem Makarim menggambarkan konsep merdeka belajar.
“Merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir. Dan terutama esensi kemerdekaan berpikir ini harus ada di guru dulu. Tanpa terjadi di guru, tidak mungkin bisa terjadi di murid,” kata Nadiem dalam Diskusi Standard Nasional Pendidikan, di Hotel Century Park, Jakarta Pusat pada Jumat, 13 Desember 2019. (tempo.com, 13/12/2019).
Merdeka berpikir tidak lain memberikan kebebasan (liberal) dalam memaknai materi pelajaran dan berujung pada perilaku dan karakter liberal. Membiarkan baik dan buruk, benar dan salah sesuai dengankehendak pribadi, tanpaadanya rule yang baku (agama). Alhasil, dunia pendidikan hanya akan menghasilkan generasiindividualistis sekaligusmaterialistisjika pemahaman diisi oleh insan beriterasi dan berkarakter universal lepas dari tuntunan Illahi.
Ironinya, di tengahpermasalahan danpersoalanyang dihadapi dalam dunia pendidikan terutama kualitas output pendidikan, justru gebrakan baru sang menteri lebih berorientasi pada penyiapan tenaga kerja siap pakai. Terbukti dari kebijakan merdeka belajar yang lebih ditujukan pada penguasaan skill, kompetensi dan kemampuan berkompetisi. Sementara di sisi lain identitas merekasebagaimakhluk ciptaan sang Khalikkiandiliberalkan.
Meniti Jalan Menuju Mardhotillah
Sistem pendidikan Islammemosisikan pendidikan sebagai kebutuhan pokok seluruh rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Oleh karena itu, negara menjamin setiap rakyatnya, baik laki-laki dan perempuan untuk menikmati proses pendidikan sampai perguruan tinggi tanpa memungut biaya. Demikian pula kesehatan dan keamanan, diberikan secara cuma-cuma kepada setiap individu rakyat, karena merupakan kebutuhan pokok seluruh rakyat (Abdurrahman Al Maaliki, 1963).
Tujuan pendidikan dalam Islam ada tiga; (1) membentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah) bagi peserta didik, (2) membekali peserta didik dengan ilmu-ilmu keislaman (tsaqafah Islamiyah), dan (3) membekali peserta didik dengan ilmu-ilmu yang diperlukan dalam kehidupan, seperti sains dan teknologi.
Negara berkewajiban menyediakan kebutuhan pendidikan guna melahirkan generasi Rabbani. Tidak hanya memfokuskan kehidupan, dakwah, dan perhatian mereka pada bidang ilmu /amalan agama, namun merata ke seluruh bidang ilmu dan amal-amal Islam, bahkan ke seluruh bidang kehidupan duniawi.
Hanya dalam negara Khilafah pendidikan Islam akan dapat menempati posisinya yang strategis, yaitu sebagai pembentuk dan pelestari peradaban Islam (Al hadharah AlIslamiyah). Ber-Islam kafah, meniti jalan menuju Mardhotillah.
Wallaahu a’lam bish shawab.