Oleh : Shela Rahmadhani, S.Pt.
(aktivis dakwah dan pemerhati pemikiran kampus)
#MuslimahTimes –– Diskriminasi dan penganiayaan terhadap umat Islam Uighur masih terus berlangsung hingga hari ini. Penganiayaan dan diskriminasi semakin masif dan terencana pasca didirikannya kamp rahasia (kamp konsentrasi) tahun 2014 yang terletak di daerah gurun dekat kota Dabancheng, sekitar 1 jam berkendara dari Urumqi (ibukota Xinjiang). Kamp ini menahan sejumlah 2 juta etnis Uighur untuk dilakukan indoktrinasi politik nilai-nilai komunisme dan upaya memberantas radikalisme dan terorisme sebagaimana yang dilaporkan oleh Reuters, 11 Agustus 2018, Gay MCDougall, anggota Komite Bidang Penghapusan Diskriminasi Rasial, yang menyatakan bahwa bahwa 2 juta orang Uighur dan kelompok minoritas muslim dipaksa menerima indoktrinasi politik di wilayah otonomi Xinjiang Barat.
Dalam kamp konsentrasi, Muslim Uighur mendapatkan penganiayaan fisik yang sangat mengerikan mulai dari dipaksa meninggalkan Islam, memakan babi, minum alkohol, mengkritik akidah Islam, membaca lagu-lagu propaganda Partai Komunis. Tidak jarang ada yang berujung pada penyiksaan secara fisik akibat menolak mengikuti apa yang dinamakan pemerintahan Cina sebagai deradikalisasi. Misalnya menolak memakan babi dan alkohol yang menghantarkan pada penyiksaan fisik, bahkan berujung pada kematian.
Dalam keseharian warga Xinjiang, berdasarkan Laporan Human Right Watch yang dikeluarkan oleh komite Kongres tentang Cina mengungkapkan bahwa orang-orang Uighur diawasi ketat. Ada tank di jalan-jalan, dan tahanan polisi setiap 100 meter dimana petugas polisi memindai kartu identitas dan isi telepon. Mereka yang menumbuhkan jenggot, shalat teratur, menghubungi keluarga di luar negeri dapat menyebabkan seseorang dipenjara dan dikirim ke kamp rahasia atau kamp konsentrasi. Ke-ngeri-an dari pengawasan ketat ini dapat digambarkan oleh penuturan seorang Uighur yang kini menjadi warga Australia, Almas Nizamidin yang menyatakan bahwa “di Xinjiang, menjadi orang Uighur, menjadi etnis minoritas itu adalah kejahatan besar. Orang seperti domba yang menunggu untuk dibunuh, kehilangan harapan” (Republika, 26 Juni 2018).
Jika kita telisik sejarah, awal penganiayaan yang massif dan terencana terhadap Muslim Uighur tidak lepas dari faktor histori antara pemerintahan China dan pemerintahan Xinjiang yang sudah dimulai sejak 1863. Pada tahun 1949, lebih dari 1 juta orang Muslim Uighur tewas dalam menghadapi pemerintahan Cina ketika rezim komunis Cina dipimpin Mao Zedong. Rezim telah menghapus kemerdekaan provinsi tersebut dan kemudian menggabungkannya ke Republik Cina. Cina menghancurkan sekitar 25 ribu masjid di Xinjiang pada tahun 1949 M. Orang-orangnya kemudian diambil dan disebar ke provinsi-provinsi lain di Cina. Adanya perlakuan tersebut menunjukkan besarnya kebencian pemerintahan Cina terhadap Islam. Ditambah lagi, adanya minyak bumi di bawah tanah Xinjiang menambah hasrat pemerintahan Cina menguasai negeri itu.
Rezim Cina yang mengadopsi faham komunis sejak awal memiliki pandangan menolak keberadaan Tuhan yang diakui oleh agama Islam atau agama yang lainnya. Aktivitas indoktrinasi menolak adanya pencipta adalah cara-cara Rusia dulu dalam memaksakan ide komunisnya kepada masyarakat yang meyakini adanya pencipta. Untuk melancarkan indoktrinasi, maka pemerintahan Rusia membuat kelaparan yang dahsyat, benih-benih ditarik dari petani, sehingga tidak ada yang bisa diupayakan untuk menghasilkan makanan. Bahkan karena lapar yang luar biasa, maraklah aktivitas kanibalisme. Kelaparan ini menghasilkan keputus-asa-an dengan Tuhan sehingga mereka mengadopsi nilai-nilai komunisme dan keluar dari kelaparan. Dan praktik indoktrinasi ditampilkan kembali kepada Muslim Uighur yang menggunakan cara-cara indoktrinasi nilai-nilai komunisme dan kekerasan.
Selain itu, Cina merasa terancam dengan umat Islam yang ada di Xinjiang dan khawatir akan hubungan Muslim Uighur dengan dengan wilayah negeri Muslim lainnya yang berpotensi menjadi jalan kebangkitan dan kekuatan Muslim Uighur yang dapat mengganggu hasrat pemerintahan Cina. Pemerintah Cina secara teratur mengutip pengaruh dari luar yaitu ekstrimisme agama dan separatis yang dijadikan justifikasi atas tindakan keras terhadap etnis Uighur. Sehingga mereka menahan warga yang pernah berkunjung ke negara Timur Tengah dan melakukan program yang disebut re-edukasi yang sebenarnya adalah deradikalisasi Islam dan indoktrinasi nilai-nilai komunis. Di dalam kamp mereka diinvestigasi terkait apa dan siapa yang ditemui. Selepas dari kamp, polisi Cina masih saja terus melakukan teror dan pengawasan yang ketat.
Pemerintahan Cina dengan sengaja untuk menutup informasi kamp rahasia dari mata internasional, dan menampilkan kamp konsentrasi adalah kamp pendidikan. Cina melarang media memonitor aksi-aksi pembunuhan dan penangkapan yang dijalankan dan ditimpakan secara paksa terhadap Xinjiang. Bahkan Cina menggelontorkan dana untuk kelompok umat Islam di suatu negara Muslim agar kemudian tidak bersuara mengecam kekerasan Muslim Uighur sebagaimana yang diungkap oleh Wall Street Journal.
Demikianlah perkara yang dialami Muslim Uighur begitu menyakitkan dan merupakan penderitaan yang amat besar. Apa yang dialami Muslim Uighur sejatinya adalah masalah umat Islam secara keseluruhan karena seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lainnya. Sebagaimana firman Allah:
“sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara,,,” (TQS. Al-Hujurat: 10).
Dan, sabda Rasulullah SAW:
“Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya”(HR. Muslim).
Makna bersaudara di dalam Islam adalah satu tubuh, dimana jika satu bagian tubuh sakit, maka keseluruhan tubuh akan merasakan sakit, sebagaimana hadist Rasulullah SAW.
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan, maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam”(HR.Muslim).
Penyiksaan dan kekerasan yang menimpa Muslim Uighur di Xinjiang haruslah kemudian menjadi derita umat Islam secara keseluruhan dimuka bumi tanpa terkecuali. Sudah selayaknya umat Islam memberikan fokus perhatian terhadap upaya penyelamatan dan pembelaan secara total terhadap hak-hak dan kehormatan Muslim Uighur yang dirampas rezim komunis Cina. Sebagai sikap memahami dan merasakan penderitaan Muslim Uighur, upaya menyadarkan umat agar tidak bersikap apatis terhadap permasalahan diluar dirinya dan bangsanya adalah perkara yang harus dilakukan. Bersuara menyampaikan penderitaan Uighur ke mata dunia, terlebih mata umat Islam untuk menciptakan kesadaran umat secara global. Muslim Uighur harus dibebaskan dari seluruh penderitaannya. Dan pembebasan itu hanya bisa dilakukan oleh sesuatu yang berkapasitas sebagai negara indepen dan negara yang memiliki visi-misi Islam yang tegak diatas syariat Islam.