Oleh: Herlina
(Penulis di Komunitas Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
#MuslimahTimes — Kedaulatan negeri kian terancam. Setelah isu Papua yang ingin memisahkan diri masih belum selesai penyelesaiannya, kini Perairan Natuna sedang dalam bahaya. Berdasarkan laporan, wilayah Perairan Natuna dimasuki beberapa kapal penangkap ikan Cina. Cina mengklaim bahwa Perairan Natuna merupakan bagian dari Nine-Dash Line dan traditional fighting right. Sebelumnya, Kemenlu telah melayangkan nota protes secara diplomatik ke Dubes Cina (serambinews, 5/1).
Namun hal tersebut ditanggapi santai oleh Menko Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Menurutnya, masuknya kapal-kapal Cina merupakan tanda lemahnya pengawasan Indonesia terhadap daerah ZEE. Luhut tak mau bila semua pihak meributkan Natuna karena dikhawatirkan mengganggu hubungan investasi Indonesia dengan Cina. Hal ini karena Xi Jinping telah berkomitmen untuk menjadi investor terbesar di Indonesia. Investasi Cina diharapkan dapat membantu Indonesia dalam industri nilai tambah (rmol, 4/1).
Investasi Cina di Indonesia memang dipakai untuk mendanai infrastruktur sejak 2014 lalu. Bahkan investasi itu diputar untuk pembangunan ibu kota baru. Investasi Cina terus naik seiring pertambahan jumlah proyek yang dibangun hingga 2017. Tetapi pada 2018, investasi Cina menurun 29% sedangkan jumlah proyek yang bertambah harus tetap mendapat kucuran dana. Pemerintah ‘putar otak’ agar investasi Cina dapat dipertahankan. Pada 2019 investasi Cina melonjak menjadi US$3,31 miliar untuk mendanai 1.888 proyek. Hal ini patut dipertanyakan, dari mana dana mengalir setelah mengalami penurunan?
SULNI mencatat bahwa per September 2019, Indonesia memiliki utang ke Cina sebesar US$17,75 miliar (Rp274 triliun). Tentu mengejutkan, karena ternyata Cina tidak hanya berinvestasi tapi juga memberi utang. Tentu ada perjanjian sebelumnya yang mengikat agar investasi Cina tak terusik. Hal yang dikhawatirkan penguasa, kalau Cina menarik semua investasinya maka semua utang Indonesia akan ditagih. Inilah yang membuat penguasa masih mesra dan tak bisa garang dengan Cina. Disadari atau tidak, Indonesia telah masuk dalam diplomasi jebakan utang.
Negara yang melemah akibat terlilit utang dengan Cina selalu bermasalah dengan kedaulatannya. Sebagai kreditor dan investor terbesar, Cina memiliki hak konsesi mengambil aset di negara terutang jika tak mampu bayar. Negara terutang juga harus siap mengizinkan Cina membuat basis kemiliteran di daerahnya. Tahun lalu saja Sri Lanka terpaksa menyerahkan pelabuhan Hambantota diserahkan ke Cina. Padahal, pelabuhan tersebut posisinya strategis dalam hal perdagangan dan militer. Hal ini karena Sri Lanka tak mampu melunasi utangnya ke Cina sebesar US$1 miliar.
Pada 2006 Cina dilaporkan pernah menggelontorkan dana hampir Rp27 triliun untuk negara-negara Pasifik. Sampai sekarang, pengaruh utang Cina menimbulkan ketergantungan bagi negara-negara di kawasan tersebut. Negara-negara Pasifik ini masih berada dalam daerah Laut Cina Selatan. Wilayah ini memiliki sengketa karena Cina selalu mengakui kedaulatannya. Dari pengakuan itulah, Cina sedang membangun sekitar 7 buah pangkalan militer.
Dapat dipahami bahwa ada alasan mengapa Perairan Natuna merupakan aset yang ‘manis’. Perairan Natuna diperkirakan memiliki cadangan gas alam terbesar di dunia. Dalam sehari total produksinya bisa mencapai 25.447 barel dengan cadangan sekitar 46 TCF, lebih besar dari blok Masela. Letaknya yang strategis menghubungkan pintu perdagangan maritim di Asia Tenggara. Jika Natuna berhasil dikuasai seluruhnya, potensi tersebut cukup untuk menguatkan Cina dalam perang dagang melawan Amerika.
Namun, penguasa justru bersikap lembek karena masih melindungi oknum-oknum yang mempertahankan investasi Cina. Cina malah dianggap sebagai negara sahabat yang harus digandeng. Padahal kapitalisasinya telah nyata mengancam kedaulatan negara. Pendekatan diplomasi tak akan bisa mengakhirinya. Diplomasi hanya melahirkan kesepakatan baru dari jalan kompromi. Jalan ini mengamankan pihak-pihak berkepentingan, bukan untuk kemaslahatan rakyat.
Kapitalisasi ekonomi merupakan produk turunan dari ideologi kapitalisme. Ideologi ini menempatkan para kapitalis bebas menjarah sumber daya alam yang seharusnya dikelola oleh negara. Penguasa hanya sebagai regulator yang mengatur kepentingan para kapitalis. Kapitalis yang mempunyai modal terbanyak berhak atas kepemilikan sumber daya alam. Inilah penjajahan ekonomi sesungguhnya.
Tanpa mempedulikan lagi masalah kedaulatan ataupun pertahanan negara jajahannya, para kapitalis akan terus memuaskan keinginannya. Bahaya ideologis ini hanya mampu diselesaikan dengan ideologi yang menentangnya. Ideologi ini haruslah bersifat menyeluruh, mengatur setiap aspek kehidupan. Islam sebagai ideologi memandang bahwa pertahanan dan kedaulatan merupakan hal yang harus dijaga. Negara telah memiliki batas teritorial yang jelas, sehingga tak boleh diganggu oleh pihak manapun.
Segala bentuk ancaman yang datang dari dalam maupun luar negeri diserahkan kepada militer jika telah diperintah oleh penguasa. Militer yang diterjunkan haruslah pasukan yang kuat, tangkas, dan mampu membuat serta memanfaatkan berbagai teknologi canggih dalam hal pengamanan negara. Kemudian, langkah praktis yang dilakukan penguasa adalah memutuskan segala bentuk kerja sama dengan kapitalis. Oleh karena itu, tak ada pilihan lain selain menerapkan ideologi Islam secara keseluruhan. Karena hanya ideologi Islamlah yang sempurna karena sumbernya berasal dari Allah, bukan hawa nafsu manusia.