Ditulis : Nunik Ummu Faiha
(Anggota pengajian Qonitat Magetan)
#MuslimahTimes — Reynhard Sinaga, mahasiswa asal Indonesia yang menyelesaikan doktoral di 2 bidang, salah satunya Sosiologi, dan saat ini sedang menyelesaikan penelitian S3-nya di Manchester city, Inggris. Reynhard terbukti melakukan perkosaan berantai yang memakan korban diduga 159 laki-laki muda atau bahkan lebih. Reynhard,  putra sulung seorang pengusaha kaya dan terpandang. Muda, good looking, cerdas. Kombinasi ‘sempurna’ seorang anak muda pilihan. Tapi kenapa justru jalan hidup membawanya pada vonis penjara seumur hidup? Banyak kemungkinan bisa saja terjadi. Mulai kesalahan memilih teman, ketidakharmonisan dalam keluarga atau sekedar coba-coba tapi keterusan.
Menarik ulasan DR Intan Savitri Psi. Beliau membaca kasus ini dari sisi kehidupan sosial seorang Rey. Di usia 36 tahun, seorang Rey tidak pernah merasakan susah dan tidak pernah dituntut untuk bertanggungjawab atas kehidupannya. Meskipun pada umumnya seusia dirinya sudah memiliki tanggung jawab, bahkan membiayai hidup orang lain, tapi Rey bersekolah, menjalani kehidupan nyaman di luar negeri tanpa perlu bersusah payah (di Manchester, tempat Rey tinggal di sebuah flat dekat kawasan hiburan malam, menurut Numbeo.com sebuah situs yang membuat perbandingan biaya hidup, besarnya biaya hidup di Manchester 56.75% lebih tinggi dibanding di Jakarta). Orangtuanya menanggung semua kebutuhannya. Terbiasa hidup nyaman tanpa usaha. Lalu kenapa dengan semua yang dimiliki, dia justru melakukan penyimpangan menjijikkan itu. Dia bisa saja mencari pasangan dengan mudah karena flat tempatnya tinggal dekat dengan daerah gay yg seorientasi seksual dengannya. Dari caranya memperlakukan korban, dengan membuat korban tak sadar, nampak ada ketidakberdayaan. Rey mengidap inferiority. Dia tidak punya pasangan mungkin karena dia tidak bisa mendapatkan pasangan atau tidak bisa berelasi dengan pasangan karena keduanya membutuhkan usaha. Rey, tidak trampil dan tidak pernah dididik untuk melakukan USAHA. Akibatnya sungguh parah. Rey tidak memiliki empati dan simpati yang ditunjukkan dengan sikap dinginnya selama di persidangan.
Terlepas dari kasus Rey yang hanya merupakan satu puncak gunung es dari banyak gunung es serupa yang belum muncul ke permukaan, kita patut berkaca, apakah sebenarnya yang terjadi di tengah masyarakat. Kenapa kasus asusila muncul terus dan terus.
Di Indonesia batasan usia anak-anak menurut UUPA hingga usia 18 tahun. Akibat kebijakan ini, orangtua sering lupa, menganggap usia SD kelas 5, 6, bahkan SMP dan SMA masih anak-anak yang belum diberikan tanggungjawab. Kurikulum pendidikan juga tidak mendukung transformasi dari pra baligh menuju baligh. Padahal semestinya di usia rawan tersebut anak harus mendapat cukup masukan ilmu, cukup mendapat pemahaman terkait dirinya. Anak juga harus dipahamkan tentang perbedaan laki-laki dan perempuan terkait penjagaan aurat, terkait tanggung jawab dan yang berhubungan dengannya.
Untuk mengajarkan anak memahami seksualitas dirinya, Islam punya tuntunan baku. Faktor yang ikut berpengaruh di sini selain keluarga adalah masyarakat dan tentu saja peran negara sebagai pembuat dan pelaku kebijakan. Keluarga sebagai benteng pertama dan terakhir hendaknya membekali anak dengan Takwa, memahamkan seputar aurat dan upaya memelihara aurat. Menanamkan maskulinitas pada anak lelaki dan feminitas pada anak perempuan. Memisahkan tempat tidur anak, mendidik anak untuk bergaul sesuai tuntunan Islam. Orangtua juga harus memahamkan tentang lgbt dan keharamannya serta ancaman azab Allah untuk para pelakunya sehingga anak tahu rambu-rambu. Yang tidak kalah oenting dari itu semua ialah kasih sayang dan komunikasi yang cukup dengan anak.
Masyarakat juga perlu dipahamkan tentang keharaman dan potensi azab akibat merebaknya lgbt di lingkungan sehingga timbul penolakan yang mengakibatkan ketidaknyamanan bagi pelaku. Sedang negara berperan sebagai benteng paling kokoh dalam upaya melindungi masyarakat dari paparan lgbt. Negara memiliki perangkat kekuasaan untuk mengatur media massa agar tidak menjadi corong lgbt, menyusun kurikulum pendidikan berbasis akidah dan tentu saja memberikan sangsi bagi pelaku lgbt.
Apabila seluruh komponen baik keluarga, masyarakat dan negara bisa seiya sekata dalam menanggulangi penularan dan dampak lgbt maka kita bisa bernapas lega karena sesungguhnya Allah murka bila ada makhluk yang menantang azab sebagaimana yang dilakukan para lgbt’s yang menolak kodrat yang sudah ditentukan atasnya.
Islam memiliki formula ampuh menyiapkan anak-anak generasi hebat. Ada 2 fase sebelum anak-anak memasuki masa baligh. Fase pra baligh tahap satu yaitu usia dini (preesschool), yaitu usia 0-7 tahun dan pra baligh tahap dua, usia sekolah dasar (mumayyiz), usia 7-10th. Pada tahapan pra baligh ini anak sudah diajarkan tanggung jawab. Diawali dengan shalat. Rasul menyampaikan sebagaimana diriwayatkan Ahmad, “Perintahkan anak-anakmu shalat di usia 7 tahun dan pukullah jika dia meninggalkan shalat di usia 10 tahun.” Di tahap dua pra baligh ini, anak diajarkan tanggungjawab dan memahami konsekuensi bila meninggalkannya. Saat memasuki tahap baligh, Islam sudah mendudukkannya sebagai mukallaf. Mereka harus memahami bahwa pada masa pra baligh belum ada konsekuensi hukum, kesalahan anak masih dimaafkan. Namun ketika memasuki usia baligh maka semua hukum syara yang dibebankan Allah pada Ayah Bundanya juga sudah dibebankan atasnya. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan shalat tapi semua beban hukum yang berkaitan dengan hukum pergaulan, hukum berpakaian, hukum makanan, hukum ber-ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Termasuk di dalamnya hukum berdakwah. Masa baligh membuat seorang anak memiliki beban kewajiban hukum sejajar dengan Ayah Bundanya.Â
Ustadzah Yanti Tanjung menggarisbawahi urgensitas orangtua memahami masa pra baligh dan baligh ini. Persiapan selama masa pra baligh yang 10 tahun hendaknya mampu membantu anak mengatasi kegalauan atas semua perubahan yang terjadi dalam dirinya baik fisik maupun psikis. Masukan ilmu dan latihan ketaatan pada Allah dan RasulNya yang diajarkan orangtualah yang menjaga anak dari gegar budaya, gegar pergaulan karena pengajaran dan pendidikan ‘step by step’ diberikan sesuai usia, akal, naluri dan perkembangan fisik. Tidak ada anak masuk fase baligh dengan kebingungan dan ketakutan karena sudah dipersiapkan pendidikan berjenjang menuju kepribadian Islam.
Para sahabat, adalah contoh terbaik pelaksanaan tarbiyah ala Rasul. Bagaimana di usia pra baligh mereka bahkan sudah mampu memilih dan membuat keputusan penting terkait hidupnya. Ali bin Abi Thalib dan Jabir bin Abdullah, adalah sebagian contoh sahabat yang sudah mapan dalam kepribadian di usia dini. Ali kecil dengan keyakinan penuh menyambut ajakan Rasulullah untuk beriman. Demikian pula Jabir kecil yang memaksa ikut Ayahnya ke Mekah untuk berbaiat pada Rasulullah. Sungguh, tidak mungkin anak-anak tanpa kekuatan ruhiyah mampu melakukan hal hebat selayaknya para sahabat.
Kemampuan bertanggungjawab inilah yang saat ini banyak dilupakan orangtua karena pemahaman batasan usia anak yang tidak sesuai. Sungguh suatu penyesatan berpikir bagi umat. Orangtua memberikan semua kemudahan karena menganggap anak belum waktunya diberi tanggungjawab sehingga terjadi mal-adaptif.
parenting, merujuk istilah yang dipakai DR. Intan Savitri Psi. Sedangkan Ustadzah Yanti Tanjung menggarisbawahi kurikulum sekuler yang tidak memiliki materi untuk mengantarkan anak-anak menuju jenjang mukallaf dan siap menerima beban syariat yang diberikan AlQuran dan AsSunnah.
Kembali pada kasus Reynhard, pemuda yang tidak memahami kewajiban sebagai manusia dewasa, yang menjadi korban mal-adaptif parenting sehingga tidak memiliki tanggungjawab bahkan atas dirinya sendiri. Orangtua yang senantiasa berlaku sebagai malaikat penjaga justru menjerumuskan anak menjadi pribadi yang rentan masalah dan tidak mampu bertanggungjawab. Sedangkan penyimpangan orientasi seksualnya bisa didapat karena ada ketidakharmonisan dalam keluarga sebagai bentuk pemberontakan, atau bisa juga kesalahan memilih teman atau lingkungan. Mengingat masifnya kampanye lgbt, bisa juga perbuatannya berawal dari iseng tapi akhirnya keterusan. Maka peran penting semua pihak yang jadi benteng pertahanan dalam penjagaan akhlak harus bersinergi, baik keluarga, masyarakat dan terlebih negara. Semua masalahnya ditumpuk-tumpuk sehingga menutup nurani, membuat hatinya keras, sulit menerima kebaikan dan menjadi manipulatif. Tentu saja di belakang semua itu ada kekeringan jiwa karena tidak adanya siraman keimanan meski menurut catatan, seorang Rey cukup aktif hadir di tempat ibadah.
Semoga tidak bermunculan Reynhard yang lain mengingat LGBT sekarang ini sudah semakin menyebar baik perilakunya maupun akibat buruknya seperti semakin banyaknya pengidap HIV seperti yang terjadi di Padang, Sumatra Barat di mana ada 220 pengidap HIV.
Begitu beratnya menjadi orangtua di jaman penuh fitnah ini. Tidak ada sekolah khusus untuk menjadi orangtua. Orangtua harus terus belajar dan belajar, menambah ilmu dan mengasah pengalaman serta kemampuan agar bisa mengantarkan anak-anak menuju generasi harapan umat. Menjadi orangtua hebat, menjadi contoh terbaik untuk anak. Semoga kita dimudahkan menjadi orangtua yang penuh empati, mandiri, berpengetahuanp dan yang jauh lebih penting senantiasa mampu menghadirkan rasa takut pada pengawasan Allah sekaligus yakin atas perlindungan Allah. Semoga kita dimampukan menjaga diri dan keluarga dari sesuatu yang tidak diridhai Allah.
Wallahu’alam bishshawwab